Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kesehatan Mental yang Multifaktorial

12 September 2022   14:33 Diperbarui: 15 September 2022   09:05 700
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tentu saja orang-orang yang melabeli seseorang dengan masalah kesehatan mental karena baper adalah suatu kesalahan yang besar (Pexels/Cottonbro)

Tidak bijak rasanya jika orang-orang dengan masalah kesehatan mental dilabeli begitu saja sebagai kelompok manusia yang baperan, sebuah bahasa gaul yang merupakan sebuah singkatan dari bawa perasaan. 

"Gitu aja kok baper!"

Alih-alih dapat memperoleh kata-kata semangat nan positif dari lawan bicara, mereka justru semakin terpuruk. Padahal sering kali mereka yang curhat hanya minta untuk didengarkan bukan untuk dicari-cari penyebab di baliknya. Ditambah dengan bukti ilmiah yang menyatakan bahwa kesehatan mental tak hanya dipengaruhi oleh satu faktor/penyebab saja. 

Tentu saja orang-orang yang melabeli seseorang dengan masalah kesehatan mental karena baper adalah suatu kesalahan yang besar. Kesalahan pertama ialah ia tidak mengetahui bahwa kesehatan mental adalah suatu luaran kondisi yang multifaktorial.

Kedua adalah nihilnya unsur kehati-hatian alias penghakiman yang pada akhirnya tak menutup kemungkinan berujung pada kondisi mental seseorang menjadi lebih buruk.

Kondisi kesehatan mental adalah multifaktorial

Etiologi dari kesehatan mental adalah multifaktorial dan begitu kompleks. Secara garis besar, terdapat dua faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan mental seseorang. 

Pertama yakni faktor biologis, kedua ialah faktor psikologis. Contoh dari faktor biologis antara lain gangguan pada fungsi sel saraf di otak, infeksi, kelainan bawaan atau cedera pada otak, kerusakan otak akibat semisal kecelakaan, kekurangan oksigen pada bayi saat proses persalinan, penyalahgunaan NAPZA dalam jangka panjang, kekurangan nutrisi, dan genetik. 

Contoh dari faktor psikologis yakni adanya peristiwa traumatik, seperti kekerasan, kehilangan seseorang, atau perceraian, ataupun disia-siakan di masa kecil, kemudian kurang mampu bergaul dengan orang lain, perasaan rendah diri, tidak mampu, marah, atau kesepian. 

Ertem pada risetnya di tahun 2010, memperkenalkan sebuah model berbasis siklus hidup (life-cycle model approach) untuk memahami onset atau permulaan dari sebuah kondisi gangguan kesehatan jiwa. 

Disebutkan bahwa faktor risiko terkait kesehatan mental dimulai dari masa pre-konsepsi hingga dewasa. Contoh faktor risiko di masa prekonsepsi ialah kehamilan muda, kehamilan yang tak diinginkan, serta kehamilan yang terlalu dekat. 

Selanjutnya, di masa prenatal (sebelum lahir) maupun perinatal yakni kurangnya perawatan diri prenatal dan kehamilan yang berisiko tinggi.

Lalu di masa awal kehidupan setelah kelahiran yakni tidak cukupnya stimulasi pengasuhan dari orang-orang sekitar serta masalah-masalah perkembangan sikap yang ditemukan di kemudian hari. 

Di usia sekolah terdapat masalah dengan keluarga maupun teman sebaya ataupun sekolah, kurangnya perhatian dari tenaga pendidik, serta perilaku-perilaku yang mengambil risiko. Saat umur dewasa, terdapat masalah dengan orang sekitar, aktivitas seksual yang terlalu dini, penyalahgunaan obat, seks bebas, dan seterusnya. 

Stigma dari tenaga kesehatan

Tak jarang labeling atau pelabelan tak hanya dilakukan oleh para orang awam. Tenaga kesehatan, yang seharusnya menjadi bagian dari masyarakat yang paling tidak diharapkan menjadi oran yang memiliki pemahaman yang cukup terkait kesehatan mental, justru menjadi orang yang paling sering membuat seseorang dengan kemungkinan masalah kesehatan mental untuk mengurungkan niatnya memeriksakan diri ulang kedua kalinya ke pelayanan kesehatan. 

Permasalahan kesehatan mental adalah kondisi yang begitu kompleks. Sehingga penanganannya pun akan turut menjadi kompleks. Sungguh tidaklah benar jika kita mengerucutkan sekian banyak faktor yang berkontribusi terhadap kondisi kesehatan mental seseorang dengan pendekatan yang begitu sempit, seolah-seolah kondisi kesehatan mental seseorang hanyalah sebuah masalah kecil. 

Sekali lagi, siapapun tak berhak untuk menghakimi perasaan seseorang, apalagi melabeli bahwa penyebab dari kondisi yang sekarang seseorang alami adalah karena faktor A, atau B, atau C, atau D. Mari mewujudkan dunia dengan kesehatan mental tanpa stigma. 

Mari mewujudkan akses menuju fasilitas pelayanan kesehatan untuk kesehatan mental yang lebih baik lagi. Mari memastikan tak ada satupun yang tertinggal. Mari memastikan bahwa kesehatan mental ialah sepenting kesehatan fisik. 

Karena, sebagai manusia, jiwa dan raga adalah satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun