Bagian Kedua dari "Realita Kebijakan Prolanis DM"
Diabetes Melitus Sebagai Penyakit Katastropik
Penyakit katastropik merupakan penyakit yang memerlukan perawatan yang lama dan biaya yang tinggi.Â
Penyakit Diabetes Melitus atau DM ialah salah satunya. Banyak dari komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit DM ialah juga merupakan penyakit katastropik, seperti penyakit gagal ginjal.Â
Nyatanya, hampir keseluruhan faktor risiko dari penyakit katastrofik termasuk DM ialah faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi, dengan kata lain ialah dapat dicegah.
Tindakan promotif dan preventif sebagai aksi yang dilakukan dari hulu kemudian menjadi kunci untuk menjamin keberlangsungan Dana Jaminan Sosial (DJS) untuk kesehatan, mengingat tingginya biaya pelayanan kesehatan yang selama ini ditimbulkan oleh penyakit-penyakit katastrofik.
Kendala Prolanis di Klinik Pratama dan Praktik Dokter Pribadi
Walau Prolanis di Puskesmas dalam pelaksanaannya masih memiliki beberapa kekurangan yang kemudian membawa banyak evaluasi dan memerlukan perbaikan dari berbagai aspek. Paling tidak, Puskesmas mampu menunjukkan bahwa Puskesmas merupakan FKTP yang paling siap dalam pelaksanaan Prolanis.
Prolanis merupakan singkatan dari Program Pengelolaan Penyakit Kronis. Dibuat sebagai sekumpulan kegiatan yang komprehensif dan terstruktur karena melibatkan kerja sama pemberi layanan kesehatan dan pasien sebagai penyandang DM. Tidak hanya kegiatan yang bersifat kuratif, namun juga promotif dan preventif.
Berbagai tingkatan prevensi dilakukan yakni prevensi primer, sekunder, hingga tersier.Â
Cakupan kegiatan Prolanis antara lain konsultasi medis, edukasi kesehatan, home visit, reminder melalui SMS atau Whatsapp, pemeriksaan rutin gula darah, hingga pemberian terapi farmakologis seperti obat antidiabetes di Poskesdes dan/atau di Puskesmas.Â
Selama ini Prolanis dirasa tak berjalan dengan baik di FKTP lain selain Puskesmas. Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang minim di FKTP selain Puskesmas dalam hal ini ialah Klinik Pratama dan Praktik Dokter Pribadi.Â
Dengan SDM yang tak sebanyak SDM yang ada di Puskesmas, tentu saja berdampak pada terbatasnya variasi kegiatan yang dilakukan untuk penyandang DM.
Dengan kata lain, promotif dan preventif hampir jarang terjamah. Kebanyakan terbatas hanya pada kegiatan kuratif yakni terbatas pada mendiagnosis dan memberikan terapi farmakologis pada penyandang DM. Kemudian menjadi pekerjaan rumah yang penting untuk pemerintah meregulasi penyelenggaraan Prolanis di FKTP, menyadari ketidaksiapan klinik dan praktik dokter dari segi SDM untuk turut serta menyukseskan Prolanis.Â
Rujukan Horizontal sebagai Solusi?
Kemudian menjadi pertanyaan, apakah selanjutnya penyakit DM hanya diperbolehkan untuk ditatalaksana di PKM dan tidak diperbolehkan di klinik/praktik dokter pribadi?Â
Atau tetap boleh, namun klinik/praktik dokter pribadi bekerja sama dengan Puskesmas dalam kegiatan-kegiatan yang belum dapat dilakukan oleh mereka sendiri semisal melalui rujukan horizontal?Â
Selain itu, sistem informasi kesehatan yang baik untuk memudahkan pemantauan pelaksanaan Prolanis dan memastikan setiap individu mendapatkan haknya untuk merasakan manfaat dari Prolanis tentu saja begitu diperlukan.
Diharapkan sistem informasi kesehatan tersebut dapat memudahkan komunikasi dan penyediaan data untuk selanjutnya memastikan pembuatan kebijakan yang berbasis data dan memberi luaran yang optimal untuk pengendalian penyakit kronis di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H