Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mencari Insulin di Puskesmas

1 September 2022   20:24 Diperbarui: 3 September 2022   19:51 1339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagian Pertama: "Realita Kebijakan Prolanis Diabetes Mellitus (DM)"

Diabetes Mellitus atau yang kerap kita singkat sebagai DM ataupun dikenal masyarakat awam sebagai penyakit gula maupun gula darah tinggi merupakan salah satu penyumbang beban penyakit terbesar di Indonesia. 

Menurut International Diabetes Foundation (IDF), Indonesia memegang urutan nomor 7 sebagai negara dengan penyandang DM terbesar di dunia pada tahun 2019. DM merupakan penyebab utama kebutaan, penyakit jantung, dan gagal ginjal. 

DM sebagai penyumbang beban penyakit terbesar tentu saja berimplikasi pada besarnya pendanaan yang harus digelontorkan pemerintah (biaya klaim) untuk menangani penyakit yang begitu menguras kantong negara pada era Jaminan Kesehatan Nasional ini, apalagi jika DM sudah berupa DM+ alias DM dengan komplikasi. 

Menurut data BPJS, biaya klaim untuk penyakit ginjal akibat diabetes mengalami peningkatan yang tajam dari tahun 2015 hingga tahun 2019, dan baru turun di tahun 2020 akibat munculnya penyakit COVID-19. Sehingga tentu saja setelah pandemi ini berangsur-angsur surut, kita harus bersiap kembali akan berbagai keluhan terkait komplikasi penyakit DM serta DM itu sendiri yang dibawa masyarakat ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) hingga ke fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (FKTL).

Menjadi sangat penting untuk kemudian kembali duduk bersama mendiskusikan bagaimana situasi penyakit DM di Indonesia pada masa kini dan masa mendatang sebagai bentuk kesigapan terkait penyakit-penyakit katastrofik yang tak dapat begitu saja dibiarkan atau negara akan jatuh pada kondisi kebangkrutan. 

Penyakit-penyakit kronis atau penyakit-penyakit yang berlangsung lama seperti contohnya penyakit yang kita bahas pada tulisan hari ini yakni DM, atau hipertensi, maupun gagal ginjal adalah penyakit yang merugikan negara berlipat-lipat ganda.

 Bagaimana tak berlipat ganda, penyakit-penyakit kronis yang tak teratasi dengan baik berujung pada berbagai komplikasi yang kemudian menurunkan kualitas hidup seseorang, rendahnya produktivitas individu, hingga pada akhirnya secara kolektif dapat mempengaruhi produktivitas suatu negara. 

Selain itu, seperti yang telah dibahas di paragraf kedua, penyakit kronis adalah penyakit-penyakit yang menguras biaya klaim yang besar. Padahal jika kita menilik faktor risiko pada penyakit-penyakit kronis ini, hampir seluruhnya adalah faktor-faktor risiko yang dapat dimodifikasi, atau dengan kata lain ialah faktor risiko yang dapat dicegah dengan semisal pola makan yang sehat dan pola hidup yang teratur. Kalimat "lebih baik mencegah daripada mengobati" menjadi semakin tak terbantahkan.

Untuk menangani masalah beban penyakit DM yang begitu besar, di Indonesia telah lama dilaksanakan program yang disebut sebagai Prolanis atau Program Pengelolaan Penyakit Kronis. 

Menurut Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 2 tahun 2019, Prolanis adalah pelayanan kesehatan dengan pendekatan proaktif yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan melibatkan peserta, fasilitas kesehatan, dan BPJS Kesehatan dalam rangka pemeliharaan kesehatan peserta penderita penyakit kronis untuk mencapai kualitas hidup yang optimal dengan biaya pelayanan kesehatan yang efektif dan efisien. 

Selama ini tentu saja Prolanis telah membawa sekian hasil monitoring proses dan evaluasi pelaksanaan program alias bagaimana realita dari implementasi kebijakan Prolanis di lapangan. 

Salah satu realitanya ialah tidak tersedianya insulin sebagai salah satu obat antidiabetes pada FKTP, yang tak jarang karena tidak tersedianya obat tersebut, telah berdampak pada beberapa kejadian pasien-pasien yang datang ke ruang emergensi fasilitas kesehatan dengan kadar gula yang terlampau tinggi. 

Saat ditelusuri ternyata pasien selama ini diresepkan insulin untuk menurunkan gula darahnya dari FKTL atau RS. Akses jarak antara RS yang jauh dengan rumah warga telah membuat beberapa waktu kepatuhan pasien untuk menggunakan obat dalam memastikan terkontrolnya penyakit yang ia derita menjadi menurun dikarenakan pasien sempat kehabisan insulin beberapa hari dan tidak memiliki waktu untuk pergi kontrol ke FKTL atau RS. 

Sehingga kemudian menjadi pertanyaan, apakah insulin perlu disediakan di Puskesmas-puskesmas yang akses jaraknya notabene lebih terakses kepada masyarakat? Apakah penyediaan insulin pada Puskesmas merupakan solusi untuk meningkatkan kepatuhan penggunaan obat antidiabetes pada pasien-pasien DM? Ataukah ada solusi lain yang lebih berhak?

Berbagai realita lain dari implementasi kebijakan Prolanis DM akan dilanjutkan pada bagian kedua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun