Untuk melihat bagaimana kemajuan pelaksanaan suatu pembangunan di suatu negara, kiranya menarik jika kita menguraikan celah antara produk hukum (UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, dsb) yang disusun dengan sejauh apa kenyataan praktik di lapangan.Â
Dalam hal ini saya akan membahas mengenai Peraturan Menteri Kesehatan dan isu pelaksanaan pembangunan Puskesmas di seluruh Indonesia. (Membongkar Celah Permenkes Versus Realita: Bagian Kedua)
3. Masih dalam Permenkes No 43 Tahun 2019, pada pasal 12, disebutkan bahwa salah satu persyaratan bangunan Puskesmas ialah Puskesmas harus memberikan pelayanan bagi semua orang termasuk kepada mereka yang berkebutuhan khusus/penyandang disabilitas, anak-anak, dan lanjut usia.
Pada praktiknya, masih banyak kita temui Puskesmas yang tidak menyediakan bangunan yang ramah disabilitas.
Sebagai contoh, pertama tidak ada besi pegangan untuk para disabilitas berpegangan saat berjalan di luar maupun di dalam Puskesmas.Â
Kedua, masih terdapat beberapa Puskesmas yang dikeluhkan tidak memiliki pintu kamar mandi yang lebarnya cukup untuk dimasuki kursi roda.Â
Jika kita mengetikkan kata kunci "Puskesmas Tak Ramah Disabilitas" pada pencarian di mesin pencarian di internet, maka masih akan dapat kita temui berbagai berita mengekspos keluhan warga terkait Puskesmas-puskesmas yang membuat para difabel pada akhirnya enggan untuk berobat ke Puskesmas.Â
Padahal, paling tidak Puskesmas seharusnya menjadi tempat yang paling paham tentang difabel, jika harus dibandingkan dengan tempat-tempat publik lainnya. Puskesmas adalah tempat pertama kontak masyarakat untuk memeriksakan kesehatannya dan meningkatkan status kesejahteraannya baik kesehatan fisik maupun mental.
Tentu ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah pada berbagai level untuk kembali mengkaji ulang puskesmas-puskesmas mana saja yang telah memenuhi persyaratan bangunan sebagaimana yang dipersyaratkan pada pasal 12 dan mana yang belum, serta pada akhirnya membuat perencanaan hingga pelaksanaan untuk memastikan bahwa tak ada lagi para difabel yang enggan berobat ke Puskesmas karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan fasilitas ramah disabilitas.Â
Selain itu, pemerintah perlu membuat perencanaan yang terukur dengan baik secara mendetil dari berbagai aspek dan dalam hal ini dapat mengacu pada Permenkes No 43 Tahun 2019 untuk Puskesmas-puskesmas yang belum dibangun di suatu kecamatan, sebagaimana yang telah dibahas pada "Membongkar Celah Permenkes Versus Realita (Bagian Pertama)" sedari awal sebelum ia berdiri.Â
Perencanaan yang baik tentu akan mengarahkan pada kebijakan yang efektif dan efisien, yakni mengarahkan pada luaran yang hemat biaya, hemat tenaga, dsb. karena tak perlu menganggarkan kembali dana untuk mengkaji ulang sebagaimana kajian ulang pada Puskesmas-puskesmas yang terlanjur tak memiliki fasilitas ramah disabilitas.
4. Pada pasal selanjutnya pada Permenkes yang sama, yakni pada pasal 13, menyebutkan bahwa setiap Puskesmas memiliki bangunan rumah dinas Tenaga Kesehatan dan bangunan lainnya sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini, masih banyak ditemui di lapangan Puskesmas-puskesmas yang tak memiliki rumah dinas tenaga kesehatan.Â
Terdapat juga Puskesmas yang memiliki rumah dinas, namun tak layak. Celah Permenkes dengan realita ini tentu menjadi masalah.Â
Bayangkan sebuah Puskesmas yang begitu terpencil jauh dari berbagai fasilitas memadai. Wajarkah jika di Puskesmas tersebut tidak ada dokter?
Jawabannya tentu saja wajar. Dokter adalah seorang manusia yang juga memiliki sifat sebagai makhluk ekonomi.Â
Manusia dikatakan sebagai makhluk ekonomi karena manusia selalu berpikir dan berupaya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya semaksimal mungkin, menggunakan sumber daya yang tersedia.Â
Dengan kesejahteraan dokter umum yang semakin hari semakin jauh dari kata memadai, seperti yang telah saya bahas pada artikel saya 10 Agustus 2022 lalu "Analisis Balik Modal Seorang Dokter", memiliki rumah dinas tentu adalah impian karena dengan kesejahteraan yang semakin seadanya, seorang dokter dapat mengalihkan pengeluarannya kepada hal-hal lain, atau sebut saja untuk sekolah dokter spesialis yang semakin hari semakin mahal.Â
Memang sejatinya ini adalah tugas pemerintah untuk menyediakan rumah dinas dan lebih tepatnya yakni rumah dinas yang layak bagi dokter dan tenaga kesehatan lain di Puskesmas.Â
Pemerintah harus menyadari untuk melakukan pemerataan SDM kesehatan ke seluruh wilayah Indonesia terutama di daerah terpencil, terdapat teori-teori motivasi yang seharusnya diaplikasikan, dalam hal ini adalah teori instrumental dimana seseorang melakukan sesuatu karena ia yakin bahwa akan terdapat reward atas performance yang ia lakukan.
Saya pikir sudah tidak relevan jika seorang dokter terus dituntut untuk memegang prinsip altruisme. Seolah-olah dokter tak memerlukan uang dan cukup hanya ucapan terima kasih. Tentu saja dokter memerlukan dua-duanya, karena seorang dokter tak membeli ikan di pasar dengan kata-kata terima kasih.Â
Pemerintah dan masyarakat harus menyadari bahwa profesionalisme adalah kata kunci yang kiranya lebih relevan daripada prinsip altruisme yang terus dielu-elukan.Â
Profesionalisme menuntut seorang dokter untuk memberikan pelayanan yang terbaik dan tentu saja diiringi dengan "reward" dari pemerintah yang juga terbaik.
Akan berlanjut di bagian ketiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H