Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Stereotip Beban Kerja Tenaga Kesehatan di Puskesmas

4 Agustus 2022   21:06 Diperbarui: 5 Agustus 2022   04:47 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tentu ini akan menjadi faktor yang sangat berkontribusi terhadap persepsi beban kerja yang tinggi yang dialami oleh masing-masing tenaga kesehatan di Puskesmas. 

Beban kerja yang tinggi ini sering kali tak diiringi dengan penghargaan terhadap jasa yang berbalas. Banyak dari tenaga kesehatan kontrak (pegawai tak tetap) digaji di bawah upah minimum regional atau provinsi. 

Ditambah cerita paling menyedihkan yang disumbang oleh mereka para TKS atau tenaga kerja sukarela yang tak dibayar sesuai namanya alias sukarela, diberi janji untuk dapat diangkat segera menjadi tenaga kontrak di tempat bekerjanya, tapi siapa sih yang mau jadi TKS bertahun-tahun lamanya? 

Di Puskesmas, pengisian ganda berupa pengisian manual dan pengisian elektronik adalah beban kerja yang tak boleh diremehkan selanjutnya. 

Sistem informasi kesehatan di Puskesmas yang masih belum mumpuni namun digerayangi oleh kebijakan dari pusat untuk segera mendigitalisasi, yang lalu tak cepat direspons dengan peningkatan kapasitas SDM yang menggunakannya, membuat tak jarang proses digitalisasi justru menambah beban kerja karena tenaga kesehatan dituntut untuk mengisi secara elektronik namun juga dituntut untuk berjaga-jaga mengisi manual akibat ketidaksiapan proses digitalisasi. 

Kuratif > Promotif dan Preventif

Puskesmas sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan kepada masyarakat merupakan pemegang tahta untuk pelaksanaan kegiatan kesehatan promotif dan preventif. Melalui hadirnya Puskesmas, diharapkan masyarakat memahami konsep kesehatan dan cara pencegahan penyakit. 

Namun pada hari ini, dengan banyaknya pasien yang berobat pada poli rawat jalan hingga harus dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat sekunder dan jumlahnya yang melebihi jumlah masyarakat yang bersedia hadir pada acara-acara posbindu lansia untuk mendengarkan penyuluhan kesehatan dan skrining kondisi kesehatan menunjukkan bahwa Puskesmas semakin hari semakin kehilangan mahkota promotif preventifnya. 

Entah strategi pelaksanaan promotif preventif di Puskesmas yang memang belum optimal ataukah memang sebuah budaya dan kepercayaan yang telah mengakar di masyarakat bahwa Puskesmas hanyalah untuk orang sakit, sehingga baru saat mereka jatuh dalam kondisi sakit lalu mengandalkan Puskesmas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun