Lima orang polisi datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Puskesmas kami pagi ini. Tidak untuk membawa surat visum et repertum korban kecelakaan, namun untuk membawa seorang tahanan yang mengeluhkan sakit pada telinganya dan badan terasa meriang sejak kemarin malam.Â
Sebagai informasi, walaupun sebuah kasus bukanlah merupakan kasus gawat darurat, namun ia adalah kasus yang terkait organ telinga, memang diperiksakan di IGD kami mengingat keterbatasan alat-alat yang kami miliki sehingga alat hanya disediakan di IGD dan oleh karena itu pasien dengan keluhan pada organ telinga akan diperiksa di IGD.Â
Setelah melakukan serangkaian anamnesis dan pemeriksaan pada telinga pasien, saya mendiagnosis pasien dengan otitis eksterna difusa atau dalam bahasa awam ialah peradangan pada telinga bagian luar (liang telinga) yang menyebabkan liang telinga menyempit dan jika daun telinga dipegang akan menambah rasa sakit. Untuk kondisinya tersebut, saya resepkan tetes telinga antibiotik dan obat tablet per oral untuk gejala meriangnya.Â
Saya menjelaskan kepada pasien dan polisi terkait kondisi telinga pasien dan penyebab-penyebab yang mungkin sehingga harapannya dapat dicegah di masa depan.Â
Selain itu saya menjelaskan bahwa pasien perlu melakukan kontrol atas penyakitnya untuk mengevaluasi hasil pengobatan. Saya pun meminta kerja sama polisi untuk kembali membawa tahanan melakukan kontrol ke Puskesmas kami.Â
Tahanan duduk di atas tempat tidur pemeriksaan dengan kedua tangannya yang terborgol. Ini adalah pengalaman pertama saya sebagai dokter internship melayani pasien yang merupakan seorang tahanan. Di saat itulah rasa syukur saya menjadi seorang dokter semakin bertambah.Â
Saya menyadari betapa besarnya anugerah yang dikaruniakan kepada saya untuk mengemban tugas sebagai seorang dokter untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada siapapun tanpa kecuali, termasuk seorang tahanan.Â
Tahanan juga adalah seorang manusia yang berarti memiliki hak-hak dasar yang harus terpenuhi yakni hak asasi manusia. Salah satu hak asasi manusia ialah hak atas kesehatan. Tidak mendiskriminasi siapapun dalam proses pemberian pelayanan kesehatan.Â
Tidak berpraduga jika seorang tahanan ataupun seorang narapidana mengada-ada penyakitnya semisal agar ia sesaat dapat menghirup udara bebas di luar rumah tahanan maupun lembaga pemasyarakatan. Mengobjektifkan keluhan subjektif yang disampaikan oleh pasien dengan ilmu kedokteran melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang adalah hal terbaik yang dapat kita lakukan.Â
Boleh saja kebebasan tahanan atau narapidana untuk bergerak dibatasi, ditunjukkan oleh kedua tangannya yang sedang terborgol, namun tidak demikian dengan hak-hak dasarnya sebagai manusia yang memerlukan pelayanan atas kesehatan. Tak boleh sama sekali dibatasi.
Teringat beberapa waktu yang lalu saat saya menonton sebuah video pada kanal youtube CNN Indonesia yang berjudul "Berebut Nafas dalam Lapas", memperlihatkan potret tahanan maupun narapidana dalam rumah tahanan (Rutan) maupun lembaga pemasyarakatan (Lapas) yang jumlahnya melebihi kapasitas yang disediakan alias overcapacity.Â
Beristirahat dalam ruang sempit dengan puluhan orang di dalamnya membuatnya tentu saja menjadi sangat tidak layak. Saya membayangkan jika ada seorang saja narapidana dengan penyakit tuberkulosis dan dengan keadaan ruang dan jumlah narapidana di dalamnya sedemikian rupa serta ventilasi begitu minim yang berujung pada sirkulasi udara seadanya, tentu saja sangat mendukung penularan penyakit-penyakit menular yang menular melalui udara (airborne). Skrining terkait penyakit-penyakit menular tentu menjadi solusinya demi mengantisipasi lonjakan penularan.Â
Mempelajari melalui internet, saya membaca bahwa beberapa rutan dan lapas telah menerapkan skrining penyakit-penyakit menular seperti skrining tuberkulosis dan skrining HIV-AIDS secara berkala. Saya berharap hal ini dapat diaplikasikan di seluruh rutan dan lapas di seluruh Indonesia.Â
Para tahanan maupun napi begitu rentan akan penularan penyakit-penyakit menular. Tak menutup kemungkinan penyakit-penyakit lainnya seperti penyakit yang berhubungan dengan kejiwaan semisal depresi maupun kecemasan mengingat setiap orang pasti mengalami sebuah fase adaptasi terhadap sesuatu yang baru dalam hidupnya dan setiap orang memiliki respons yang berbeda-beda.Â
Ada yang mampu menerima dan ada pula yang tidak yang mana pada akhirnya berujung pada kondisi stres, depresi, maupun kecemasan. Mereka juga rentan terhadap penyakit-penyakit tak menular seperti hipertensi, sindroma dispepsia (maag), dan lain sebagainya, akibat gaya hidup dan pola makan yang sudah tak seperti semula.Â
Pemberian pelayanan kesehatan berupa promosi kesehatan hingga pemeriksaan kesehatan lalu menjadi sebuah keharusan karena sekali lagi setiap orang sekalipun tahanan maupun napi berhak atas kesehatan.
Penulis berharap, melalui tulisan ini pertama kita dapat menyadari setiap orang sedari lahir dan tanpa kecuali, telah dikaruniai hak asasi manusia, yang mana salah satunya adalah hak atas kesehatan.Â
Memperhatikan kesehatan tahanan dan narapidana adalah kewajiban kita. Mengutip apa yang pernah disampaikan oleh K.H. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus), "Tetaplah jadi manusia, mengertilah manusia, dan manusiakanlah manusia". Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H