Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Mengapa Dokter Tak Minat Bekerja di Puskesmas?

18 Juli 2022   20:55 Diperbarui: 22 Juli 2022   05:37 1895
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi petugas kesehatan menyuntikan vaksin COVID-19 saat simulasi pelayanan vaksinasi di Puskesmas Kemaraya, Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (18/12/2020). Foto: Antara Foto/Jojon via Kompas.com

Di era Jaminan Kesehatan Nasional, seluruh masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan pasti akan berhadapan dengan pelayanan kesehatan primer terlebih dahulu. Puskesmas merupakan salah satu bentuk dari pelayanan kesehatan primer yang dielu-elukan sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan. Untuk menunjang Puskesmas sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan, diperlukan sistem yang berkualitas. Salah satu unsur dalam sistem Puskesmas yang berkualitas ialah pengelolaan sumber daya manusia kesehatan yang optimal.

Hari ini saya menyaksikan pemutaran ulang live streaming Webinar Pendidikan Jasmani dan Teknologi Kesehatan yang mengundang Menteri Kesehatan RI Ir. Budi Gunadi Sadikin, CHFC, CLU dan Komisaris Utama IHC Hospital Group Dr. dr. Fathema Djan Rachmat, Sp.B, Sp.BKTV(K), MPH. 

Begitu menarik sosialisasi terkait wacana dan rencana transformasi teknologi kesehatan. Namun alih-alih akan merangkum atau membahas materi sosialisasi yang dibawakan kedua pembicara, saya akan membahas salah satu pertanyaan menarik pada sesi diskusi tepat setelah materi oleh salah satu tamu undangan sebagai penyimak yang berada di gedung tersebut. 

Penanya bertanya bagaimana pendapat Menteri Kesehatan terkait salah satu hasil tesis mahasiswanya yang ia bimbing dimana tesis tersebut menunjukan bahwa minat dokter internship yang melanjutkan karir sebagai dokter Puskesmas hanya 5%. 

Kemudian, Menteri Kesehatan menjawab bahwa terkait hal tersebut beliau mengamati ada dua ketertarikan yang dimiliki dokter. Pertama ialah gelar dan kedua ialah uang. Sehingga ini akan menjawab mengapa dokter jarang berminat ke Puskesmas. Dokter tidak bisa menjadi spesialis di Puskesmas. Menurut beliau, dari dua hal tersebut ada solusi yang dapat kita coba, entah memberikan jalur spesialis atau pendidikan S2 ataupun S3 saat dokter mau bekerja di Puskesmas. 

Perbincangan yang menarik ini mengarahkan saya untuk melakukan pencarian di internet terkait penelitian-penelitian dengan topik tentang minat dokter untuk bekerja di layanan primer dalam hal ini khususnya Puskesmas. Menurut Setiawati, 2017,  berdasarkan asil penelitian terhadap proses rekrutmen dokter PTT tahun 2014 dan 2015 menunjukkan bahwa minat para dokter untuk bekerja di puskesmas ialah 20% sampai 25% dari jumlah dokter yang dibutuhkan, yang mana artinya masih sangat rendah.  

Kemudian, menurut Alameddin M, et al, 2016 sebuah penelitian di Lebanon menunjukkan bahwa terdapat lima permasalahan paling utama sebagai penyebab tenaga kesehatan yang berminat bekerja di layanan primer rendah. 

Di antaranya ialah pemahaman para tenaga kesehatan yang rendah terhadap konsep, ruang lingkup kerja di layanan primer, permasalahan rekrutmen, permasalahan rendahnya retensi dokter yang sudah bekerja di layanan primer, tantangan yang harus dihadapi oleh dokter saat bekerja di puskesmas di daerah pedesaan. 

Permasalahan retensi dokter rendah antara lain disebabkan oleh pendapatan mereka rendah saat bekerja di layanan primer, lingkungan kerja yang tidak menyenangkan, dan ketidakjelasan pengembangan profesionalisme saat bekerja di layanan primer.

Dari dua penelitian di atas, faktor-faktor yang berkontribusi terhadap rendahnya minat para dokter untuk bekerja di Puskesmas saya pikir hampir mirip dengan apa yang dimaksud dengan Menteri Kesehatan pada webinar Penjaskes 15 Juli 2021 kemarin. 

Menjadi dokter Puskesmas dianggap tak menghadirkan kejelasan terkait pengembangan profesionalisme seorang dokter di masa depan. Banyak dokter yang memilih bekerja di rumah sakit dibanding Puskesmas karena beberapa menganggap dengan bekerja di rumah sakit mereka akan lebih memiliki kesempatan untuk melanjutkan sekolah spesialis baik untuk menggantikan spesialis-spesialis yang berumur maupun yang dimutasi kerja. 

Pendapatan yang rendah saat bekerja di pelayanan primer menjadi faktor selanjutnya yang juga berkontribusi terhadap rendahnya minat kerja dokter di Puskesmas. Jika pun pendapatan di Puskesmas ditimbang-timbang hampir menyamai pendapatan bekerja sebagai dokter umum di Rumah Sakit, beberapa menganggap beban pekerjaan di Puskesmas lebih banyak karena tak hanya terkait upaya kesehatan perorangan (UKP) namun juga upaya kesehatan masyarakat (UKM) yang sering memberi "oleh-oleh" bagi mereka alias pekerjaan rumah seperti perekapan data pelayanan kesehatan di Posyandu atau Posbindu dan lain sebagainya. 

Merangkum informasi-informasi di atas, penulis berpendapat bahwa pemberian motivasi kepada dokter-dokter untuk bekerja di Puskesmas adalah menjadi hal yang krusial. Mengingat transformasi layanan primer yang merupakan program Kementerian Kesehatan tak lepas dari peran seorang dokter di layanan kesehatan primer dalam hal ini terutama Puskesmas. Motivasi ini dapat diberikan baik saat seorang dokter mengenyam pendidikan S1 dan profesi maupun saat seorang dokter telah bekerja di lapangan. 

Pertama, untuk memperbanyak program-program untuk membangun minat bekerja di layanan primer di bangku kuliah kedokteran. Jika selama ini saat kita berkuliah di kedokteran pelajaran mengenai kedokteran komunitas maupun kedokteran keluarga secara proporsi lebih banyak pada teori, saatnya kita memberatkan proporsi pada aspek praktik yakni untuk lebih sering terjun ke lapangan. Misalnya seperti program Kuliah Kerja Nyata. 

Sebagai informasi, terdapat program wajib kuliah di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta bernama Community and Family Health Care - Interprofessional Education, sebuah program untuk mahasiswa S1 kedokteran melakukan asesmen dan intervensi kesehatan di keluarga dan komunitas dengan pendekatan interprofesional yang menurut saya patut menjadi contoh untuk universitas-universitas lain mendekatkan layanan primer dengan hati para mahasiwa kedokteran yang diharapkan dapat mengisi formasi-formasi Puskesmas demi ketahanan sistem kesehatan primer dan dalam mewujudkan jaminan kesehatan nasional. 

Tak hanya berhenti memberikan motivasi di fase pendidikan seorang dokter, saat dokter telah bekerja di Puskesmas pun, motivasi baik materiil dan prospek jenjang karir adalah suatu keharusan. Beban kerja seorang dokter Puskesmas harus diukur secara proporsional. 

Kegiatan-kegiatan luar Puskesmas yang sering kali menjadi pertimbangan para dokter untuk bekerja di Puskesmas sudah seharusnya diperhatikan dalam kaitannya dengan penambahan insentif kepada dokter yang melaksanakan kegiatan tersebut. 

Selain itu, saya sepakat dengan apa yang Pak Menteri katakan bahwa kita harus menumbuhsuburkan reward untuk dokter-dokter yang bersedia bekerja di Puskesmas lebih-lebih di Puskesmas pada daerah terpencil dan sangat terpencil. Dengan kata lain, risiko dan manfaat yang didapatkan seorang dokter harus berimbang. 

Terkait pengembangan profesionalisme yang menjadi masalah menurut para dokter saat bekerja di Puskesmas dan kaitannya dengan spesialis dokter layanan primer (DLP) yang hingga kini terus berjalan di beberapa fakultas kedokteran, membuat saya bertanya-tanya, apakah tidak sebaiknya mereka mereka yang bersedia mengabdi Puskesmas lalu diberikan beasiswa untuk kuliah spesialis DLP dan lalu kembali ke Puskesmas tempat mereka mengabdi dengan sebuah gelar yang baru seperti yang para dokter inginkan? 

Sebuah win-win solution untuk para dokter yang ingin mendapat kejelasan pengembangan profesionalisme dan untuk para pemerintah karena Puskesmas membutuhkan seorang dokter yang ahli dan berkompetensi dalam layanan primer.

Penulis berharap, melalui tulisan ini dapat memberikan sedikit pencerahan terkait situasi sistem pelayanan kesehatan primer dan dalam hal ini adalah situasi terkait sumber daya manusia kesehatan yakni dokter di Puskesmas-puskesmas seluruh Indonesia. 

Minat yang rendah sebagai dokter Puskesmas ialah dikarenakan motivasi terkait materiil dan jenjang pengembangan profesionalisme seorang dokter. Sudah saatnya jika pemerintah ingin mentransformasi layanan primer, maka pemerintah harus turut mentransformasi sistem pengelolaan sumber daya manusia kesehatan yang merupakan penggeraknya. Semoga lebih banyak dokter yang tergerak hatinya untuk bekerja di layanan primer dalam memberikan pelayanan preventif dan promotif secara holistik dan komprehensif. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun