Sebagai seorang mahasiswi yang bersuku Banjar dan mempraktikkan berbahasa Banjar sedari lahir dan lalu belajar kedokteran di Universitas Gadjah Mada (UGM) yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta, terjun praktik ke lapangan bertemu dan berinteraksi dengan pasien adalah satu hal yang dahulu menurut saya lebih sulit dibanding ilmu kedokteran itu sendiri.Â
Dengan kata lain, ilmu kedokteran memang sulit, namun berinteraksi dengan pasien yang berbeda bahasa dan terlebih lagi tak lancar berbahasa Indonesia adalah hal yang sangat sangat jauh lebih sulit.Â
Segala bentuk hafalan teori kedokteran yang awalnya telah melekat di kepala saya, bisa saja tiba-tiba hilang dan buyar saat saya disibukkan dengan kesulitan lain yakni kesulitan memahami bahasa lawan bicara alias pasien di depan saya.Â
Saat koas (sebutan untuk mahasiswa kedokteran jenjang profesi) saya pergi ke salah satu toko buku yang lumayan besar di daerah selatan Yogyakarta, di dekat Taman Pintar, untuk mencari sebuah kitab suci bagi koas non Suku Jawa yakni kamus Bahasa Jawa - Bahasa Indonesia.Â
Jika teringat kenangan setahun dua tahun yang lalu saat saya menjalani koas di UGM dimana sesekali harus meluangkan waktu untuk menghafalkan beberapa kosakata Bahasa Jawa yang esensial bagi tenaga kesehatan alias kosakata yang sering digunakan pasien untuk mendeskripsikan sakitnya, saya jadi terharu rasanya melakukan kilas balik perjuangan tersebut.Â
Perjuangan yang hanya akan ditemui para mahasiswa kedokteran di Indonesia dan tidak akan ditemui oleh mahasiswa kedokteran di Inggris yang serempak berbahasa Inggris seluruh masyarakatnya. Tapi tidak apa-apa, inilah keunikan Indonesia.
Lulus dari kuliah di UGM saya dapat bernafas lega, mengingat saya dapat memilih untuk kembali ke tanah kelahiran saya.Â
Walaupun portal pemilihan wahana internship saat itu tak menyediakan wahana di kabupaten dimana saya dilahirkan, saya pikir tak apa-apa, karena wahana Kabupaten Tanah Bumbu yang mana menjadi tempat saya melaksanakan program internship saya sekarang tak begitu jauh dari kabupaten saya berasal yakni hanya kurang lebih sekitar 200 km.Â
Dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama empat hingga lima jam. Walau keadaan jalannya begitu mirip dengan makanan pisang lumer favorit saya. Hehe tak bermaksud apa-apa.Â
Saya hanya ingin sesegeranya hak-hak masyarakat kita untuk memperoleh infrastruktur yang memadai dalam hal ini jalan nan mulus bebas hambatan dapat terealisasi segera tak hanya janji-janji politik belaka.
Perasaan pertama yang saya rasakan setelah berhasil memilih Provinsi Kalimantan Selatan sebagai wahana internship saya adalah rasa bersyukur saat saya yakin saya tak akan menemukan lagi kesulitan beradaptasi dengan bahasa karena saya adalah orang banjar dan akhirnya diberikan kesempatan untuk kembali ke tanah banjar dan lalu dapat leluasa berinteraksi dengan pasien-pasien saya.Â