Hari ini saya mendapatkan jadwal untuk bertugas di poli umum Puskesmas. Berbagai macam diagnosis dan terapi telah saya berikan hari ini kepada para pasien yang datang dengan berbagai keluhan.
Pasien dengan keluhan tertinggal cotton bud di dalam telinga, pasien yang dijadwalkan cek gula darah puasa dan gula darah 2 jam post-prandial (setelah makan) untuk pertama kalinya, pasien dengan keluhan nyeri sendi yang terus ditingkatkan dosis antinyerinya, pasien yang meminta surat rujukan untuk kontrol rutin ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) terkait gagal ginjalnya, pasien dengan keluhan BAB berdarah 10 hari yang selama ini ia katakan telah ia obati sendiri dengan antibiotik yang masih dijual bebas di pasaran dan tanpa pergi ke dokter untuk mengetahui penyebab pastinya.
Ada juga pasien dengan mata yang berulang merah dan gatal setiap kali terpapar suhu dingin dari pendingin ruangan di kantornya, pasien yang mengabari bahwa ia merasakan perbaikan setelah telah menyelesaikan antibiotik selama 3 hari untuk infeksi saluran kemihnya, pasien yang mengeluhkan sakit kepala yang menindih di bagian dahinya, hingga pasien dengan wajah begitu ceria yang datang ke poli umum saya untuk kontrol dan bertanya apakah ia sudah bisa menghentikan pengobatan tuberkulosisnya.Â
Sehari sebelumnya dan pagi ini ia telah menyerahkan tabung dahaknya ke laboratorium Puskesmas. Hari ini, dilaporkan bahwa hasilnya ialah negatif pada kedua dahak. Saya melanjutkan dengan menggali kembali gejala dan tanda di awal sekali diagnosis ditegakkan, walau sebenarnya sudah tertera di rekam medis, saya bermaksud untuk mengajak pasien melakukan kilas balik penyakitnya 6 bulan yang lalu.
Ia bercerita tentang betapa khawatirnya ia akan batuknya yang berdarah hampir di setiap kali batuk dan dadanya yang terasa nyeri seperti ditekan di seluruh lapang dada. Terkadang di beberapa malam ia merasakan demam namun bukan demam yang terlalu tinggi. Ia kemudian mencoba mencari informasi melalui internet terkait penyakitnya.Â
Sesaat sebelum ia berangkat ke Puskesmas untuk mengetahui penyakitnya, ia menyampaikan bahwa ia sesungguhnya telah mengantongi nama penyakit yang mungkin disampaikan oleh dokter yang tuturnya entah ia harapkan atau tak harapkan akan sesuai dengan hasil pencariannya di internet dalam semalam di malam sebelumnya. Sehingga ia berkata, saat itu ia sudah siap jika ia memang harus didiagnosis dengan penyakit paru bernama tuberkulosis. Dan benar, di awal Januari akhirnya ia memulai pengobatan tuberkulosis.Â
Selama pengobatan tuberkulosis, ia bersyukur ia didampingi oleh pemegang program tuberkulosis di Puskesmas kami.
Ia memiliki wadah untuk bertanya dan mengkonfirmasi terkait segala informasi yang ia dapatkan melalui internet. Termasuk salah satunya yang baginya paling penting ialah terkait pendampingan edukasi mengenai efek samping dari obat tuberkulosis.
Sesekali warna urinnya berubah menjadi merah. Untung saja ia telah diingatkan dokter di setiap kali ia kontrol untuk mengambil obat dan untuk diperiksa perkembangan kesembuhan penyakitnya serta selalu diingatkan oleh pemegang program jika itu adalah efek samping yang wajar terjadi dari konsumsi obat tuberkulosis sehingga tak usah khawatir.Â
"Betul, Mbak. Pasien memang harus kita edukasi terkait efek samping obat tuberkulosis. Ada yang beberapa kali tak teredukasi dengan baik sehingga membuat pasien putus obat dari obat tuberkulosis. Sebagai contoh urinnya merah atau merasa sakit perut lalu ia diam-diam berhenti meminum obat," ucap saya sambil melemparkan senyum, menandakan rasa penuh syukur saya memiliki satu pasien di wilayah Puskesmas ini yang seharusnya dapat menjadi contoh untuk pasien-pasien tuberkulosis yang lain.