Sejak 2001, kita mengenal adanya desentralisasi kesehatan. Desentralisasi ialah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur urusan pemerintahannya masing-masing.Â
Terdapat sisi positif dan negatif dari penyelenggaraan desentralisasi. Positifnya ialah sebagian besar dari keputusan dan kebijakan yang ada di suatu daerah dapat diputuskan di daerah tanpa adanya campur tangan dari pemerintah pusat, sehingga diharapkan dapat tercipta optimalisasi pembangunan kesehatan karena upaya kesehatan yang lebih efektif, efisien, dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.Â
Namun, sisi negatif atau kekurangan dari desentralisasi ialah kemungkinan kesenjangan atau disparitas yang dapat semakin lebar antar daerah karena salah satunya faktor perbedaan kualitas sumber daya manusia dalam mengelola sistem termasuk keuangan dalam membiayai setiap kebijakan dan pembangunan kesehatan di daerah.Â
Faktor perbedaan kualitas sumber daya manusia (SDM) inilah yang ingin saya bahas pada tulisan saya hari ini.Â
Beberapa hari yang lalu, saya melakukan penjelajahan pada internet untuk membandingkan apakah pemerintah daerah A memiliki regulasi turunan terkait regulasi yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yang sebelumnya sudah lama dimiliki oleh pemerintah daerah B.Â
Karena saya pikir, ini memang adalah tugas pemerintah daerah untuk membuat regulasi turunan saat pemerintah pusat telah membuat regulasi induk, mensosialisasikannya, dan menghimbau pemerintah daerah untuk mengeksekusi pelaksanaannya dengan menyesuaikan keadaan daerah masing-masing.Â
Setelah berjelajah lumayan lama, akhirnya saya mengetahui bahwa ternyata benar daerah A hingga kini tak memiliki regulasi turunan tersebut.Â
Saya bertanya-tanya bagaimanakah selama ini penyelenggaraan kebijakan dari pusat di daerah A tersebut? Apakah benar tak ada masalah? Atau sebenarnya ada masalah namun dihiraukan begitu saja? Kemana saja sumber daya manusia pengelolanya?
Rasa penasaran saya di atas sebenarnya berasal dari keresahan saya terkait isu disparitas situasi kesehatan antar daerah jika melihat dari data yang sediakan oleh pemerintah pusat, salah satunya ialah saat saya menyaksikan webinar terkait evaluasi program stunting dimana membahas bahwa serapan dana yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk penanganan kasus stunting yang begitu bervariasi dari daerah satu dengan daerah lain.Â
Ada daerah dengan serapan dana yang tinggi, ada daerah yang hampir tak menyerap dana sama sekali. Saya kembali bertanya-tanya. Apakah daerah dengan serapan dana yang rendah memang tak ada masalah hingga tak melakukan program dan kemudian tak menyerap dana, atau ada masalah namun dengan sumber daya manusia yang bekerja seadanya, program tak berjalan sebagaimana mestinya?
Pertanyaan besarnya, mengapa ada perbedaan kualitas sumber daya manusia?
Sudah menjadi rahasia umum saya pikir jika banyak praktik-praktik nepotisme alias menempatkan 'orang dalam' pada posisi-posisi strategis di suatu institusi, dalam tulisan kali ini yakni institusi kesehatan, seperti Puskesmas, Rumah Sakit, hingga Dinas Kesehatan, dan lembaga-lembaga terkait kesehatan lainnya yang ada di daerah.Â
Nepotisme ialah suatu bentuk ketidakadilan karena menempatkan orang yang secara kekerabatan ada hubungannya dengan orang yang melakukan perekrutan, atau orang-orang yang berpengaruh (posisi lebih tinggi) terhadap orang yang melakukan perekrutan, dibanding menempatkan orang yang memang benar-benar memiliki kemampuan.
Kesenjangan kualitas sumber daya manusia antar daerah yang dapat kita lihat jelas dari bagaimana output kebijakan atau pembangunan kesehatan yang sangat berbeda dari satu daerah dengan daerah lain, sudah seharusnya menjadi perhatian kita bersama.Â
Dengan adanya desentralisasi kesehatan kita tentu tidak ingin kesenjangan kesehatan antar daerah justru menjadi jurang yang semakin lebar, tapi kita ingin pelaksanaan pembangunan kesehatan yang lebih efektif, efisien, dan menyesuaikan dengan keadaan daerah masing-masing.Â
Namun jika operator atau pihak-pihak yang melaksanakan adalah orang-orang yang tidak berkompeten dikarenakan praktik politik yakni nepotisme yang terus menggerogoti daerah dari tahun ke tahun, apa kabar desentralisasi kesehatan?
Semoga lewat tulisan ini, dapat mengetuk hati pemerintah daerah untuk menjadikan integritas sebagai identitas. Tak melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang berdampak buruk terhadap pembangunan suatu daerah.Â
Kita sama sekali tak menginginkan pihak-pihak yang tak berkompeten mengelola sistem kesehatan kita saat pemerintah telah menggelontorkan sekian banyak dana namun akhirnya tak terutilisasi dengan baik karena mereka yang bekerja tak profesional dan lamban.
Sudah saatnya pemerintah daerah memperhatikan proses rekrutmen SDM yang benar-benar selektif dan adil. Merekrut orang-orang yang benar-benar kompeten baik secara kognitif maupun skill. Karena semewah apapun sebuah rumah jika tak dijaga dengan baik tentu tak akan terlihat indah.Â
Begitu pula dengan sistem, sebaik apapun sebuah sistem yang telah dirumuskan, tiada artinya jika tak diiringi dengan sumber daya manusia yang berkualitas. Selamat tinggal, orang dalam!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H