Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Refleksi Setengah Jalan Seorang Dokter Internship

18 Juni 2022   20:24 Diperbarui: 19 Juni 2022   08:23 1209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mempelajari bahwa menjadi dokter adalah suatu tanggung jawab yang tak mudah terbukti melalui prosesnya yang jauh lebih tak mudah. 

Setiap tahun pemilih program studi (prodi) kedokteran di setiap universitas di Indonesia selalu menempati tiga teratas prodi dengan peminat terbanyak. Begitu banyak yang mendambakan kehidupan di masa depan bersnelli putih dan mengalungkan stetoskop. 

Perjuangan untuk dapat memasuki prodi kedokteran tentu tak dapat diremehkan hingga tak heran lagi jika banyak tempat-tempat bimbingan belajar menjanjikan siapapun yang mengikuti kelas di tempat tersebut, maka akan lolos kedokteran atau jika tidak uang yang telah kita bayarkan ke bimbingan belajar tersebut akan diganti. 

Dan juga tak heran jika banyak yang mendambakan kedokteran hingga bersedia menghadapi gap year atau sebuah tahun tanpa berkuliah sembari mempersiapkan ujian masuk kedokteran.

Setelah sudah berhasil masuk dan menduduki bangku kedokteran, kita akan menjalani proses di dalamnya yang begitu menguras tenaga dan emosi untuk dapat menghafalkan ribuan lembar hafalan kedokteran dan menguasai berbagai keterampilan. 

Dan tak lupa untuk menghadapi ujian setiap satu setengah bulan. Dalam satu semester paling tidak ada tiga hingga empat ujian yang harus dilalui. 

Dengan begitu, ada tiga hingga empat ronde begadang hingga tengah malam pula yang harus kita jalani. 

Setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran atau fase sarjana, maka kita selanjutnya akan berhadapan dengan tahap profesi atau kerap disebut dengan dokter muda atau koas yang lebih menguras segalanya. 

Subuh-subuh sekali sudah harus sampai di rumah sakit untuk melaksanakan laporan pagi, dilanjut mengikuti dokter spesialis melakukan kunjungan ke pasien-pasien di bangsal dan harus bersiap-siap jika tiba-tiba ada pertanyaan yang dilontarkan di tempat, biasanya jawabannya akan berujung pada jawaban, "Baik dokter, saya akan belajar lagi..". Setelah itu dilanjutkan mengikuti dokter spesialis jaga poli. 

Sepulang dari poli, biasanya dokter muda harus kembali lagi ke bangsal sebagai bahan presentasi kasus keesokan hari, dan tak jarang berlanjut hingga jaga malam di Instalasi Gawat Darurat (IGD) menemani para residen (dokter umum yang sedang kuliah dokter spesialis). 

Jika tak jaga malam, mungkin harus belajar untuk berjaga-jaga jika ada ujian dadakan dari dokter spesialis/konsulen keesokan pagi. Dan terus begitu hingga 1,5 tahun lamanya. 

Setelah menyelesaikan proses pendidikan profesi yang berdarah-darah, ternyata seorang dokter muda masih harus berjuang dengan sebuah exit exam atau ujian keluar yang disebut dengan Ujian Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). 

Ada ujian berupa ujian tulis dan ada pula ujian keterampilan. Ujian tulis untuk menjawab 150 soal dalam 200 menit untuk seluruh bidang di kedokteran yang sudah kita pelajari dan terdapat ujian keterampilan untuk menguji kelihaian kita untuk menyelesaikan kasus pasien secara langsung disertai dengan mempertunjukkan keterampilan klinis seperti memasang alat kontrasepsi atau melakukan bedah minor atau melakukan resusitasi, dan masih banyak lagi.

Jika lulus, nama kita akan terpampang di situs web panitia UKMPPD, jika tidak tentu kita harus mengulangnya kembali kira-kira 3 bulan setelah ujian pertama yang kita lalui. 

Setelah menyelesaikan kuliah sarjana dan profesi kedokteran sekitar 5,5 tahun lamanya, seorang dokter ternyata tidak langsung dapat menjadi dokter yang berpraktik secara mandiri di Puskesmas atau klinik ataupun RS. Ia harus menjalani sebuah program bernama program internship (magang). 

Tiga hari yang lalu, tepat saya telah menjalani internship selama 7 bulan dari total 12 bulan, yang artinya tersisa 5 bulan menuju berakhirnya periode internship saya. Begitu banyak hal yang dapat saya refleksikan setelah sudah setengah jalan menjadi dokter internship. 

Satu hal utama yang saya sadari ialah perjuangan menjadi dokter memanglah perjuangan yang berdarah-darah. 'Berdarah' dari ujian masuk kedokteran, S1, profesi, ujian keluar kedokteran, hingga proses magang. 

Selama internship, saya melakukan pemeriksaan kepada pasien di bawah pengawasan dokter-dokter umum yang bekerja di suatu rumah sakit (RS) atau Puskesmas. 

Dalam kurun waktu 7 bulan terakhir ini, saya belajar bahwa menjadi dokter memang lah seorang long life learner atau pembelajar sepanjang hidup. 

Jika kita berpikir setelah kita lulus dari exit exam kedokteran lalu kita dapat berpisah dari buku-buku dan jurnal kedokteran, kita salah besar. 

Justru, melalui internship ini dengan paparan pasien dan tanggung jawab yang sedikit lebih penuh (jika dibanding saat koas), sebagai seorang dokter yang baik kita akan rajin untuk kembali membuka buku-buku dan jurnal kedokteran, untuk memastikan bahwa diagnosis yang kita tegakkan dan terapi yang kita berikan ke pasien yang baru saja beberapa jam lalu kita tatap matanya dan kita rasakan denyut nadinya sudah benar menurut petunjuk klinis terbaru.

Kemudian saya belajar, penuh akan ilmu saja tak akan cukup mengantarkan seorang dokter menjadi dokter yang baik, lebih dari ilmu ada hal yang jauh lebih penting yakni etika atau perilaku seorang dokter, baik kepada sesama dokter, tenaga kesehatan lain, dan lebih-lebih lagi kepada pasien. 

Jika perilaku seorang dokter tak baik kepada pasien-pasiennya tentu edukasi dengan sebanyak apapun ilmunya entah diambil dari Buku dari Sobotta (buku tentang anatomi kedokteran) atau dari Guyton (fisiologi kedokteran), tak mungkin ada satupun pesan edukasi yang akan tertanam di pikiran dan hati seorang pasien yang telah terluka hatinya.

Lalu, saya juga mempelajari bahwa banyak pelaksanaan di lapangan yang tak sesuai dengan teori kedokteran. 

Di saat inilah, cara berpikir strategis seorang dokter dalam menyikapi realita diperlukan. Bagaimana seorang dokter mampu memikirkan alternatif-alternatif lain yang dapat dilakukan namun tentu tetap dapat menyembuhkan. Di saat inilah penalaran klinis seorang dokter benar-benar dibutuhkan. 

Jika saat kuliah menghafal penyakit A pasti obatnya A tentu saja akan keok saat di lapangan. Tapi jika seorang dokter memahami patofisiologi penyakit A hingga farmakokinetik dan farmakodinamik terkait penyakit A tentu ia tak akan kesusahan. 

Dan masih banyak lagi refleksi yang telah saya peroleh 7 bulan terakhir, namun nampaknya akan saya simpan hingga bulan terakhir saya menjalani internship agar saya dan anda para pembaca bisa bertemu lagi.

Melalui tulisan ini saya berharap untuk dapat menguatkan sesama dokter meluruskan niat menjadi dokter murni untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan YME untuk memberi kesembuhan. Karena sungguh percuma jika mengharap sesuatu yang tak sepadan dengan proses yang berdarah-darah. 

Semoga tulisan ini dapat menjadi pengingat kepada diri saya sendiri saat saya mulai jenuh dan lelah mengabdikan diri menjadi dokter pembelajar sepanjang hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun