Sebagai dokter internship yang artinya adalah seorang dokter yang baru saja lulus dari bangku pendidikan kedokteran, saya tentu masih memiliki tingkat idealisme yang kental.Â
Dengan kalimat tersebut saya tidak bermaksud mengatakan bahwa dokter-dokter berumur tak memiliki idealisme, karena saya pun menyaksikan dengan mata kepala sendiri dokter-dokter senior yang saya kenal masih berpegang teguh pada hal-hal yang dianggap ideal, namun paling tidak akan menjadi aneh jika seorang dokter baru menetas tak memiliki idealisme.
Keidealisan tersebut lah yang selalu membayangi saya setiap kali selesai berjaga di poli umum Puskesmas alias setiap kali menuntaskan pertemuan dengan seluruh pasien di hari itu, yang rasanya membuat perasaan saya begitu campur aduk.Â
Tentu ada perasaan senang akhirnya saya mampu mewujudkan mimpi saya sedari dulu untuk menjadi dokter dan bertemu dengan pasien-pasien yang memerlukan perpanjangan tangan kesembuhan melalui tangan seorang dokter. Namun yang jauh lebih banyak daripada perasaan senang, ialah perasaan khawatir saat saya tak dapat memberikan pelayanan khususnya edukasi kepada pasien secara maksimal.
Di poli umum berbagai macam keluhan pasien saya temui, dari mengeluhkan sakit kepala, sakit seluruh badan, sakit saat menggerakkan kaki, tangan yang terasa kebas, sela-sela jari yang gatal, panas pada ulu hati, pandangan yang kabur, demam yang tak kunjung turun, dan masih banyak keluhan lagi yang tak bisa saya sebutkan satu per satu.Â
Sering kali pasien datang dengan keluhan yang tidak hanya satu, bisa dua tiga empat, sehingga ada berbagai macam diagnosis yang bisa seorang dokter berikan, dan tentunya akan diikuti dengan berbagai macam edukasi pula yang harus diberikan.
Sehari di Puskesmas dengan penduduk kecamatan yang jumlahnya puluh ribuan membuat tak aneh jika yang berkunjung ke poli umum rawat jalan Puskesmas berkisar dari 50 hingga 100 an.Â
Dilema menyeimbangkan kuantitas dengan kualitas, seperti yang sudah pernah saya bahas di tulisan pertama saya di Kompasiana ini akan menggambarkan salah satu faktor yang berkontribusi terhadap perasaan campur aduk saya setiap kali selesai bertugas di poli umum Puskesmas.Â
Suatu hari saya menemui pasien dengan keluhan pandangan kabur. Setelah melakukan anamnesis (bertanya kepada pasien) dan serangkaian pemeriksaan fisik, pasien ini saya curigai dengan katarak pada mata kanannya dan sebagai tindak lanjut akan saya rujuk ke dokter spesialis mata di daerah saya.Â
Melalui anamnesis, saat saya bertanya apakah ada keluhan lain selain pandangan yang kabur, saya akhirnya memperoleh informasi bahwa pasien ini juga mengeluhkan gejala lain yakni tak bisa tidur. Anak dari pasien lalu dengan proaktif bertanya, "Dok, apakah ibu saya tidak bisa tidur karena tekanan darah yang tinggi? atau kolesterol mungkin yang tinggi?".Â
Saya menganalisa tekanan darahnya masih dalam rentang normal. Ukuran lingkar perut yang dapat menjadi penanda kemungkinan kolesterol tinggi pada seseorang juga masih dalam rentang normal sehingga sementara tak saya periksakan dan pun mengingat pada pasien juga tak ada keluhan klasik seperti nyeri kepala atau nyeri pada tengkuk.Â
Setelah seluruh keadaan organik lain yang diperkirakan dapat menjadi penyebab susah tidur pada pasien ini, saya mulai menanyakan hal yang mengarah terkait keadaan yang mungkin mengokupasi pikiran.
"Ibu sebelumnya sudah pernah cari-cari di internet ya terkait keluhan matanya ini?"
"Iya dok, saya pernah minta carikan anak saya, kata anak saya kemungkinan ini katarak dan kemungkinan dioperasi. Apakah saya akan dioperasi dok?"
"Kemungkinan terkait dioperasi atau tidak nanti yang akan menentukan adalah dokter spesialis matanya bu. Namun sejauh yang saya tahu, katarak jika masih tipis mungkin akan diobati dulu dengan obat-obat tetes mata, kecuali setelah pengobatan ternyata ia justru semakin tebal mungkin dioperasi. Ibu takut dioperasi ya?"Â
"Iya dok, saya sampai tidak bisa tidur karena memikirkan ini." Dan anak dari pasien pun terlihat terkejut mendengar penuturan sang ibu. Mungkin sang anak tak mengira bahwa ibunya akan memikirkan masalah operasi katarak hingga sang ibu tak bisa tidur.
Salah satu hal yang membuat saya begitu bahagia diberikan kesempatan menjadi seorang dokter ialah saat saya dapat mengidentifikasi masalah-masalah pasien yang tak terbatas hanya dari masalah kesehatan fisik namun juga kesehatan jiwa.Â
Ingin rasanya saya mengedukasi pasien terkait penyakitnya secara komprehensif dan holistik dari A sampai Z, namun jelas tak bisa. Puluhan pasien dengan mata berbinar setiap kali melihat pasien dengan nomor antrian lebih awal keluar dari pintu ruang poli umum tentu ia menunggu-nunggu kapan ia akan dipanggil karena tentu siapa sih yang senang menunggu lama.
Di saat itulah saya mulai memikirkan, andai di Puskesmas saya ada tambahan satu lagi tenaga kesehatan yang berfokus pada jiwa yakni seorang psikolog. Teringat dulu saat berkuliah di Yogyakarta, Puskesmas disana telah memiliki paling tidak satu psikolog untuk membantu kegiatan promotif, preventif, dan kuratif kesehatan jiwa.Â
Saya jelas bertanya-tanya mengapa ya di tempat saya tidak ada? Pada akhirnya, saya hanya dapat menyalahkan keadaan karena hanya dapat memberi edukasi terkait pengelolaan stress kepada pasien tersebut dalam beberapa kalimat yang saya rasa tentu tak akan maksimal, semaksimal jika ada seorang psikolog.
Masalah kesehatan jiwa sudah seharusnya tak dipandang sebelah mata. Begitu banyak penyakit fisik yang timbul berawal dari masalah jiwa dan begitu banyak juga penyakit fisik yang lalu diiringi dengan masalah jiwa. Keterbatasan sumber daya manusia kesehatan (SDM-K) jika dibandingkan jumlah pasien yang harus dilayani mau tidak mau telah menyadarkan kita bahwa tak bisa memaksakan SDM-K dengan alokasi yang seadanya.
Sudah seharusnya pemerintah menyediakan psikolog-psikolog di seluruh Puskesmas di seluruh Indonesia tanpa kecuali untuk meningkatkan akses terhadap pelayanan kesehatan jiwa baik promotif, preventif, kuratif yang lebih baik lagi. Dengan keberadaan psikolog di tataran Puskesmas, penulis yakin hal tersebut akan berdampak besar terhadap status kesehatan serta produktivitas warga negaranya hingga ekonomi suatu negara.Â
Semoga tulisan ini paling tidak mampu menyadarkan kita semua bersama bahwa investasi pemerintah untuk penanganan masalah-masalah kesehatan baik kesehatan fisik maupun jiwa di tingkat layanan primer tak boleh setengah-setengah.Â
Layanan primer yang dielu-elukan sebagai garda terdepan pelayanan kesehatan memang harus benar-benar menjadi terdepan sesuai namanya. Kolaborasi dan komunikasi berbagai pihak adalah kunci untuk sistem layanan kesehatan primer yang terintegrasi demi kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih baik lagi.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H