Saya menganalisa tekanan darahnya masih dalam rentang normal. Ukuran lingkar perut yang dapat menjadi penanda kemungkinan kolesterol tinggi pada seseorang juga masih dalam rentang normal sehingga sementara tak saya periksakan dan pun mengingat pada pasien juga tak ada keluhan klasik seperti nyeri kepala atau nyeri pada tengkuk.Â
Setelah seluruh keadaan organik lain yang diperkirakan dapat menjadi penyebab susah tidur pada pasien ini, saya mulai menanyakan hal yang mengarah terkait keadaan yang mungkin mengokupasi pikiran.
"Ibu sebelumnya sudah pernah cari-cari di internet ya terkait keluhan matanya ini?"
"Iya dok, saya pernah minta carikan anak saya, kata anak saya kemungkinan ini katarak dan kemungkinan dioperasi. Apakah saya akan dioperasi dok?"
"Kemungkinan terkait dioperasi atau tidak nanti yang akan menentukan adalah dokter spesialis matanya bu. Namun sejauh yang saya tahu, katarak jika masih tipis mungkin akan diobati dulu dengan obat-obat tetes mata, kecuali setelah pengobatan ternyata ia justru semakin tebal mungkin dioperasi. Ibu takut dioperasi ya?"Â
"Iya dok, saya sampai tidak bisa tidur karena memikirkan ini." Dan anak dari pasien pun terlihat terkejut mendengar penuturan sang ibu. Mungkin sang anak tak mengira bahwa ibunya akan memikirkan masalah operasi katarak hingga sang ibu tak bisa tidur.
Salah satu hal yang membuat saya begitu bahagia diberikan kesempatan menjadi seorang dokter ialah saat saya dapat mengidentifikasi masalah-masalah pasien yang tak terbatas hanya dari masalah kesehatan fisik namun juga kesehatan jiwa.Â
Ingin rasanya saya mengedukasi pasien terkait penyakitnya secara komprehensif dan holistik dari A sampai Z, namun jelas tak bisa. Puluhan pasien dengan mata berbinar setiap kali melihat pasien dengan nomor antrian lebih awal keluar dari pintu ruang poli umum tentu ia menunggu-nunggu kapan ia akan dipanggil karena tentu siapa sih yang senang menunggu lama.
Di saat itulah saya mulai memikirkan, andai di Puskesmas saya ada tambahan satu lagi tenaga kesehatan yang berfokus pada jiwa yakni seorang psikolog. Teringat dulu saat berkuliah di Yogyakarta, Puskesmas disana telah memiliki paling tidak satu psikolog untuk membantu kegiatan promotif, preventif, dan kuratif kesehatan jiwa.Â
Saya jelas bertanya-tanya mengapa ya di tempat saya tidak ada? Pada akhirnya, saya hanya dapat menyalahkan keadaan karena hanya dapat memberi edukasi terkait pengelolaan stress kepada pasien tersebut dalam beberapa kalimat yang saya rasa tentu tak akan maksimal, semaksimal jika ada seorang psikolog.
Masalah kesehatan jiwa sudah seharusnya tak dipandang sebelah mata. Begitu banyak penyakit fisik yang timbul berawal dari masalah jiwa dan begitu banyak juga penyakit fisik yang lalu diiringi dengan masalah jiwa. Keterbatasan sumber daya manusia kesehatan (SDM-K) jika dibandingkan jumlah pasien yang harus dilayani mau tidak mau telah menyadarkan kita bahwa tak bisa memaksakan SDM-K dengan alokasi yang seadanya.