Seorang dokter akan menentukan pemeriksaan penunjang apa saja yang diperlukan untuk seorang pasien. Jika ingin memeriksa laboratorium darah, parameter mana yang ingin diperiksa? Tentu tidak semua parameter, namun menyesuaikan ke arah mana kecurigaan berdasar anamnesis dan pemeriksaan fisik yang telah dilakukan sebelumnya.
Jika ingin melakukan pemeriksaan radiologi, misal cedera kepala seperti apa yang hanya pemeriksaan x-ray dan mana pemeriksaan ct-scan yang tentu biayanya jauh lebih mahal berlipat ganda (dibanding x-ray). Setelah telah mendapatkan diagnosis, lalu harus diberikan obat apa? Perlu kah obat A? Atau obat A sebenarnya tidak ada efikasinya menurut Level of Evidence(LoE)?
 Disinilah betapa pentingnya seorang mahasiswa kedokteran memahami bahwa ia harus belajar lebih giat dan memanfaatkan privilese sebagai calon dokter yang dipercaya oleh orang awam untuk mengotak-atik tubuhnya, namun juga sebagai dokter yang bertanggung jawab kepada negara.Â
Dokter wajib hukumnya untuk giat memperbaharui ilmunya dengan tidak hanya membaca buku-buku kedokteran dari dasar hingga lanjutan, namun juga jurnal-jurnal penelitian dari penelitian cross-sectional hingga penelitian yang bersifat meta-analysis agar tak ketinggalan zaman.
Kemudian, apa yang akan terjadi jika seorang mahasiswa kedokteran malas belajar? Ia akan menjadi dokter yang terjun ke lapangan tanpa kompas. Ia akan kebingungan mengarahkan kecurigaan diagnosis pasien ke arah mana. Akhirnya, ia hanya akan berharap pemeriksaan penunjang yang dibuatnya sebagai makanan gado-gado atau nasi campur dapat menjadi ultimatumnya.Â
Padahal, pemeriksaan penunjang hanyalah penunjang sesuai namanya. "Mahal kudapat, tepat diagnosis tak ku dapat." kiranya menggambarkan keadaan ini. Padahal, kekonsistenan riwayat penyakit yang langsung dilontarkan dari mulut pasien dan keluarga pasien lalu suara nafas atau suara perut ataupun suara pembuluh darah yang kita dengar langsung dengan telinga dan stetoskop kita, atau pengembangan dada yang tak simetris dan tarikan dinding dada yang kita lihat langsung dengan mata kita, atau krepitasi pada dinding dada setelah seorang pasien terbentur dadanya yang langsung kita rasakan dengan ujung-ujung jari kita adalah petunjuk yang jauh lebih penting selama kita terus giat belajar sehingga anamnesis dan pemeriksaan fisik tak sekedar hanya tulisan di rekam medis yang tak bermakna, namun lebih jauh daripada itu yakni sebagai clue yang sama saat kita memposisikan diri kita seperti seorang Sherlock Holmes yang mencoba mencari Ayah Mary pada The Sign of the Four (1890)Â melalui petunjuk-petunjuk yang ia kumpulkan dan merangkai seluruhnya hingga akhirnya ia menemukan 'diagnosis'nya.Â
Tentu kita tak berharap kita akan menjadi dokter pembelanja yang boros, yang membuat JKN akan semakin terpuruk dalam jurang defisit yang lebih dalam, walau JKN bukanlah toko roti yang tak mungkin tutup, paling tidak JKN sebagai toko roti akan berusaha mencari modal dengan berutang di tempat lain, atau mengambil porsi modal yang sebelumnya telah ia niatkan untuk tokonya yang lain.Â
Sehingga mungkin tak serta merta dampak JKN defisit akan langsung kita rasakan dan itulah mengapa kita tak tergerak untuk rajin belajar dan menjadi pembelanja yang hemat, karena merasa boros atau hemat kita sebagai dokter tak akan berdampak secara langsung kepada kita.Â
Tapi paling tidak, ini adalah bentuk pertanggungjawaban agar kita tak dzalim karena membuang-membuang uang, atau.. paling tidak ini adalah motivasi agar kita terus meningkatkan keilmuan dan mampu memberikan diagnosis serta terapi terbaik untuk pasien dengan cara yang paling efisien yang pada akhirnya akan meningkatkan status kesehatan.
Percayalah, menjadi dokter yang baik (secara keilmuan maupun perilaku) tak hanya sekedar untuk JKN, tapi lebih dari itu ialah sebagai pertanggungjawaban kita sebagai sesama manusia kepada pasien-pasien kita karena kita telah mengemban misi besar kemanusiaan untuk mampu mendiagnosis dan memberi terapi secara tepat dan tak asal-asalan, mampu mengintegrasikan ilmu teori dan keterampilan yang telah dipelajari selama di bangku kedokteran, serta tak membuat bahaya namun tentu untuk menyembuhkan (Primum non nocere, first do no harm).
Selamat belajar rekan-rekan dokter sejawat dan mahasiswa-mahasiswi kedokteran!