Mohon tunggu...
Ariana Maharani
Ariana Maharani Mohon Tunggu... Dokter - MD

Pediatric resident and postgraduate student of clinical medical science at Universitas Gadjah Mada, Instagram: @arianamaharani

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Saat Standar Kompetensi Dokter Indonesia Level 4A Hanya Tulisan di Atas Kertas, Benarkah Puskesmas Adalah Garda Terdepan?

6 Juni 2022   16:19 Diperbarui: 6 Juni 2022   16:27 3199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat sebelum berpindah stase dari stase internship di Rumah Sakit (RS) ke Puskesmas, di waktu luangku, aku buka kembali dokumen bernama Standar Kompetensi Dokter Indonesia atau kerap disebut SKDI, tak lain tak bukan adalah agar aku dapat kembali mengingat penyakit apa saja yang harusnya dapat aku diagnosa dan lakukan tatalaksana secara mandiri dan tuntas atau mana yang cukup aku diagnosis dan edukasi lalu aku rujuk untuk mendapat pelayanan ke Fasilitas Kesehatan yang lebih tinggi atau Fasilitas Kesehatan Tingkat Sekunder (FKTS). 

Sepenting itu memang ku pikir, untuk seorang dokter memahami mana kasus yang harusnya dapat ditangani sendiri, mana kasus yang boleh kita rujuk, dengan tujuan agar mampu mengurangi biaya dengan mengurangi rujukan ke kasus-kasus non-spesialistik yang harusnya bisa seorang dokter umum tangani.

Namun, tak jarang ku dengar salah satu dari sekian berita mengejutkan, saat sebuah Snellen Chart (alat untuk memeriksa visus/kemampuan penglihatan seseorang) ternyata tidak tersedia di Puskesmas? Bagaimana bisa seorang dokter mendiagnosis berapa visus pasien ini? Dan lalu kacamata dengan lensa negatif berapa yang ingin dokter resepkan pada pasien rabun jauh yang visusnya tidak diketahui ini tadi? 

Ku ingat-ingat kembali, rasanya tak pernah kami diajarkan tebak-tebak visus berhadiah saat kuliah kedokteran. Kalau sudah seperti ini, para dokter umum hanya tinggal tersenyum sambil menuliskan surat rujukan ke FKTS, padahal hipermetropia ringan, miopia ringan, astigmatisme ringan, presbiopia adalah standar kompetensi 4A.

Namun manusia tak akan percaya jika tak mengalami. Di hari awal-awal aku internship, datanglah seorang ibu-ibu kepadaku mengeluhkan sudah tidak bisa melihat jauh. Ku lihat sekeliling ruang pemeriksaan tak ada Snellen Chart yang berbentuk kertas dihiasi huruf berukuran besar ke sedang ke kecil hingga sangat kecil itu. Jadi tentu aku tak akan berharap menemui Snellen Chart yang lebih canggih seperti proyektor yang bisa dikendalikan dengan remote, menemukan yang terbuat dari kertas saja aku akan sangat senang.

"Sebentar ya bu, ada alat yang ingin saya cari" ucapku kepada pasien. Si ibu pun mengangguk dan antusias alat apa yang akan aku bawa. Aku lalu menuju ruang sebelah tempat dokter umum (dokter tetap/non-internship) yang sedang memeriksa pasien.

"Dok, Snellen Chart dimana ya?" tanyaku penasaran dan sudah siap untuk menggunakan.
"Wah, Snellen Chartnya sudah berdebu dok. Tidak pernah dipakai. Karena ruangan kita tak ideal. Tak sampai 6 meter. Rujuk saja ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dok."
"Oh baik dok. Terima kasih infonya dok."

Ternyata kisahku tak kalah mengejutkan dari berita-berita di Puskesmas lain yang pernah kubaca. Terdapat Snellen Chart berdebu, tak pernah dipakai, karena ruangan yang tak ideal, begitu kecil dan sempit, tak bisa dilakukan pemeriksaan. Standar Kompetensi 4A ternyata memang sebagian hanya tulisan di atas kertas. Tidak usah meresepkan kacamata, mendiagnosis visusnya saja berapa, aku sudah angkat tangan.

Ada banyak sekali memang faktor di lapangan, yang membuat kasus-kasus non-spesialistik yang seharusnya tuntas di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas, harus dirujuk, yang tentunya akan merugikan si negara sendiri dalam jangka panjang terhadap pembengkakan biaya kesehatan dan merugikan masyarakat yang katanya sih dijamin sebuah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena harus merogoh kocek untuk pergi ke RSUD yang sering kali berjarak lumayan, atau ya paling tidak membuang-buang waktu, karena harus dua kali pemeriksaan, untuk hal yang harusnya tuntas dalam satu waktu. 

Faktor-faktor tersebut antara lain ketersediaan obat di Puskesmas yang tak jarang juga sangat sering mengalami kelangkaan, bahkan untuk obat-obat pereda nyeri seperti parasetamol saja sudah sering diributkan karena hilang dari persediaan, lalu ketersediaan alat medis sehingga dokter tidak dapat melakukan diagnosis dan berpengaruh juga terhadap terapi apa yang harus diberikan.

Penulis berharap lewat tulisan ini pihak-pihak yang berwenang dapat sekiranya menyelaraskan, jika suatu penyakit diharapkan tuntas secara mandiri di FKTP/Puskesmas, maka pihak-pihak berwenang tentu juga harus menuntaskan tanggung jawab untuk menjamin kesehatan semua masyarakat melalui Sistem Kesehatan Nasional yang lebih baik lagi dengan memberikan sistem yang terintegrasi dan holistik serta menentukan tujuan bersama yang terukur dan pengambilan keputusan yang kolaboratif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun