Mohon tunggu...
Robertus Arian Datusanantyo
Robertus Arian Datusanantyo Mohon Tunggu... Dokter -

Dokter, sedang menempuh pendidikan spesialis di Universitas Airlangga Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Perlunya Sosialisasi Restriksi Jaminan Pelayanan Kesehatan

3 Mei 2012   06:23 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:48 304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berobat dan sekolah gratis adalah bahan kampanye paling laris di Republik ini. Tercatat beberapa kepala daerah memenangkan pilkada dengan mengusung ide ini. Pemerintah pusat sendiri telah juga memberikan fasilitas berobat gratis bagi masyarakat miskin. Untuk para pegawai negeri, disediakan Askes sosial berbasis premi. Jamsostek adalah sistem lain yang bisa dijadikan contoh penjaminan biaya pelayanan kesehatan.

Umumnya, pelayanan kesehatan yang menggratiskan biaya pelayanan kesehatan tidak memperbolehkan penerima pelayanan untuk iur biaya. Berbeda dengan sistem penjaminan berbasis premi. Pemegang askes sosial, jamsostek, dan asuransi swasta berhak untuk iur biaya pelayanan kesehatan. Dengan seijin penerima pelayanan, PPK dapat menarik biaya iur yang sesuai dengan pelayanan yang dibutuhkan oleh penerima pelayanan kesehatan.

Sampai saat ini, di tingkat nasional hanya ada satu program penjaminan kesehatan gratis yang ada, yaitu Jamkesmas. PPK memberikan pelayanan terlebih dahulu, kemudian membuat penagihan ke Departemen Kesehatan. Penagihan ini sendiri saat ini menggunakan daftar grup penyakit dalam INA CBGs (Indonesia Case Based Groups).

Jamkesmas adalah program penjaminan yang kepesertaannya dibatasi dengan kriteria miskin dan dengan demikian mewajibkan PPK memberikan pelayanan gratis di kelas tiga tanpa diperbolehkan memungut biaya apapun, pada kasus yang sesuai dengan fasilitas dan sumber daya yang dimiliki PPK. Inilah yang kurang disosialisasikan kepada para penerima manfaat Jamkesmas, media massa, dan masyarakat umum.

Sampai saat ini, informasi yang diberikan penekanannya lebih pada orang miskin bisa berobat gratis lewat Jamkesmas. Akan lebih baik lagi bila restriksi juga disampaikan pada masyarakat. Seperti misalnya RSUD di tingkat Kabupaten, atau RS dengan tipe B dan C, tidak semua dapat melayani pelayanan cuci darah (hemodialisis) walaupun RS yang bersangkutan memiliki fasilitasnya. Bila dipaksakan, ini akan berakibat RS tersebut tidak dapat mengajukan klaim penggantian biaya cuci darah tersebut. Demikian juga dengan operasi-operasi dan tindakan medis tertentu seperti misalnya kemoterapi pada kanker. Walaupun RS tersebut bisa melaksanakan pelayanan tersebut namun tidak memungkinkan dari sisi kelas rumah sakit, apapun cara yang ditempuh, penggantian biaya tidak akan bisa diberikan oleh Depkes.

Ketidaklengkapan informasi ini membuat banyak masyarakat datang ke rumah sakit, tanpa peduli kelas dan sumber daya rumah sakit, yang minta diberi pelayanan gratis dan sampai sembuh bahkan minta di kelas satu. Mereka marah dan protes bila dikirim ke RS lain yang mempunyai fasilitas yang diperlukan pasien dan diakui oleh pengelola program Jamkesmas.

Lain dengan jaminan kesehatan yang dikeluarkan daerah. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah salah satu daerah yang memberikan kesempatan kepada warganya menikmati sistem penjaminan kesehatan yang lebih cerdas. Lain dengan jamkesmas yang dibatasi kriteria miskin, jamkesda di DIY ini diberikan pada warga miskin yang tidak memperoleh jamkesmas, namun juga dibuka kesempatannya bagi warga masyarakat yang ingin mengikutinya dengan biaya mandiri. Biaya keikutsertaan yang cukup ringan, dengan banyaknya fasilitas yang ditawarkan nampaknya akan merangsang banyak orang tanpa jaminan pembiayaan kesehatan yang akan mendapat manfaat.

Program jaminan di tingkat provinsi dan kabupaten biasanya memperbolehkan iur biaya oleh pasien, namun mempunyai tata cara khusus dalam pemberian pelayanan. Misalnya daftar obat. Tidak jarang pasien dan keluarga juga memprotes kebijakan obat oleh dokter, “Sudah dijamin kok masih harus bayar.” Setiap sistem penjaminan, bahkan Askes sosial, mempunyai daftar obat yang masuk dalam penjaminan, lengkap dengan pembatasan untuk obat-obat khusus (antibiotika tertentu, obat kanker, gas anestesi, dll). Selama obat yang diberikan masuk dalam daftar ini, pasien tidak perlu iur biaya. Kelas perawatan juga demikian. Pasien dengan jaminan ini dilayani di kelas tiga. Bila pasien menghendaki dirawat di kelas yang lebih tinggi, selisih biaya dapat diganti dengan iur.

Mana saja program dan sistem yang ada, memang bermanfaat dalam membantu masyarakat mengakses pelayanan kesehatan. Namun demikian, restriksi-restriksi dalam pelayanan kesehatan harus juga menjadi satu bagian dalam sosialisasi sehingga masyarakat tahu hak dan kewajibannya dalam sistem pelayanan kesehatan ini. Sosialisasi yang tidak akurat menimbulkan kesan pemerintah yang menyepelekan urusan dan ingin asal menyenangkan masyarakat. Masyarakat harus juga dididik untuk mempergunakan fasilitas pelayanan kesehatan sesuai dengan porsinya, termasuk memperhatikan sistem rujukan. Salam!

Tulisan ini juga dapat anda baca di http://robertusarian.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun