Mohon tunggu...
Aria FhatmaEliza
Aria FhatmaEliza Mohon Tunggu... Lainnya - Koordinator Kabupaten Program Keluarga Harapan Kementerian Sosial

Hidup adalah perjuangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PKH dan Sengkarut DTKS

12 Februari 2021   20:40 Diperbarui: 12 Februari 2021   20:52 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedua, pemutakhiran tidak dilakukan secara menyeluruh. Pemutakhiran yang dilakukan hanya menambahkan rumah tangga miskin baru, sedangkan yang sudah ada didalam DTKS sebelumnya tidak dimutakhirkan, terutama mereka yang sedang menjadi penerima bantuan sosial. Padahal tidak sedikit dari mereka yang ada dalam DTKS yang lama itu sudah mapan ekonominya, tetapi karena pertimbangan-pertimbangan yang cenderung bersifat politis,  mereka tetap dipertahankan. Itulah salah satu dampak dari demokrasi langsung yang sulit dihindari, kepala desa bahkan kepala daerah berhitung sisi elektoral dalam usulan DTKS, mengeluarkan keluarga penerima manfaat (meskipun sudah mapan) dikhawatirkan berdampak buruk secara elektoral terhadap mereka yang sedang mejabat berupa berpindahnya pemilih dalam kontestasi pemilihan kepala desa atau kepala daerah berikutnya. Padahal sejatinya pemutakhiran DTKS tidaklah hanya menambahkan rumah tangga miskin baru, tetapi juga mengeluarkan rumah tangga yang sudah sejahtera agar peluang rumah tangga miskin lebih besar untuk mendapatkan bantuan sosial.

            Menghadapi situasi seperti itu, posisi pendamping-pendamping sosial sering menjadi dilematis di lapangan ketika menemui ada rumah tangga yang sudah sejahtera menjadi keluarga penerima manfaat bantuan sosial. Disatu sisi secara profesional mereka mesti mengeluarkan rumah tangga tersebut dari keluarga penerima manfaat, namun disisi lain acap kali tidak mendapat dukungan dari pemerintah setempat. Apalagi jika pendamping sosial bukan orang tempatan, juga bisa menjadi ancaman secara fisik atau psikis bagi pendamping sosial. Oleh karenanya pendekatan yang didorong untuk ditempuh adalah terus menerus melakukan edukasi dan motivasi agar KPM yang sudah sejahtera sadar diri dan mengundurkan diri secara sukarela, dan ini memang tidak mudah karena sudah tertanam paradigma di sebagian besar masyarakat bahwa ketika nama mereka turun sebagai penerima bantuan, mereka merasa itu tetap hak mereka walaupun mereka sudah sejahtera. Mereka tidak sadar bahwa dengan tetap bertahannya mereka sebagai KPM sama artinya mereka menghalangi masuknya rumah tangga miskin yang lebih pantas untuk mendapatkan bantuan. Namun, sungguhpun begitu, kita tentu patut mengapresiasi mereka yang sadar diri dan mengundurkan diri secara sukarela yang disebut juga dengan graduasi mandiri. Untuk PKH, tahun 2020 Kementerian Sosial mencatat terdapat 341.777 KPM yang melakukan graduasi mandiri.

            Terakhir, tentu kita berharap pemutakhiran DTKS secara besar-besaran yang direncanakan Kementerian Sosial pada tahun 2021 ini dengan menggunakan tenaga-tenaga profesional berjalan lancar. Tidak saja profesional, independensi pencacah data juga sangat diharapkan guna menghasilkan DTKS yang benar-benar mutakhir dan valid, sehingga kedepannya kita tidak lagi saling tuding dan menyalahkan, dan yang lebih penting dari itu orang-orang yang patut dibantu segera mendapatkan bantuan.

(Tulisan ini telah dimuat pada Harian Riau Pos 12 Februari 2021)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun