Mohon tunggu...
hasan saropi
hasan saropi Mohon Tunggu... pansiunan -

Berbagi pengetahuan dan pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Enam Puluh Tahun Persahabatan

19 Juli 2015   19:38 Diperbarui: 19 Juli 2015   19:55 445
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertengahan bulan Juni 2015  yang lalu kami berjumpa dengan sahabat masa kecil ketika dia berkunjung ke Denpasar  tempat domisiliku saat ini. Tidak terasa sudah lima tahun berlalu setelah pertemuan kami terahir di kota Palembang. Pertemuan ini sejalan dengan kegiatan profesinya pada saat mengikuti  workshop ilmu kedokteran anak  di Bali. Suatu surprise juga ketika masuk telephonenya minta diatur makan malam bersama, mengabarkan saat ini berada di Bali. Setelah berunding dengan isteri dipilihlah sebuah restoran di Sanur. Tempatnya nyaman, menunya juga cocok untuk lidah penduduk lokal, disamping itu lokasinya tidak jauh dari hotel tempat sahabatku bermalam

 Sambil makan malam,muncul kenangan masa kecil . Mulai kisah; memancing tidak dapat ikan, memanjat jambu orang tanpa permisi, dan ....makan pempek  tiga bayarnya ngaku dua, mengejar wanita cantik...eee ternyata masih saudara. Banyak lagi kisah kenakalan anak kecil pada umumnya waktu itu , meskipun demikian tidak eksterem.

Persahabatan kami merupakan perjalanan waktu yang panjang.Mulai ketika sekolah dasar(sekolah rakyat) di Plaju komplek pertamina(dulu BPM Shell) kami satu klas dan teman sepermainan diluar waktu-waktu belajar. Kami terpisahkan ketika  SMP karena beda sekolah dan beda waktu jam belajarnya,sehingga sangat jarang berjumpa. Kebersamaan kembali terjalin ketika sekelas di SMA. Sama-sama bersepeda kesekolah, dan menumpang ferry (kapal) buruh minyak pulang- pergi Plaju ke Palembang. Berangkat habis subuh, dan pulangnya sore hari, semua suka duka dibagi bersama.

Persahabatan kami terasa unik. Betapa tidak, setelah lulus SMA baru ketemu dua belas tahun kemudian th 1977 di daerah konflik  Timor-timur. Selama ini kami terpisah , karena aku merantau mengikuti pendidikan kedinasan dan penugasan,sedangkan sahabatku kuliah dan bekerja jauh di kota kabupaten. Transportasi dan komunikasi masih sulit, telephone masih jauh dari jangkauan. Kabar perkembangan masing-masing hanya dapat cerita dari teman yang dijumpai. Siapa bisa mengira , kalau bukan suratan takdir dua sahabat kemudian dipertemukan dalam tugas yang sama dengan profesi berbeda. Ketika itu kami akan menangani penduduk pengungsi yang baru turun dari gunung dan beritanya dokter medis yang ditugaskan bernama dr.Abdullah yang akan dikirim PMI dari Dilli ke Baucau tempat aku bertugas. Tak disangka dokter tersebut adalah sahabat masa kecil.

Di Baucau kami bernostalgia. Dan ternyata isteri sahabatku ibunya sekampung denganku dan masih ada hubungan famili. Saya kenal isteri sahabatku karena ia sering bermain kerumah kami yang bertetangga dengan keluarganya. Setelah pertemuan ini baru berjumpa lagi sepuluh tahun kemudian th 1987 ketika aku mampir kekediamannya di Baturaja. Pertemuan ini sengaja direncanakan sejalan dengan rute kembali ke Jakarta setelah silaturahmi ke orang tua di Plaju. Selama satu malam dirumah dinasnya yang ketika itu sendirian karena isteri dan anaknya  di Palembang. Lokasi tugasnya yang jauh dari Palembang merupakan salah satu penyebab hambatan perjumpaan kami.

Pertemuan lima tahun yang lalupun suatu pertemuan tidak disangka. Ketika itu aku dan keluarga pulang nyekar  kemakam orang tua. Beberapa hari di Palembang  berusaha menghubungi sahabatku  tersebut tidak terkoneksi. Namun tidak disangka malam terahir akan meninggalkan kota Palembang ketika sedang makan malam di sebuah restoran di tepi Sungai Musi, tiba-tiba masuk dering telephone dari sahabatku. Komunikasi sebentar yang menyatakan dia baru mendarat di Bandara  dari tugas ke Hongkong. Tiada waktu lain , maka bergabunglah sahabatku   di tepi Sungai Musi tempat dimana dulu kami nongkrong menunggu kapal penjemputan dan tempat jajan pempek pikulan yang makan tiga bayarnya ngaku dua. Tempat itu sudah berubah  jauh , rapi bersih lantai datar bertegel, dulu hanya tepian Sungai Musi yang berpasir. Perjumpaan tidak lama karena sahabatku mau langsung pulang ke Baturaja yang cukup jauh. Selain pertemuan yang khas itu ada juga pertemuan  lain seperti di Bandung dan di Palembang.

Malam terahirnya berada di Bali , sahabatku minta diatur rekreasi ke pantai Kuta . Sore itu tibalah kami di pantai Kuta yang terkenal. Maksud hati mau mengabadikan suasana sunset, namun sayang cuaca berawan tidak mendukung. Sambil mengabadikan suasana dengan ponsel masing-masing , cerita nostalgiapun berlangsung.  Dua sahabat sepakat bersyukur dengan apa kami capai sampai saat ini. Waktu kecil dulu tidak terbayang akan menjadi apa kelak. Hanya seorang sahabat yang sudah almarhum, waktu itu bercita-cita menjadi Taruna AMN(akademi militer nasional). Ketika ditanya mengapa? Jawabannya sangat simpel khas anak muda. Taruna AMN gagah pake jaket wool gabardin, nanti kalau jadi kami dijanjikan satu stel. Namun sayang sahabat kami berpulang sebelum menamatkan SMA. Kami menerawang mengingat masa kecil hanya anak buruh minyak rendahan belum berani bercita-cita tinggi. Sekarang syukur alhamdulillah hanya kami berdua semasa sekolah rakyat yang bisa mencapai seperti sekarang ini. Sahabatku menjadi dokter spesialis anak, sedangkan aku yang menjadi yatim ketika kelas dua SMP. Hanya karena kegigihan belajar masih dapat mengenyam pendidikan berikatan dinas tanpa membebani orang tua. Memang kami tidak mencapai top rank, namun sudah lebih dari cukup pencapaian masing- masing bila mengingat keterbatasan sumberdaya yang dapat mendukung pencapaian cita-cita. Kami berkilas balik siapa teman yang sudah mendahului kita dan dimana keberadaan teman yang lainnya, namun sayang lebih banyak yang putus komunikasi. Tidak terasa waktu jualah yang membatasi.

Perjumpaan ditutup dengan makan malam di sebuah restoran Padang menu makan kesukaannya. Sangat kebetulan restoran yang menjadi paforit kami pertama kali ke Bali masih buka. Sambil makan , terungkap betapa tersitanya waktu sahabatku ini demi pengabdian profesi. Tiap hari dari pagi sampai tengah malam melayani pasien. Pasien selain di tempat praktek pribadi juga kunjungan ke rumah-rumah sakit. Tidak tega katanya, melihat keluarga penuh harap kesembuhan anaknya yang datang dari pelosok desa, lalu dengan mengabaikan   harapan kunjungan segera untuk ditangani. Istirahat hanya beberapa jam siang hari dan selepas magrib untuk makan siang dan makan malam.  Suatu pengabdian yang tulus di kota kabupaten di tengah Sumatera Selatan. Perjumpaan ditutup dengan tetap sahabatku kukuh dia yang bayar, hanya ketika mengopi di Beachwalk dia menyerah karena keburu sudah dibayar isteriku ketika pemesanan.  Setelah ini entah kapan dan dimana bisa jumpa lagi seiring bertambah senjanya usia? Hanya sekarang bersyukur dengan kemajuan teknologi komunikasi, maka kami dapat saling bersilaturahmi dan bertukar informasi dengan cepat dan mudah. Semoga Allah SWT masih memberi kesempatan lagi.

 

Aria8, 19 Juli 2015 Jimbaran Bali

Foto dukumen pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun