Belum lama ini ada yang nanya apa arti kata "mencelos" pada puisi yang iseng saya posting di fesbuk. Mencelos ini sulit dijelaskan, sejenis kaget tapi kaget yang bukan kaget biasa. Aaargh... Entah gimana menjelelaskannya, mengingat di KBBI saja gak ada definisi kata ini.
Mencelos adalah kosa kata yang saya dapat juga dari Mbak Listiana, salah satu editor senior di gramedia. Mencelos ini kebetulan dipopulerkan olehnya, selain beberapa kata semisal "berjengit" dan "mengedikkan bahu". Bahasa Indonesia memang luwes, ada banyak kosa kata yang bisa dipadu padankan, dan masih banyak pula kata yang jarang terpakai. Senandika, semenjana, ketaksaan, pengokot, dan daring tentunya asing di kuping, padahal ini juga adalah bahasa kita yang bisa dipake sehari-hari, setidaknya demi menghargai kata yang sudah dibuat susah payah oleh balai bahasa.
"Unggah" dan "unduh" saja adalah kata-kata baru yang mulai populer sebagai pengganti kata upload dan download. Akhir-akhir ini saya juga mulai sering membaca kata "kudapan" sebagai pengganti kata snack yang tertera di undangan-undangan resmi. Jadi mestinya kata-kata asing yang lain juga bisa dicari serapannya, tergantung kesepakatan dan kebiasaan.
Baiklah, saya gak akan ngebahas lebih jauh soal itu. Kali ini saya mau cerita tentang siapa Mbak Listiana, buat yang belum tau aja. Yang gak doyan tulisan kepanjangan, saya ingatkan silakan postingan ini diskip. Hehehe..
Alkisah sekitar akhir tahun 2008 saya mendapat undangan kehormatan ke kantor Redaksi Gramedia di Palmerah, semacam penghargaan atas buku pertama saya, Jakarta Underkompor, yang oleh penerbit masuk kategori best seller setelah cetak ulang 10 ribu eksemplar dalam dua minggu. Haha.. songong dah. Yang pasti saya benar-benar spechless dan mencelos waktu itu. Menurut editor saya mbak Ike, setelah jaman Lupus memang hampir gak ada lagi buku genre serupa yang diterbitkan gramedia, kebanyakan teenlit dan terjemahan, makanya saya masuk di saat yang tepat. Kebetulan lagi mbak Ike adalah orang yang juga mengeditori buku-buku Lupus sejak tahun 80-an, yang notabene Lupus ini adalah bacaan favorit saya sejak SD. Maka klop lah kemujuran saya.
Kantor gramedia adalah surga bagi kutu buku. Seabrek-abrek buku keren menumpuk sepanjang jalan koridor dan tiap kubikel di dalam ruangan redaksi. Ibarat deretan patung kayu yang siap menghajar Jet Lee hingga babak belur. Walhasil saya benar-benar mabok buku waktu itu, tinggal memilih mana yang bisa dibawa pulang.
Setelah berjumpa para editor senior; Mbak Ike, Mbak Vera, Mbak Hetih, tiba-tiba masuklah ke ruangan seorang wanita paruh baya dengan senyum manis membawa sepiring kecil brownies yang langsung disodorkan ke saya. "kamu mengingatkanku pada Hilman Hariwidjaya.."katanya. "Ya, mirip Hilman saat datang ke sini pertama kali membawa naskah Lupus. Pemuda pemalu yang gak banyak ngomong dan ternyata cuma ngocol di buku. Persis kamu" lanjutnya. Saya cuma bisa cengengesan najong. Belakangan saya tau ibu itu namanya Listiana, dipanggil Mbak Lis. Dan belakangan juga saya tau kalo kupluk gede yang dipakainya adalah penutup kepala dari kebotakan selama menjalani kemoterapi.
Lima tahun setelah perjumpaan itu, saya nyaris lupa sosok mbak Lis sampai saya membaca sebuah artikel yang sontak membuat darah saya berdesir. Perjumpaan di redaksi gramedia itu ternyata pertama dan terakhir kalinya. Mbak Lis sudah berpulang dua tahun sejak pertemuan itu setelah berjuang melawan kanker. Yang bikin saya nyesek, bukan karena telat tau beliau meninggal, tapi terlebih karena saya telat menyadari kalo Mbak Lis ini salah satu orang hebat yang pernah di miliki negeri ini.
Mbak Lis adalah penerjemah serial Harry Potter, buku paling laris dalam sejarah perbukuan gramedia. Di tengah penerjemahan serial Harry Potter yang ke-5, beliau divonis kanker paru-paru stadium 3B. Hebatnya, di antara jadwal kemoterapi yang melelahkan ia berhasil menuntaskan tugas menerjemahkan ketujuh serial Harry Potter sampai akhirnya ia meninggal dunia tahun 2010. Buku setebal 900-an halaman bisa ia terjemahkan dalam waktu hanya 5 minggu.
Awalnya gramedia konon gak berniat menerjemahkan karya J.K Rowling tersebut, karena khawatir dongeng tebal itu gak suskes di pangsa pasar anak Indonesia. Tapi Mbak Lis ngotot memperjuangkan. Lewat tangannya, kata-kata, frasa, maupun kalimat yang dalam naskah aslinya kekanak-kanakan, diubah menjadi kalimat Indonesia yang gak biasa dan sedap dibaca. Harry Potter yang naskah aslinya dongeng banget disulap menjadi bacaan cerdas anak Indonesia.
Kata mencelos, berjengit, mengedikkan bahu adalah istilah yang mungkin saja gak akan pernah ditemukan di buku manapun selain Harry Potter. Kira-kira sama statusnya dengan kata sepeminuman teh atau sepelemparan tombak dalam buku-buku Wiro Sableng karya Bastian Tito, bokapnya Vino G Bastian. Ataupun kata berpagut dan menggelinjang dalam buku-buku Fredy S.
Eeh.. Sorry, ini lain kasus. Hihihi..