Dalam batinnya sempat dia gumamkan, "Ya Allah, jadikanlah kaum ibu selalu bersyukur dan tak henti berjuang serta tidak putus asa. Jangan jadikan kami kaum ibu, hamba-hamba-Mu yang kufur nikmat."
Mata wanita itu berkisah pasrah tak peduli panah api setiap lelaki siap menikam ulu hatinya. Wanita tanpa suami tanpa keturunan. Panah-panah api lelaki bagi Mih Ntit adalah seumpama muara cinta sang Bisma yang membiarkan tubuhnya disangga para panah lepas gondewa.
"Ayo masuk, Kang Dyang. Mengapa mematung saja di situ? Kaget ya? Â Mih Ntit sudah dua tahun ini meninggal." suara dari lelaki setengah abad itu cukup mengejutkanÂ
"Inna lillahi wa inna Ilaihi rojiun, Lif. Aku sempat kaget saja. Kamu masih setia menempati tempat kita nongkrong dulu."
"Iya, Dyang. Semenjak Mih Ntit sakit aku merawatnya di sini. Dan sebelum dia meninggal, lahan tanah seluas lima bata bekas warungnya itu, diabwakafkan untuk taman baca masyarakat kampung ini."
"Subhanalloh, aku bangga, Lif. Kau meneruskan perjuangan Mih Ntit membina anak-anak kampung sini." Dyang mendekap erat sahabat saat remajanya dulu.Â
Alif mengubah warung Mih Ntit selain berfungsi sebagai warung, tempat pengolahan "Babe" kemasan plastik, juga di sampingnya dibangun Taman Baca  Mih Ntit.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H