Cerawat  bersinar  meninggalkan jejaknya di langit malam, memberikan  pesan, sedang terjadi hal yang tak beres di istana. Aku bergerak cepat, menuju pagar rumah warga, tempat penitipan kuda. Berpijak pada  sanggurdi, lalu segera memacu kuda, meninggalkan pasukan Arkikni --para pengawal pribadiku-- yang beristirahat di warung. Kami baru saja pulang  dari kerajaan Ganggula, untuk membantu keadaan rakyat di sana yang kekurangan makanan.
Cahaya dari obor sepanjang rumah menerangi jalan, hingga tanpa kendala, aku sampai di depan gerbang istana.
 Kulihat, darah tercecer mewarnai beberapa sudut tanah yang RENGKAH  karena kemarau. 'Rupanya pemberontak tak berhasil mulus,' ucapku dalam  hati.
"Ke mana perginya para pengawal Anda, Tuan?" Para  penjaga gerbang yang masih hidup panik, melihat aku berjalan sendirian.  Mereka tak membantu pertarungan di dalam, karena  terlalu berbahaya,  jika para pemberontak lainnya bisa menembus benteng dengan mudah..
"Tuan, jangan pergi ke dalam. Sungguh berbahaya di sana. Biarkan Paduka dan pengawal yang menumpas mereka," ucap yang lainnya.Â
"Tidak mengapa, Mang. Saya bisa menjaga diri." Kulangkahkan kaki masuk ke dalam istana.
Ayah sebenarnya bukanlah orang biasa, dengan *aji-aji yang dikuasainya,  para pemberontak dapat dilumpuhkan. Meskipun beberapa orang  kepercayaannya harus meninggal dengan mengenaskan.
"Maafkan Nanda, Ayah. Telat datang untuk membantu melawan pemberontakan." "Rupanya kau sudah sampai. Harus Ayah katakan, ada beberapa abdi yang  berkhianat. Sebagian dari mereka telah menghabisi orang-orang kita yang  berkerja di dapur, karena merekalah yang pertama tahu soal kudeta, tapi  syukurlah, **Sang Hyang Widhi masih memberikan Ayah dan yang lainnya  keselamatan."
Hatiku yang semula panas, menjadi adem  karenanya. Melihat peluh yang menetes dari kening Ayah, serta mendengar  para koki dan abdi dalem banyak yang terbunuh, membuatku berinisiatif  masuk dapur, membawakan air untuk mereka.
Ayah dan para  pengawal yang masih hidup, langsung meminum air yang kubawa. Tak  berselang lama, terdengar jeritan-jeritan dari luar istana, bahkan  mereka -- Ayah dan para pengawal-- terlihat pucat dan berjalan  sempoyongan.
'Rencangan cadangan berhasil dilaksanakan,'  ucapku dalam hati, lalu berpura-pura menangis di depan Ayah, sambil  menunggu pasukan Arkikni dan rakyat Ganggula yang memilih mengabdi  padaku.
 Bandung Barat, 14092017
 Catatan
 * benda atau mantra yang dijaga dan dirawat secara baik karena dianggap dan dirasakan memiliki kekuatan gaib
 ** Sang Hyang Widhi (disebut juga sebagai Acintya atau Sang Hyang  Tunggal) adalah sebutan bagi Tuhan yang Maha Esa dalam agama Hindu  Dharma masyarakat Bali. Dalam konsep Hinduisme, Sang Hyang Widhi  dikaitkan dengan konsep Brahman. Dalam bahasa Sanskerta, 'Acintya'  memiliki arti 'Dia yang tak terpikirkan,' 'Dia yang tak dapat dipahami,'  atau 'Dia yang tak dapat dibayangkan.'
 (sumber KBBI dan Wikipedia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H