"Bang, Wine dua!"
"Lo pikir Lo siapa, hah!"
"Anggap aja ini tanda perkenalan, dan Gue janji. Gue gak akan bicara apa pun," ternyata,ini lebih sulit dari yang kubayangkan. Lagi pula, tak boleh ada kekerasan sedikitpun kepadanya.Â
"Terserah, ambil  waktu semaumu, Bung!"
Dua gelas wine terhidang di atas meja bar. Tanpa basa-basi lagi, Keisya langsung meneguknya.
Suara musik semakin kencang. Semakin memabukkan manusia-manusia yang jiwanya terguncang. Namun telinga ini terus kujaga agar ttap hening, aku tak mau melewatkan satu kata pun, dari bibir Keisya.
Wanita itu masih diam. Meski sesekali, matanya nanar menatap langit yang samar.
Mata adalah indra yang paling dekat dengan hati, dan air mata selalu dapat menemukan celah untuk lahir dari perasaaan yang tak bisa diungkapkan. Aku menyadari, kini wanita itu menangis tapi aku harus tetap diam, menjaga emosiku agar dapat mengorek informasi yang tak boleh dilewatkan.
"Gue selalu nangis setiap malam, dan tempat ini yang jadi tempat teraman buat Gue nyurahin semua kekesalan. Gak pernah ada seorang pun yang peduli, karena dari dulu Gue hidup sendiri."
"Bukannya Lo masih punya orang tua?"
"Orang tua?! Gue cuman punya sepasang manusia tua di rumah, yang ngelahirin, ngasih makan dan ngatur semua kehidupan Gue tanpa pernah mau dengerin apa yang Gue mau, apa yang Gue minta!Coba Lu pikir, Gue cuman dianggap kebo yang dicocok hidungnya, buat ngikutin semua yang mereka mau."