"Sekarang, bukalah matamu!"
"Di, please bangun!" Kudengar suara perempuan itu diiringi isak tangis. Aku mencoba membuka mata, samar-samar kulihat ayah, ibu, Mbak Tari dan ... icha di sekelilingku.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" Aku sadar, ini rumah sakit dengan cat warna putih dan bau obat-obatan yang tak pernah aku suka. "Kamu pingsan tadi di taman, Di. Kata Icha, kepalamu tengah masuk ke dalam genangan. Untung dengan cepat Icha bawa kamu ke sini, lalu menelpon kami. Jangan duduk! Badanmu masih lemah." Mbak Tari menerangkan padaku dengan panjang lebar.
Wajah-wajah cemas mereka begitu terlihat. Aku mencoba tersenyum, lalu meraba saku kananku.
"Makasih buat semuanya, Cha. Maafin semua kesalahan aku selama ini."
"Sama-sama, bukan salah kamu sebenarnya, Ar. Memang cuaca sedang buruk dan daya tahan tubuhmu yang down. Jangan salahin diri kamu. Cepet sembuh, Ar. Aku pamit pulang."
"Maksudku bukan itu, maaf buat ketidak pekaan aku selama ini. Mumpung di depan keluarga, aku pengen ngelamar kamu. Ini belum tanggal dua puluh, kan?" kukeluarkan selembar foto dari celana, sambil menggenggam tangannya.
"Dari mana kamu ...." mata icha terlihat sangat terkejut.
"Sebenernya, dari dulu aku juga sayang sama kamu. Sesudah sembuh nanti, aku sama keluarga pasti ke rumahmu, tapi maaf sebelumnya, jika mungkin semuanya akan sederhana."
Wanita itu mengangguk, lalu tersenyum sambil memegang jemariku.
"Oh iya, tadi pas kamu terjatuh. Tangan kamu lagi pegang ini, Ar." Icha menunjukan sebuah cincin dari kotak, yang terlihat seperti cahaya dalam genangan air, setelah aku berhasil menyelaminya.