Mohon tunggu...
Argustya Susetyo
Argustya Susetyo Mohon Tunggu... -

kelahiran Daerah Istimewa Y\r\nogyakarta, aq orang yg suka keterbukaan dalam menjalin persahabatan. simple,murah senyum,paling sayang sama yang namanya anak-anak\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Debu dan Sepercik Air

11 Februari 2011   09:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:42 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_91772" align="alignnone" width="300" caption="akhirnya...."][/caption] Tertunduk air mata berlinang, menahan rasa yang begitu menyesakkan dada,tiada kata yang terucap di bibir ini, terasa beban berat  menahan dipundak,berjalan tertatih-tatih menggapai asa, seakan kian jauh, jauh... dan tak terpandang. Terusap peluh  di wajah, menahan panas dari segala arah, kaki terasa tertancap dibumi, terasa sakit bila berjalan. Mungkinkah ini derita yang mendera deras ??  kuturun dari pelukannya, dan kucoba mengangkat tegak tumpuan tubuh yang renta. menarik untaian harapan di depan mata,bagaikan berjalan tanpa alas, seakan tulang melekat ke tanah, hanya untuk harapan yang semu tak berujung. tubuhmu mulai lemas tergolek tak beranjak, tubuhmu mulai tertutup debu yang menerjang, hanya lambaian tanganmu yang aku pandang, teruskan perjuangan ibu, nak..... dengan hati terasa teriris sebilah pedang, kulepas pegangan tangannya. sejenak ke merenung dan berharap tubuh ibuku beranjak dari tumpukan debu, akhirnya ku sadar bahwa dia telah tiada dan telah terkubur oleh hembusan debu, kini kuberjuang menembus debu yang kian pekat dan menyakitkan kulitku. Aku tak berharap banyak untuk menuju harapan yang tak berujung. Hanya tekad yang melekat dalam hati dan benakku.....kini aku mengendong dan yang pasti aku takkan menurunkannya, biarkanlah diri ini tetap berjalan diatas badai debu, mata terasa sesak oleh deburan debu setajam pisau menancap di sekujur tubuhku, ternyata secercah harapan berkedip dihadapanku setelah kian tahun aku berjalan, kini tinggal berapa tahun lagi agar kedipan harapan itu semakin membesar dan menaungi kami?? Ya Allah kini aku berharap kepadamu.. rubahlah debu itu dengan sepercik air, teteskanlah dibibir titipan-Mu ini.

"  Debu  dan sepercik air "

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun