Membangun Destinasi Pariwisata Bondowoso
Budaya desa sebagai Comparatif Advantage
(Tulisan ini adalah artikel ke #3 dari seri “ Pariwisata Modal Dengkul”
Suatu sore di tahun 2011, seorang wisatawan dari Italy berkunjung ke salah satu rumah penduduk di desa Sumber Kemuning Kec. Tamanan. Setelah dipersilahkan masuk rumah, si pemilik rumah menghidangkan sebuah minuman yang sangat unik dan pertama kali ditemui dalam hidupnya :
Hasan Basri : Silahkan coba minuman ini…
Marco Dominic : Minuman apa ini kok baunya harum???
Hasan Basri : Ini namanya Badheg Tape.
Marco Dominic : ( mencoba meminum)…. Wah ini enak sekali, badan terasa hangat… berasal dari apa dan bagaimana membuatnya? (akhirnya wisatawan tersebut dijelaskan oleh guide yang menemani tentang proses membuat Badeg tape)
Marco Dominic : Seandainya pak Hasan bisa membuat minuman ini di Roma, pasti sangat laris sekali… banyak orang suka…. Seperti Wine kalo di tempatku.
Adalah Marco Dominic, Wisatawan itali yang usianya sudah hampir memasuki masa pensiun (kira-kira 55 tahun) seorang yang bekerja mandiri paruh waktu di negaranya (Roma). Ia bekerja 6 - 8 bulan dan istrirahat rata-rata 4 bulan dalam setahun. Setelah bertahun- tahun liburan di berbagai tempat seperti India, Vietnam, Thailand, Malaysia akhirnya Indonesialah yang paling cocok untuk mengisi waktu liburanya. Setelah berkeliling hamper separuh wilayah Indonesia, ia sempat tinggal di Jawa barat selama beberapa bulan. Karena banyak ganguan keamanan dari rumah yang ditempatinya maka dia memutuskan tinggal di Bali.
Hingga pada suatu saat ia mengenal Bondowoso, setelah 1 minggu berkeliling di Bondowoso dia memutuskan untuk tinggal long stay (tinggal waktu di atas 1 bulan dengan visa social budaya) di salah satu rumah warga desa Kalianyar kecamatan Tamanan.
Waktu ditanya kenapa dia memilih bondowoso untuk tujuan liburan tetap tiap tahunya, ia menjawab “ disini murah, tidak bising, banyak sawah, orang-orang ramah, dan saya merasa banyak mempunyai saudara” jawabnya senang dengan bahasa Indonesia sedikit terbata-bata. Kemudian dia melanjutkan” Kamu tidak bisa mendapatkan ini di Roma, di tempatku orang tidak bisa santai, tiap hari sibuk bekerja berkejaran dengan waktu, tiap orang tidak peduli dengan lainya dan satu lagi…. Biaya hidup Mahal”.
Bondowoso memang mempunyai keunggulan komparatif sebagai kota tujuan wisata long stay (tinggal lebih lama) sebagai komparasi biaya hidup di kota- kota besar dunia seperti London, Paris, Roma, New York, Amstredam rata-rata sebesar 50 juta per bulan. Sedangkan di Bondowoso untuk wisatawan tinggal seorang diri dikomparasikan 10%nya saja hanya 5 juta. Dengan 5 juta perbulan di bondowoso wisatawan tiap hari selalu mentraktir temen- teman masyarakat desa disekitar tempat dia tinggal misalnya di tamanan berupa makanan Tahu campur seharga 5 ribu. Salain itu sering membelikan oleh-oleh setiap dari bepergian memakai sepeda motor yang cukup diisi dengan bensin eceran. Berkunjung ke desa-desa dan memberikan tips adalah budaya yang biasa dia lakukan ketika mendapatkan pelayanan walaupun hanya secangkir kopi dan seiris ketela yang disajikan dengan ramah.
Dari paparan di atas mari kita bicara yang sedikit serius, yaitu tentang multiplier effect ekonomi pariwisata. Sederhana saja perhitunganya:
Biaya hidup 1 wisatawan per bulan : Rp.5.000.000,- ( minimal)
Tinggal rata-rata 2 bulan : Rp. 10.000.000,-
Kalo ada 100 wisatawan : Rp. 10 juta x 100 wisatawan = Rp. 1.000.000.000,-
Satu milyar dalam 2 bulan…………………luar biasa.
Jadi mampu memnggerakan ekonomi lokal dengan perputaran uang sebesar Rp. 500 juta per bulan.
Sebagai warga Bondowoso secara awam menyebutkan 10 hal Bondowoso itu?
- Kota Tape
- Kota Pensiun
- Dikelilingi gunung sehingga udaranya sejuk
- Tidak punya mall ( swalayan besar)
- Bukan jalur (jalan) utama propinsi
- Tidak punya macet lalu lintas
- Kotanya kecil hampir seluruh wilayah adalah pedesaan, sawah , kebun dan hutan.
- Masyarakatnya tradisional masih menjalankan adat dan tradisi
- Biaya hidup masih relatih murah dari kota disekitarnya
- Bukan kota industry, tenaga kerja hanya sektor pertanian.
Jadi kita tahu, di balik ketertinggalan Bondowoso sebenarnya masih ada mutiara yang terpendam yang mampu mengangkat devisa dan citra pariwisata Indonesia dimata dunia.
Anda setuju?
Salam Pesona Wisata Indonesia
Iswahyudi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H