Mohon tunggu...
agus kurdiono
agus kurdiono Mohon Tunggu... -

My Agus kurdiono.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rekayasa Munas NU: Ulama' Khos Menjadi "Korban"

20 Juni 2015   23:07 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:42 2808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

(Catatan Miring atas Kacau Balaunya Munas Alim Ulama 14 Juni 2015)

 Dalam memasuki hari-hari pertama bulan Ramadhan, sebagai anggota NU saya dilanda rasa was-was dan deg-degan yang akut. Bayangan hitam berulang berkelebat dalam kepala saya. Saya seperti mengalami teror tanpa kehadiran seorang teroris yang menyeramkan, menakutkan. Penyebabnya, hasil Munas Alim Ulama 14 Juni 2015 lalu, ternyata tidak menghasilkan satu kesepakatan final yang mencerminkan karakteristik para kiai dalam mengambil keputusan. Asas musyawarah mufakat, tabayyun telah digantikan dengan cara, intrik, dan pola yang menjurus pada rekayasa dan pemaksaan kehendak. Ironisnya lagi, Munas yang seharus menghasilkan gagasan dan kesepakatan yang mampu menenangkan kaum nahdliyyin dalam menyambut muktamar ke-33 di Jombang nanti, menyisakan kerunyaman dan perdebatan panjang di berbagai media. Seolah para kiai telah kehilangan kearifannya dalam menyelesaikan persoalan keorganisasiannya. Seolah kiai telah terjangkiti hasrat para politikus negeri ini yang lebih suka main serang-serangan demi citra diri dan kekuasaan.

 Runyamnya pelaksanaan dan hasil Munas beberapa waktu tersebut, di satu sisi mengindikasikan adanya infiltrasi kepentingan politik atau kekuasaan di dalam tubuh NU. NU sebagai organisasi keummatan dengan jumlah anggota lebih dari lima-puluh juta orang tidak dipungkiri memiliki daya tarik sendiri. Dalam setiap perhelatan politik (pileg, pilpres, pilkada dan lainnya) NU selalu menjadi incaran setiap pihak untuk bisa menungganginya. Ironisnya, kekuatan NU untuk menjadi motor pendulang ataupun penyeimbang bagi kekuasaan ternyata menggiring para kiai pada kubangan kepentingan politik praktis yang berjangka pendek. Para elite NU (baca: PBNU) seolah tidak punya mimpi dan mengalami kegagalan untuk menjaga keutuhan NU demi kemashlahatan ummat. Kegagalan elite NU dalam menjaga NU sebagai organisasi keummatan dapat dilihat pada kegagapan dan kearoganan sebagian elite NU dalam melaksanakan dan memaksana Munas dengan hasil-hasilnya.

 Di sisi lain, runyamnya pelaksanaan Munas dan hasil-hasilnya juga menjadi preseden buruk bagi perjalanan sejarah NU ke depan. NU yang digaungkan khittah dari hiruk-pikuk politik praktis, ternyata tidak mampu mencerminkan nilai-nilai moderat, inklusif dan modern dalam mengambil keputusan-keputusan keorganisasian.

Runyamnya Munas dan hasil-hasilnya akan berimplikasi terhadap cara pandang NU di masa mendatang. Pertama, NU belum mampu keluar dari ‘keisolasiannya’. Sikap inklusif, modern dan moderat yang diwariskan Gus Dur ternyata tidak mampu dijaga oleh generasi NU. Para elite NU sekarang lebih asyik berbicara kepentingan dirinya sendiri dibanding berbicara kepentingan umat yang lebih luas. Kedua, NU –dengan dipaksakannya sistem ahlul halli wal aqdi (AHWA) sebagai hasil Munas- seolah belum mampu menjawab berbagai tantangan yang semakin hari semakin rumit. Sikap moderat yang menjadi ciri khas orang-orang pesantren ini seperti kehilangan ruh ketika berhadap dengan isu-isu kekinian, seperti demokrasi, kebebasan berpendapat, peran masyarakat sipil dan lainnya. Ketiga, pelaksanaan sistem AHWA dalam muktamar akan mengancam kredibilitas NU. Sistem AHWA yang dihasilkan dalam Munas yang penuh rekayasa dan paksaan dari pihak-pihak tertentu akan menyebabkan hilangnya legitimasi terhadap pemimpin NU yang terpilih. Artinya, baik Rais Am dan Ketua Tanfidziyah yang terpilih tidak akan mendapatkan legitimasi yang utuh. Itu mengingat cara yang digunakan –dalam hal ini AHWA- tidak sesuai dengan aspirasi para pemiliki suara (baca: pengurus PWNU) yang menginginkan pemilihan langsung. Kalau sampai demikian, NU akan kehilangan kepercayaan dari para anggotanya. Sebab, pemimpin yang dihasilkan dari proses yang tidak benar akan melahirkan kebijakan dan keputusan yang tidak benar. Selain itu, NU pernah punya sejarah untuk menolak sistem pemilihan pemimpin tertinggi NU yang dipaksakan oleh kekuasaan (baca: pemerintah).

 Sekali lagi, melihat gelagat dan manuver elite NU untuk tetap menerapkan sistem AHWA dalam muktamar ke-33 NU pada bulan Agustus mendatang, saya kira kita perlu was-was dan kalut. Munas dan hasil-hasilnya yang runyam tidak hanya manjadi preseden buruk bagi perjalanan NU. Akan tetapi menjadi sinyal krisis moral mulai menjangkiti jiwa para elite NU. Ini tentunya sungguh ironi. Beberapa kejanggalan yang patut dibaca kembali selama Munas 14 Juni 2015 yang lalu antara lain, Pertama, waktu pelaksanaan Munas dipaksakan. Padahal pelaksanaan Muktamar sudah dekat yaitu tanggal 1-5 Agustus 2015. Munas biasanya diagendakan dalam waktu yang proporsional dan tidak mepet dengan Muktamar. Kedua, pelaksanaan Munas yang pincang karena dilaksanakan tanpa Konferensi Besar (Konbes). Menurut ART NU, Munas Alim Ulama selalu dibarengi dengan Konbes. Munas dengan peserta pengurus syuriyah di tingkat wilayah (PWNU)  sementara Konbes untuk tanfidziyyah.

Ketiga, alasan penyelenggaraan Munas mengada-ada karena sebelumnya telah dilaksanakan Munas dan Konbes pada 1-2 November 2014. Dalam AD/ART NU BAB XX pasal 74 ayat 2 disebutkan Musyawarah Nasional Alim Ulama membicarakan masalah-masalah keagamaan (masail diniyyah) yang menyangkut kehidupan umat dan bangsa. Jadi menyalahi AD/ART kalau Munas  dijadikan forum untuk mengegolkan AHWA. Sementara Munas maupun Konbes adalah forum di bawah Muktamar. Jadi Muktamar sebagai forum tertinggi yang bisa memutuskan. Keempat, jadwal dan round down acara Munas dirancang hanya 2 jam, antara 19.30-22.30 WIB. Cukup kilat untuk sebuah acara permusyawaratan yang katanya tingkat nasional. Kalau Munas serius, tentu waktu singkat tersebut tidak cukup, kecuali bila memang hanya untuk agenda tertentu. Untuk Konferensi Anak Cabang tingkat kecamatan saja, barangkali waktunya lebih panjang dari itu.

 Kelima, Munas yang katanya merupakan forum penting dengan peserta pengurus syuriyah dan dikatakan sebagai forum tertinggi kedua setelah Muktamar, tidak digawangi oleh tokoh-tokoh penting dari jajaran syuriyah, yakni tanpa kehadiran Penjabat Rois Aam, Katib Aam dan hanya sedikit dari jajaran syuriyah PBNU yang hadir. Jangankan memimpin sidang Munas dan ikut memberikan masukan, hadir saja tidak! Apa alasan tidak datang. Karena udzur ataukah sengaja tidak datang?

 Keenam, Munas yang merupakan forum syuriyah justeru di-pawangi oleh jajaran tanfidziyah yang mendominasi forum, seperti Ketua Umum PBNU, Sekretaris Jendral, Bendahara Umum, dan ketua-ketua lajnah/lembaga. Loh, ini acaranya syuriyah apa tanfidziyyah? Ketujuh, Munas justru tidak banyak dihadiri oleh Rois Syuriyah PWNU. Barangkali ini sepadan dengan Pejabat Rois Am yang juga tidak hadir, mulai pembukaan di Masjid Istiqlal sampai selesai acaranya. Kalau memang ini forum permusyawaratan syuriyah, seharusnya para Rois Syuriyah PWNU yang langsung hadir. Alasan sebagian besar Rois Syuriyah PWNU tak hadir, karena sudah ada kesadaran bahwa Munas tersebut bermasalah dan rekayasa untuk kepentingan tertentu.

Kedelapan, ada mobilisasi kiai di tingkat PCNU agar ikut Munas. Padahal menurut AD/ART peserta Munas dan Konbes adalah PWNU. Ketika kiai itu ditanya siapa yang memobiliasi kiai PCNU, ia menjawab Ansor. Ini Munas NU atau Ansor? Kok bisa Ansor ikut-ikutan mau mengendalikan NU. Kesembilan, klaim yang menyebutkan Munas dihadiri 27 PWNU layak dipertanyakan kebenarannya, mengingat banyaknya PWNU yang tidak hadir. Bisa dibuktikan juga dari absensi Munas kalau memang ada. Entah lagi kalau absennya abal-abal.

 Kesepuluh, peserta Munas dari PWNU tidak banyak diberi kesempatan bicara. Bahkan ada modus peserta yang berbeda pendapat langsung dipotong oleh pimpinan sidang dan peserta Munas lain yang sudah disiapkan untuk memerankan hal itu. Kesebelas, tempat duduk peserta Munas juga sudah di set up sedemikian rupa, termasuk dengan pola peserta yang diduga akan menolak AHWA dikelilingi oleh oknum PBNU atau orang-orangnya. Itulah mengapa pembahasan AHWA dalam Munas diklaim berlangsung cepat dan seolah-olah disepakati, karena ternyata ada rekayasa dan pembungkaman terhadap peserta sedemikian rupa. Sampai sedemikiankah? Silahkan ditanyakan kepada peserta dan saksi Munas.

 Keduabelas, Munas yang oleh oknum PBNU digembar-gemborkan untuk mematangkan materi muktamar, ternyata didesaign hanya untuk membahas memaksakan sistem AHWA untuk pemilihan Rois Am. Padahal, kalau benar untuk mematangkan materi Muktamar maka perlu dibahas materi muktamar lain yang lebih penting. Mengapa yang dianggap penting dan difokuskan adalah sistem AHWA untuk pemilihan Rois Am? Apa yang dianggap penting dalam Muktamar hanya soal pemilihan Rois Am? Patut diduga ini untuk memenuhi ambisi segelintir elit dengan mengatasnamakan AHWA. Mungkinkah segelintir elit penguasa PBNU di syuriyah dan tanfizdiyyah yang akan maju kembali? Bisa juga demikian.

Ketigabelas, Munas yang disebutkan untuk mematangkan materi ternyata juga tidak dihadiri oleh Ketua Sterring Committee (SC) Muktamar yang notabene adalah penanggung jawab urusan materi. Sekretaris SC yang awalnya diberi mandat  untuk memimpin sidang juga tidak hadir. Yang hadir dan nungguin  malahan Ketua Organizing Committee, yang notabene merupakan pelaksana teknis Muktamar? Kok kebolik-balik ya? Keempatbelas, pada draft keputusan Munas (ingat dalam AD/ART Munas tak punya kewenangan memutuskan)  yang dibagikan ke peserta terdapat sejumlah kejanggalan antara lain pada klausul memperhatikan terdapat poin Konferensi Besar 2014 dan Konferensi Besar 2015 sebagai dasar. Bagaimana janggalnya? Pertama draft tersebut berjudul Keputusan Munas Alim Ulama NU tentang Pemilihan Kepemimpinan Syuriyah, kok yang dijadikan dasar adalah Konbes yang notabene forum tanfidziyyah. Kedua, dua konbes yang disebutkan itu tidak pernah menyepakati dan memutuskan sistem AHWA, tapi diklaim telah terjadi keputusan di dalamnya. Ini bisa dicek ke peserta kedua Konbes dimaksud.

 Kelimabelas, kesalahan lain dalam draft itu adalah soal kolom tanda tangan. Di bagian akhir draft tercantum kolom tanda tangan atas nama Rois Aam, Katib Aam, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Padahal sebagaimana lazimnya Munas, produk yang dihasilkan ditandatangani pimpinan sidang. Inilah salah saktu  bukti nyata rekayasa. Keenambelas, faktanya banyak peserta Munas yang sebenarnya menolak AHWA. Bahkan salah satu peserta Munas KH. Ghozali Masruri (Ketua Lajnah Falakiyah PBNU) yang merupakan saksi hidup pelaksanaan sistem AHWA di Muktamar NU Situbondo pun merasa aneh dan janggal mengapa dipaksakan pengesahan sistem AHWA.

 Ketujuhbelas, tidak berselang lama pasca Munas kilat itu, langsung diedarkan pemberitaan dan sebuah broadcast yang menyatakan bahwa Munas secara bulat menyepakati sistem AHWA. Ini jelas kejanggalan sekaligus pembohongan publik karena faktanya dalam MUNAS tersebut banyak penolakan oleh sebagian peserta. Jadi kesepakatan bulatnya itu dari mana? Itulah fakta-fakta seputar Munas yang mungkin terlalu mengejutkan buat kita dan barangkali ada yang tidak percaya. Tapi itulah kenyataannya.

Atas beberapa kejanggalan di atas, saya kira akan berhadapan dengan rentetan ironi dalam muktamar nanti manakala kita tidak mampu bersikap terhadap Munas dan hasil-hasilnya yang runyam tersebut. Karena itu, sebagai orang NU saya hendak menyampaikan beberapa harapan saya pada para kiai yang memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan kepemimpinan NU dalam muktamar nanti. (1) Sistem AHWA yang dihasilkan oleh Munas yang runyam tidak diterapkan dalam muktamar ke-33 NU pada bulan Agustus mendatang. (2) Memberikan ruang aspirasi yang utuh dan penuh pada pemilik suara untuk menentukan pilihannya dalam proses pemilihan langsung, baik untuk Ketua Tanfidziyah maupun Rias Am. (3) Muktamar ke-33 NU hendaknya dilaksanakan dengan semangat untuk mengayomi umat. Bukan melanggengkan kekuasaan dengan cara-cara dan tipu muslihat yang laknat. (4) Memohon kepada para kiai dan pemilik suara untuk bersikap dan berfatwa secara tegas terhadap pelaksanaan Munas yang kacau balau tersebut. Permohonan ini berdasarkan pertimbangan, bahwa kalau sampai AHWA yang dihasilkan oleh Munas yang kacau balau dengan intrik dan rekayasa segelintir pihak tetap diterapkan dalam muktamar ke-33 NU nanti, para kiai khos akan menjadi korban. Kiai khos akan dianggap membiarkan karut-marut yang terjadi di Munas yang lalu dan muktamar yang akan berlangsung nanti.    

 Sebagai orang NU biasa, saya hanya bisa berharap semoga para kiai-ku tetap menjadi pewaris anbiya’. Bukan aghniya’.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun