Keduabelas, Munas yang oleh oknum PBNU digembar-gemborkan untuk mematangkan materi muktamar, ternyata didesaign hanya untuk membahas memaksakan sistem AHWA untuk pemilihan Rois Am. Padahal, kalau benar untuk mematangkan materi Muktamar maka perlu dibahas materi muktamar lain yang lebih penting. Mengapa yang dianggap penting dan difokuskan adalah sistem AHWA untuk pemilihan Rois Am? Apa yang dianggap penting dalam Muktamar hanya soal pemilihan Rois Am? Patut diduga ini untuk memenuhi ambisi segelintir elit dengan mengatasnamakan AHWA. Mungkinkah segelintir elit penguasa PBNU di syuriyah dan tanfizdiyyah yang akan maju kembali? Bisa juga demikian.
Ketigabelas, Munas yang disebutkan untuk mematangkan materi ternyata juga tidak dihadiri oleh Ketua Sterring Committee (SC) Muktamar yang notabene adalah penanggung jawab urusan materi. Sekretaris SC yang awalnya diberi mandat  untuk memimpin sidang juga tidak hadir. Yang hadir dan nungguin  malahan Ketua Organizing Committee, yang notabene merupakan pelaksana teknis Muktamar? Kok kebolik-balik ya? Keempatbelas, pada draft keputusan Munas (ingat dalam AD/ART Munas tak punya kewenangan memutuskan)  yang dibagikan ke peserta terdapat sejumlah kejanggalan antara lain pada klausul memperhatikan terdapat poin Konferensi Besar 2014 dan Konferensi Besar 2015 sebagai dasar. Bagaimana janggalnya? Pertama draft tersebut berjudul Keputusan Munas Alim Ulama NU tentang Pemilihan Kepemimpinan Syuriyah, kok yang dijadikan dasar adalah Konbes yang notabene forum tanfidziyyah. Kedua, dua konbes yang disebutkan itu tidak pernah menyepakati dan memutuskan sistem AHWA, tapi diklaim telah terjadi keputusan di dalamnya. Ini bisa dicek ke peserta kedua Konbes dimaksud.
 Kelimabelas, kesalahan lain dalam draft itu adalah soal kolom tanda tangan. Di bagian akhir draft tercantum kolom tanda tangan atas nama Rois Aam, Katib Aam, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal. Padahal sebagaimana lazimnya Munas, produk yang dihasilkan ditandatangani pimpinan sidang. Inilah salah saktu  bukti nyata rekayasa. Keenambelas, faktanya banyak peserta Munas yang sebenarnya menolak AHWA. Bahkan salah satu peserta Munas KH. Ghozali Masruri (Ketua Lajnah Falakiyah PBNU) yang merupakan saksi hidup pelaksanaan sistem AHWA di Muktamar NU Situbondo pun merasa aneh dan janggal mengapa dipaksakan pengesahan sistem AHWA.
 Ketujuhbelas, tidak berselang lama pasca Munas kilat itu, langsung diedarkan pemberitaan dan sebuah broadcast yang menyatakan bahwa Munas secara bulat menyepakati sistem AHWA. Ini jelas kejanggalan sekaligus pembohongan publik karena faktanya dalam MUNAS tersebut banyak penolakan oleh sebagian peserta. Jadi kesepakatan bulatnya itu dari mana? Itulah fakta-fakta seputar Munas yang mungkin terlalu mengejutkan buat kita dan barangkali ada yang tidak percaya. Tapi itulah kenyataannya.
Atas beberapa kejanggalan di atas, saya kira akan berhadapan dengan rentetan ironi dalam muktamar nanti manakala kita tidak mampu bersikap terhadap Munas dan hasil-hasilnya yang runyam tersebut. Karena itu, sebagai orang NU saya hendak menyampaikan beberapa harapan saya pada para kiai yang memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan kepemimpinan NU dalam muktamar nanti. (1) Sistem AHWA yang dihasilkan oleh Munas yang runyam tidak diterapkan dalam muktamar ke-33 NU pada bulan Agustus mendatang. (2) Memberikan ruang aspirasi yang utuh dan penuh pada pemilik suara untuk menentukan pilihannya dalam proses pemilihan langsung, baik untuk Ketua Tanfidziyah maupun Rias Am. (3) Muktamar ke-33 NU hendaknya dilaksanakan dengan semangat untuk mengayomi umat. Bukan melanggengkan kekuasaan dengan cara-cara dan tipu muslihat yang laknat. (4) Memohon kepada para kiai dan pemilik suara untuk bersikap dan berfatwa secara tegas terhadap pelaksanaan Munas yang kacau balau tersebut. Permohonan ini berdasarkan pertimbangan, bahwa kalau sampai AHWA yang dihasilkan oleh Munas yang kacau balau dengan intrik dan rekayasa segelintir pihak tetap diterapkan dalam muktamar ke-33 NU nanti, para kiai khos akan menjadi korban. Kiai khos akan dianggap membiarkan karut-marut yang terjadi di Munas yang lalu dan muktamar yang akan berlangsung nanti. Â Â
 Sebagai orang NU biasa, saya hanya bisa berharap semoga para kiai-ku tetap menjadi pewaris anbiya’. Bukan aghniya’.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI