Â
"...bila kita ingin membuat kemajuan perlahan, sedikit-sedikit, ubahlah sikap atau perilaku Anda. Namun bila kita ingin memperbaiki cara-cara utama ktia, maka kita perlu mengubah kerangka acuan kita. Ubahlah bagaimana Anda melihat dunia, bagaimana Anda berpikir tentang manusia, ubahlah paragidma Anda, skema pemahaman dan penjelasan aspek-aspek tertentu tentang realitas."
-Stephen R. Covey (Principle-Centered Leadership, 1991) --
Dalam Modul 1.4 Budaya Positif Pendidikan Guru Penggerak
Guru dalam kiprahnya sebagai pamomong muridnya, memiliki andil yang luar biasa dalam perkembangan diri murid, tidak hanya secara pengetahiansecara psikologis. Murid dengan kesadaran penuh dan memiliki motivasi dari dalam diri untuk melakukan hal-hal sesuai nilai kebajikan, norma dan aturan, adalah salah satu tujuan guru.Â
Kehadiran guru dapat membantu menumbuhkan motivasi dari dalam diri murid, untuk berbudaya positif. Budaya positif ini diwujudkan untuk mewujudkan jiwa merdeka dalam diri murid. Merdeka bukan berarti semena-mena semaunya sendiri, namun menjadi diri yang mampu memerdekakan orang lain dan mendisiplinkan diri, seperti yang telah disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara. Pembentukan sebuah budaya sendiri, diperlukan adanya pembiasaan positif yang dilakukan guru untuk menuntun murid sesuai dengan kekuatan kodratnya.Â
Murid yang berkembang kekuatan kodratnya, murid dengan budaya disiplin positif, dan murid yang merdeka, tentu menjadi cermin terwujudnya visi sekolah. Terwujudnya visi sekolah adalah cermin keberhasilan sebuah sekolah menyelenggarakan pendidikan, dan cerminan bagaimana guru berhasil menjadi 'guru yang tepat' bagi setiap muridnya. Menumbuhkan budaya disiplin positif dapat diprogramkan dalam sistem kurikulum sekolah. Dibutuhkan adanya kolaborasi semua warga sekolah dan pemangku kepentingan demi mewujudkan sebuah  diri (self discipline) pada diri murid.
Upaya penumbuhan disiplin positif dalam diri murid dapat ditempuh dengan berbagai cara. Namun sebagai acuannya, kita memerlukan apa yang disebut dengan keyakinan, kebutuhan dasar manusia, teori motivasi dan hukuman, serta posisi kontrol serta pelaksanaan segitiga restitusi. Kelimanya ini saling terpaut dan saling mendukung untuk menciptakan budaya nilai kebajikan di sekolah dan diri setiap warga sekolah. Nilai kebajikan yang kini hendak dicapai pendidikan di Indonesia adalah enam nilai Profil Pelajar Pancasila. Nilai-nilai ini yang kemudian menjadi kunci bagi guru dan murid untuk bekerja sama menentukan tujuan kelas yang diharapkan bersama.
Sebelum menuntut murid untuk melaksanakan apa yang sedang didisplinkan penting bagi guru untuk terlebih dahulu memberi kesadaran pada murid alasan mengapa mereka perlu mengikuti sebuah kedisiplinan atau ajaran ini. Dengan memiliki alasan dan keyakinan inilah, pada murid akan dengan ihklas dan dengan motivasi intrinsik melaksanakan sebuah ketentuan. Kesadaran ini tentu akan dibangun bersama dengan sepenuhnya melibatkan murid. Guru bisa melakukannya dengan pembentukan keyakinan kelas. Keyakinan kelas bersifat lebih abstrak dibandingkan peraturan, bersifat umum dan terus dilakukan peninjauan kembali serta dapat ditambah atau berubah kapanpun sesuai kesepakatan bersama.
Pembentukan keyakinan kelas diawali dengan menanyakan pada murid, kelas seperti apa yang mereka harapkan. Keinginan-keinginan murid ini dituliskan atau dicatat secara khusus. Kita dapat melakukannya dengan meminta pada murid menuliskan sendiri keinginannya dalam kertas besar yang telah disediakan. Keingian yang tertulis ini digunakan guru untuk membimbing kegiatan diskusi klasikal, merumuskan keyakinan kelas yang diperlukan demi mewujudkan kelas yang diinginkan anak. Pembentukan keyakinan kelas dapat disesuaikan dengan fase masing-masing kelas. Bisa dalam bentuk kata sederhana, kata yang menjelaskan perilaku seraca konkrit, atau dapat ditambahkan perilaku-perilaku pendukung di dalamnya. Ingatkan selalu tentang keyakinan kelas yang telah disepakati dan keyakinan kelas ini akan menjadi nilai kebajikan dalam kelas, yang senantiasa diwujudkan diri masing-masing murid. Agar lebih mengena pada diri murid, ajaklah murid untuk membuat sajian keyakinan kelas sesuai dengan kreativitas mereka, baik dalam kelompok maupun secara mandiri. Sajikan dalam ukuran besar dan ditempel di area kelas yang mudah terlihat.
Ketika murid melakukan sebuah kesalahan, padahal sudah ada keyakinan kelas, guru tidak bisa menggunakan keyakinan kelas untuk mempersalahkan tindakan murid. Harus disadari guru, apapun yang dilakukan seseorang pasti ada alasananya. Termasuk tindakan yang dilakukan murid dan dinilai salah, tentu ada alasannya.Â
Kita perlu memahami adanya lima kebutuhan dasar manusia. Lima kebutuhan dasar itu antara lain: bertahan hidup, kasih sayang dan rasa diterima, kebebasan, kesenangan, dan pengausaaan. Merangkum dari materi modul PGP Kebutuhan Dasar Manusia dan Dunia Berkualitas, dijelaskan bahwa setiap tindakan memiliki alasan yang merujuk pada pemenuhan kebutuhan dasar mereka yang sedang ingin dipenuhi.Â
Kebutuhan bertahan hidup berbicara tentang kebutuhan fisik untuk tetap hidup, seperti makan, tidur, tempat tinggal, kesehatan dan lain-lain. Kebutuhan kasih sayang dan rasa ingin diterima merupakan rasa ingin disukai dan diterima oleh lingkungannya, ingin selalu terhubung dengan orang lain dan disayangi. Kebutuhan akan kebebasan, merujuk pada keinginan untuk memilih. Seseorang ingin menentukan apa yang diinginkannya, berotonomi dan memiliki pilihan serta mengendalikan arah hidup. Sedangkan pemenuhan kebutuhan akan kesenangan identik pada sebuah kebahagiaan, kesenangan, bermain dan tertawa. Dengan memahami kebutuhan dasar yang hendak dipenuhi inilah, guru mampu membantu murid mengenali emosinya sendiri dan mengelola emosinya dengan baik.
Pembudayaan dan penumbuhan motivasi intrinsik murid dapat dilakukan dengan pembudayaan bimbingan penyelesaian masalah melalui segitiga restusi. Segitiga restitusi dilakukan sebagai upaya nyata menyelesaiakan suatu masalah dengan tetap memberikan penguatan mental suskes pada diri murid. Segitiga restitusi ini dirancang oleh Diane Gossen dalam bukunya Restitution: Restructuring School Discipline, (2001) dalam 3 tahapan berdasarkan prinsip-prinsip dari Teori Kontrol. Adapun langkah dalam tiga sisi segitiga restitusi, antara lain:
- Menstabilkan identitas (stabilize the identity)
Tahap ini menjadi dasar untuk mengubah perasaan gagal murid menjadi orang yang sukses. Pada tahap ini, guru harus mengerti bahwa murid mencoba memenuhi kebutuhannya namun mengalami benturan. Dari sini kita akan mengajak murid untuk berfleksi dan meyakinnya murid bahwa semua orang pernah melakukan kesalahan, bahkan gurupun pernah melakukan kesalahan. Namun bukan hal penting siapa yang salah, yang menjadi fokus guru dan murid saat itu adalah, bagiamana dapat ditemukan solusi untuk memperbaiki situasi buruk yang tercipta.
- Validasi tindakan yang salah (validate the misbehavior)
Beracu pada lima kebutuhan dasar manusia, setiap tindakan memiliki alasan. Pada tahap ini, guru menanyakan alasan murid melakukan tindakan itu. Jika biasanya guru memberi nasihat untuk berhenti melakukan kenakalan, dalam konsep teori kontrol justru guru memvalidasi tindakan murid. Bukan dalam artian melakukan pelanggaran adalah hal baik, namun dengan memvalidasi tindakan murid, guru ingin murid tahu bahwa guru memahami alasan di balik tindakan murid. Jika guru menolak murid yang berbuat kesalahan, maka murid tersebut akan menjadi bagian dari masalah, namun jika guru mau memahami, maka murid akan merasa dipahami dan membuat murid menjadi terbuka pada guru.
- Menanyakan keyakinan (seek the belief)
Setelah diketahui alasan murid melakukan suatu hal, guru dapat mengajak murid untuk mengingat kembali apa yang menjadi keyakinannya dengan menanyakan keyakinan kelas. Apa yang ia yakini, dan apa yang telah ia langgar dari keyakinan itu. Tanyakan pula pada murid, ingin menjadi orang seperti apa dirinya, merujuk pada nilai-nilai kebajikan. Melalui tahapan-tahapan inilah, kemudian guru mengajak murid untuk menemukan solusi tindakan yang bisa dilakukan, demi memperbaiki keadaan. Arahkan murid untuk melakukan penyelesaikan dan tanyakan target waktu pelaksaannya. Dampingi murid untuk melakukan perbaikan tersebut.
Pelaksanaan segitiga restitusi pada murid, mampu mengembalikan murid yang bersalah untuk diterima lagi dalam kelopoknya dengan karakter yang lebih kuat. Dengan melaksanakan segitiga restitusi ini, secara nyata, kita sebagai guru telah menempatkan diri kita dalam posisi kontrol sebagai manajer. Posisi kontrol manajer adalah posisi dimana guru melakukan sesuatu yang membuat murid mampu mengambil keputusan dan tindakan untuk mempertanggungjawabkan tindakan/perilaku murid. Dalam posisi manajer inilah, murid diajak menganalisis kebutuhannya, tidak menekankan pada hukuman atau konsekuensi, namun pada perbaikian kesalahan.
Perwujudan budaya positif secara sederhana adalah dengan memiliki pola pikir teori kontrol. Guru sebagai menuntun, sudah sepatutnya memilih peran manajer dalam posisi kontrol. Mewujudkan diri anak yang sukses dan mematahkan mental gagal dalam diri murid. Dengan terus melakukan segitiga restitusi, akan membantu murid menyadari secara penuh akan dirinya, emosinya serta kebutuhannya. Restitusi membantu murid untuk mampu mengambil tindakan secara bertanggung jawab dan memiliki kesadaran diri secara penuh. Segala sesuatu yang dilakukan secara konsisten, tentu akan menjadi sebuah budaya. Penerapan budaya disiplin positif akan membantu murid menjadi manusia merdeka yang bahagia menuju keselamatan dirinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H