Mohon tunggu...
Arghya N. Dianastya
Arghya N. Dianastya Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Finding The Truth

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Martabat dan Etika Pornografi

18 Juni 2016   14:52 Diperbarui: 18 Juni 2016   15:50 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pornografi, dan keinginan tak terbatas kita akan hal tersebut. Dunia online dipenuhi dengan banyak gambar-gambar seksual. Sebanyak 30% dari hasil mesin pencari online diperuntukkan untuk hal-hal berbau sexual. Isu-isu semacam ini sering terdengar di kalangan remaja. Hormon yang dimiliki menarik mereka kedalam gambar-gambar dan kegiatan berorientasi seksual, dan internet menyediakan secara tak terbatas.

Apa yang kaum pubertas lihat sebenarnya wajar-wajar saja. Kekhawatiran muncul dikarenakan pornografi dapat merusak hakikat seks bagi kehidupan remaja di kala dewasa. Kekhawatiran tersebut meliputi (1) Pornografi memberikan remaja gambar yang tidak nyata tentang hasrat dan nafsu manusia ; (2) pornografi memisahkan antara emosi dan gairah seksual yang saling berkaitan, khususnya pada kebaikan, rasa hormat, dan cinta ; (3) Pornografi sering menurunkan esensi gairah seksual kedalam fantasi yang tidak bermoral.

Melarang dan mencekal pornografi bukan merupakan solusi. Analogi mudahnya semacam ini. Ketika orang memiliki kelebihan nafsu makan, kita akan meminta untuk membenahi pola makan, ketimbang melarangnya untuk tidak makan sama sekali. Sama halnya seperti kebutuhan kita akan makanan, kebutuhan seksual bersifat tak tergantikan. Kita tidak bisa menhapusnya. Peningkatan kualitas tayangan pornografi dengan nuansa yang lebih baik menjadi solusi terbaik.

Pornografi yang baik bukan tayangan yang lebih menegangkan dan menyenangkan atau lebih tidak eksplisit. Pornografi yang baik bermakna lebih umum, baik untuk kita, layaknya makanan yang menyehatkan bagi tubuh kita. Konten pornografi biasanya menyajikan konten yang disconected dan kosong. Hal tersebut dikarenakan konten pornografi tidak berhubungan dengan hal lain yang bermakna (valuable) untuk kehidupan kita. Konten pornografi hanya sering berkaitan semata-mata tentang seks, dari pada hal-hal lain yang bermakna dan kita pedulikan seperti cinta, self-understanding, kebaikan, dan bahkan intelejensi.

Peradaban Yunani kuno menggambarkan dengan sangat baik. Banyak patung yang bernuansa sangat erotis, namun juga bermartabat dan cerdas. Seks bukan merupakan suatu hal yang tabu, dan dapat dibicarakan dengan siapa saja, membaur dengan hal hal baik lain dalam percakapan umum. Peradaban Hindu kuno juga demikian. Mereka banyak menggambar dan memahat patung di candi-candi dengan nuansa erotis namun humanis pada saat bersamaan.

Saat ini tidak demikian. Agama-agama samawi yang melarang segala bentuk erotisme dan pornografi. Menjauhkan pornografi dengan intelejensi dan martabat. Kita meletakkan pornografi pada pihak yang hanya berfikir pornografi tanpa memandang aspek-aspek lain. Bahkan kurangnya estetika situs pornografi memberikan sinyal bahwa pronografi hanya berhubungan dangan seks dan keuntungan. Hampir semua situs porno di dunia maya bersifat vulgar, keras, dan bahkan mengaitkan seks dengan binatang.

Secara keseluruhan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan terhadap seks dan pronografi. Pada tahun 1800-an, orang beranggapan bahwa dunia medis berkaitan dengan klenik. Yang merubah pandangan masyarakat terhadap dunia medis adalah ketika ia mulai diisi oleh orang berpendidikan dan bermartabat. Medis kini menjadi hal yang tidak bisa dihindarkan. Begitu juga harapan akan kebutuhan manusia akan seks.

Pornografi yang menghasut, melelahkan, tidak sehat, menyita waktu dan membuat manusia merasa malu harus dihindari. Pornografi yang demikian tidaklah penting. Solusinya adalah membuatnya menjadi lebih baik. Menyertakan unsur seni, humanitas, intelejensi, dan cinta. Sehingga pornografi tidak terpisahkan dari kebutuhan manusia yang lain.

Sumber : Better Porn. School of Live, Youtube.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun