Mohon tunggu...
Kusumadilaga
Kusumadilaga Mohon Tunggu... Guru -

14 Feb 93|TK Pertiwi Cilacap|SD Al-Irsyad 02 Cilacap|SMPN 1 Cilacap|SMAN 1 Cilacap|Civic Hukum UNY|SM-3T Polman|SMPN Rappang Polman|SMAN 1 Godean|SMAIT ABBS|PPG SM-3T UNY|Guru

Selanjutnya

Tutup

Politik

Trias Koruptika pada Trias Politika !

19 Mei 2014   23:13 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:21 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mungkin sebagian besar orang di dunia ini telah mengenal dan mengetahui konsep atau teori yang dikemukakan oleh Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan atau yang lebih dikenal dengan “Trias Politika”. Pemisahan kekuasaan ini dilatarbelakangi oleh konsepsi negara hukum rechtsstaat yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental. Salah satu prinsip rechtstaat yang dikemukakan oleh Freiderich Julius Stahl ialah adanya pemisahan kekuasaan untuk menjamin hak-hak asasi manusia. Pemisahan kekuasaan seperti ini sebenarnya mempunyai maksud dan tujuan yang baik, yakni untuk meminimalisasi penyelewengan kekuasaan oleh pihak-pihak yang sedang berkuasa sehingga segala kekuasaan tidak berpusat pada satu tangan. Dalam teori pemisahan kekuasaan Montesquieu, kekuasaan negara terpisah menjadi tiga bidang, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Kekuasaan legislatif merupakan kekuasaan yang berwenang dalam membentuk peraturan perundang-undangan, dan biasanya atau lazimnya kekuasaan legislatif ini dipegang oleh suatu badan legislatif. Badan legislatif ini bekerja menyusun dan menetapkan suatu peraturan perundang-undangan. Kemudian kekuasaan eksekutif merupakan kekuasaan dalam hal menjalankan peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh badan legislatif. Dengan kata lain, lembaga eksekutif ini menjalankan fungsi pemerintahan. Dan yang terakhir adalah lembaga yudikatif yang menjalankan kekuasaan dalam mengawasi jalannya pelaksanaan peraturan perundangan, Lembaga ini berfungsi sebagai kekuasaan kehakiman yang memiliki peradilan-peradilan baik ditingkat bawah maupun atas. Itulah pemisahan kekuasaan sederhana yang disampaikan oleh Montesquieu. Pemisahan tersebut berlaku secara tegas dan ketat sehingga tiap lembaga menjalankan fungsinya masing-masing tanpa dipengaruhi oleh lembaga lainnya.

Namun lain halnya di Indonesia dengan sistem ketatanegaraannya yang unik. Indonesia tidak menganut pemisahan kekuasaan secara tegas, tetapi menganut pembagian kekuasaan dengan prinsip check and balances. Pembagin kekuasaan dimana setiap lembaga negara menjalankan wewenang dan kekuasaannya namun dengan pengawasan dan pengimbangan dari lembaga negara lainnya. Sebagai contoh kita dapat melihat kinerja DPR(Dewan Perwakilan Rakyat) yang diamanahi wewenang untuk membentuk uandang-undang, namun dalam hal pembahasannya dibersamai oleh Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Tidak hanya itu, pembuatan undang-undang yang terkait dengan hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan daerah, maka DPR harus mendengarkan pertimbangan dari DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Kemudian dalam hal rekrutmen dan pengangkatan hakim agung, Komisi Yudisial mengajukan calon yang diusulkan kepada DPR, setelah disetujui oleh DPR maka selanjutnya akan disahkan oleh Presiden sebagai hakim agung. Dari beberapa contoh di atas, dapat diketahui bagaimana lembaga-lembaga negara di Indonesia saling berhubungan dalam menjalankan wewenangnya, dan itulah yang disebut dengan prinsip check and balances dalam ketatanegaraan Indonesia.

Secara substansial prinsip tersebut memang sangat efektif dan baik dalam mengurangi potensi penyelewengan wewenang oleh tiap lembaga negara, namun secara konteksual dan realita, prinsip tersebut melahirkan permasalahan baru yang lebih kompleks dan sistematis. Dapat dikatakan prinsip tersebut melahirkan bentuk penyelewengan baru. Penyelewengan apakah itu? Ya, penyelewengan yang dapat kita sebut “Trias Koruptika”. Istilah ini dapat untuk menggantikan istilah “Trias Politika” yang digagas oleh Montesquieu atau bahkan melengkapinya. Mungkin para pembaca masih bingung dan bertanya-tanya, apa itu trias koruptika. Untuk memudahkan pemahaman para pembaca sekalian, kita dapat melihat beberapa contoh kasus atau peristiwa yang sering atau bahkan selalu terjadi dalam ketatanegaraan kita. Mungkin para pembaca juga sering melihat pemberitaan di televisi atau membaca headline di surat kabar tentang kasus korupsi dengan bentuk yang beraneka ragam. Mulai dari dinasti politik yang sarat akan penyelewengan dan korupsi di Banten, kemudian penggelapan dana pengembangan proyek, kasus impor daging sapi, penggelembungan dana pengadaan Alquran, hingga kasus Akil Mochtar sebagai ketua Mahkamah Konstitusi yang benyak menyelewengkan wewenangnya dan meloloskan beberapa persengketaan yang seharusnya tidak layak lolos, serta masih banyak lagi contoh kasus lainnya yang terjadi.

Dari beberapa contoh kasus di atas dapat kita saksikan bahwa korupsi sudah menyebar tidak hanya pada lembaga legislative atau lembaga eksekutif saja, tetapi sudah masuk pada ranah kehakiman atau yang lebih akrab kita sebut lembaga yudikatif. Hal ini memberi indikasi bahwa korupsi bagaimanapun bentuknya telah merajalela secara sistemik pada semua lini lembaga ketatanegaraan di Indonesia. Prinsip pembagian kekuasaan yang tidak tegas itu justru memberikan kondisi dan keadaan yang nyaman pada pelaku korupsi maupun koloni-koloni dan sanak kerabatnya. Dapat dianalogikan, apabila salah seorang pada lembaga eksekutif terlibat maka akan mendapat perlindungan dari orang-orang lain di lembaga legislative ataupun yudikatif. Hal ini bukanlah sesuatu yang hipokrit, karena orang-orang tersebut pastilah memiliki kepentingan di dalamnya. Nah, mungkin saat ini pola pikir para pembaca telah terbangun, bahwa dibalik sebuah prinsip yang baik dan baguspun dapat di gunakan sebagai alat yang jitu untuk berbuat kecurangan dan penyelewengan, bahkan dapat dilakukan dengan sangat rapi dan sistemik. Ya itulah yang disebut “Trias Koruptika pada Trias Politika”. Sebenarnya bukan gagasannya yang salah, hanya dalam merealisasikannya saja yang terkadang disisipi oleh kepentingan-kepentingan jahat segelintir orang. Saat ini kita sebagai generasi penerus dan “pelurus” bangsa memiliki tugas dan kewajiban yang berat namun mulia, untuk mengembalikan tatanan kehidupan bernegara sesuai dengan prinsip sesungguhnya, agar tak terulang kembali pada masa depan. (-val.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun