Pada tanggal 22 Maret 2024, serangan teroris di Balai Kota Crocus, sebuah gedung konser terkenal di pinggiran Moskow, Rusia, mengejutkan dunia. Insiden tersebut menewaskan sedikitnya 137 orang dan melukai lebih dari 500 orang, menjadikannya salah satu serangan teroris paling mematikan di Rusia dalam beberapa tahun terakhir. Para pelaku yang diyakini berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) tidak hanya menembak sembarangan, tetapi juga membakar gedung dengan cairan mudah terbakar. Acara ini sekali lagi menyoroti ancaman terorisme di Rusia, tantangan dalam mengelola keragaman sosial, dan implikasi geopolitik dari konflik di Timur Tengah.
Akar masalah terjadinya penembakan
Ancaman Teroris di Rusia Rusia telah lama menjadi sasaran serangan teroris, terutama sejak konflik di kawasan Kaukasus Utara, termasuk Chechnya, Dagestan, dan Ingushetia. Konflik ini berakar pada aspirasi separatis dan perjuangan kemerdekaan yang berlangsung sejak runtuhnya Uni Soviet pada awal tahun 1990an. Dalam menghadapi pemberontakan, pemerintah Rusia menggunakan pendekatan militer yang represif, yang seringkali berujung pada radikalisasi penduduk lokal.
Ancaman ini semakin diperumit dengan keterlibatan kelompok transnasional seperti ISIS. Pasca kekalahan ISIS di Irak dan Suriah, banyak pejuang asing asal Rusia, khususnya wilayah Kaukasus Utara, yang kembali ke negara asalnya. Kembalinya para ekstremis ini menimbulkan risiko baru karena mereka membawa pengalaman, jaringan, dan ideologi ekstremis mereka ke wilayah Rusia. Serangan terhadap Balai Kota Crocus adalah bukti nyata bahwa afiliasi ISIS tetap aktif meski secara geografis mengalami kemunduran.
Tantangan Sosial dan Politik di Rusia
Keberagaman etnis dan agama di Rusia merupakan tantangan tersendiri. Negara ini memiliki populasi Muslim yang besar, terutama di wilayah selatan. Namun, banyak komunitas Muslim yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah Rusia. Rezim keamanan yang ketat, pengawasan terhadap masjid, dan pembatasan kebebasan beragama sering disebut-sebut sebagai pendorong radikalisasi. Di sisi lain, modernisasi yang diusung pemerintah Rusia menciptakan kesenjangan sosial antara kota-kota besar seperti Moskow dan pinggiran kota.
Balai Kota Crocus, simbol modernitas dan kemakmuran, mungkin dipilih sebagai tujuan untuk menyampaikan pesan politik dan ideologi. Pemilihan lokasi juga mencerminkan strategi kelompok teroris dalam menyerang lokasi yang memiliki nilai simbolis tinggi. Geopolitik dan Dampak ISIS di Rusia Meskipun ISIS telah kehilangan kekuatannya di Timur Tengah, namun ISIS masih memberikan pengaruh yang kuat melalui organisasi teroris di berbagai negara, termasuk Rusia. Pengakuan atas penyerangan ini menunjukkan bahwa kelompok tersebut masih berusaha menegaskan kehadirannya di kancah internasional.
ISIS, meskipun sudah kalah pada Irak & Suriah, permanen sebagai ancaman dunia melalui jaringan teroris yg beredar pada aneka macam negara. Serangan pada Crocus City Hall merupakan bagian berdasarkan upaya grup tadi buat menerangkan bahwa mereka masih mempunyai kekuatan & relevansi. Selain itu, agresi ini jua bisa ditinjau menjadi bentuk balasan terhadap hegemoni militer Rusia pada Timur Tengah, khususnya pada Suriah.Keterlibatan Rusia pada perang melawan ISIS pada luar negeri membentuk permusuhan yg sekarang dibawa balik ke pada negeri.
Dalam konteks geopolitik, serangan ini akan memberikan tekanan lebih lanjut kepada Rusia untuk meningkatkan kerja sama internasional dalam memerangi terorisme. Namun, jika tidak dibarengi dengan solusi sosial dan ekonomi yang berkelanjutan, pendekatan represif yang dilakukan pemerintah Rusia dapat memperburuk keadaan. Kebijakan dan dialog yang lebih inklusif dengan komunitas minoritas diperlukan untuk mengurangi kemungkinan radikalisasi di masa depan.
Pernyataan Presiden Putin
Serangan teroris di Balai Kota Crocus pada 22 Maret 2024 mengejutkan Rusia dan memicu respons cepat dari pemerintah, termasuk Presiden Vladimir Putin. Insiden tersebut, yang menyebabkan lebih dari 130 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka, merupakan salah satu tragedi terbesar yang dihadapi negara ini dalam beberapa tahun terakhir. Pemerintah Rusia dan Presiden Putin telah mengambil sejumlah langkah untuk merespons tragedi ini, baik dalam bentuk pernyataan publik, tindakan hukum, maupun tindakan simbolis dan strategis.
Sebagai kepala negara, Presiden Vladimir Putin mengutuk keras serangan tersebut. Dia mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ini adalah “tindakan terorisme biadab” yang tidak hanya menargetkan warga sipil tetapi juga bertujuan merusak stabilitas nasional. Presiden Putin juga menyampaikan belasungkawa kepada keluarga korban dan menyatakan dukungannya terhadap korban luka. Dia menekankan bahwa pemerintah Rusia akan mengambil langkah-langkah untuk membawa para pelaku ke pengadilan dan memastikan bahwa mereka menerima hukuman yang pantas.
Dalam keadaan lebih lanjut, Presiden Putin menegaskan bahwa serangan ini bukan sekedar serangan terhadap Rusia, namun merupakan bagian dari ancaman global yang lebih luas, dan penghapusannya memerlukan solidaritas internasional. Pernyataan ini menekankan posisi Rusia sebagai salah satu negara terkemuka dalam memerangi terorisme internasional.
Selain Presiden Putin, sejumlah pejabat senior Rusia, termasuk Perdana Menteri Mikhail Mishustin, juga melontarkan pernyataan tegas. Mishustin menekankan bahwa pelakunya akan dihukum berat dan serangan itu tidak akan menggoyahkan semangat nasional Rusia. Tokoh agama seperti Patriark Kirill dari Gereja Ortodoks Rusia juga mengeluarkan pernyataan yang menyebut serangan tersebut sebagai tindakan brutal yang tidak biasa. Pernyataan berbagai pihak ini menunjukkan respons terpadu dari pemerintah, kelompok agama, dan masyarakat sipil untuk mengutuk serangan ini.
Kesimpulan
Serangan teroris di Balai Kota Crocus pada 22 Maret 2024 merupakan tragedi besar yang menyoroti kompleksitas ancaman teroris modern di Rusia. Respons pemerintah, termasuk pernyataan tegas Presiden Vladimir Putin, penetapan hari berkabung nasional, dan peluncuran operasi penegakan hukum, menunjukkan tekad Rusia untuk mengatasi krisis ini dengan tegas. Namun serangan-serangan ini juga mencerminkan tantangan serius yang dihadapi Rusia, termasuk kesenjangan keamanan, pengucilan sosial yang mendorong radikalisasi, dan hubungan kompleks antara ancaman domestik dan geopolitik.
Upaya memerangi terorisme memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif, lebih dari sekedar tindakan represif, namun juga mengatasi akar penyebab radikalisasi, termasuk ketimpangan sosial dan marginalisasi komunitas minoritas. Di tingkat internasional, keterlibatan dan kemungkinan hubungan lintas batas kelompok seperti ISIS menunjukkan pentingnya kerja sama global untuk mencegah serangan serupa di masa depan. Sebagai pemain utama dalam perang melawan terorisme, Rusia perlu lebih memperkuat kemitraannya dengan negara-negara lain untuk menggagalkan jaringan teroris internasional.
Pada akhirnya, tragedi ini merupakan pengingat bahwa perang melawan terorisme bukan hanya soal keamanan, namun juga tentang membangun masyarakat yang adil, inklusif, dan aman bagi seluruh warga negara. Pendekatan komprehensif akan memungkinkan Rusia mencapai stabilitas dan keharmonisan nasional yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H