Mohon tunggu...
Humaniora

Perjalanan Hidup Sang Penghuni Kost

28 Februari 2016   20:33 Diperbarui: 28 Februari 2016   21:17 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

              Apa yang pertama kali muncul di pikiran anda ketika anda mendengar kata “kost”? Apa yang ada di benak anda tentang anak kost? Apa  juga yang anda pikirkan pertama ketika anda harus menjadi anak kost (bagi yang sudah pernah merasakan)? Dalam artikel ini, saya akan sedikit membagi cerita tentang bagaimana kisah perjalanan menjadi seorang penghuni kost (kebetulan saya juga anak kost #eeaaakkk). Yah, cerita yang akan saya ceritakan di dalam cerita yang akan saya ceritakan hanya berdasar pengalaman sendiri dan teman-teman seperjuangan yang ikut berjuang melawan arus inflasi yang kian menaikan harga indomie sehingga hutang makin menumpuk tiap hari yang mungkin akan dibawa sampai mati #apaansihh. Intinya cerita ini berdasar kenyataan pahit yang saya alami.

          Sudah cukup basa-basinya, mari kita kembali ke pembahasan saja. Kost atau indekos menurut KBBI yaitu, tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar setiap bulan). Gampangannya sih, ada orang yang punya rumah tapi kamarnya banyak (mungkin ingin membangun hotel, tapi tidak kesampaian), akhirnya kamarnya dibuka untuk orang lain yang butuh tempat berteduh selama yang dibutuhkan. Tentunya tidak ada yang gratis di dunia saudara-saudara sekalian, untuk bisa mendapatkan akses sebagai penghuni kost, ada syaratnya. Minimal sudah  berusia 17 tahun keatas, memiliki KTP, harus menyertakan kartu anggota keluarga,  sudah lulus Ujian Mengemudi #malahbicaraSIM (becanda-becanda) yang jelas pokoknya adalah harus bisa BAYAR!!!

“Bayar apaan broo??”

“Bayar kostnya lah, emang kamu kira itu kost punyamu!??”

          Nah, disini adalah bagian mengerikannya, ada sesosok mahkluk berhati dingin dengan tatapan iblis berwajah malaikat pencabut nyawa yang siap mengambil pundi-pundi rupiah orang yang telah melakukan perjanjian terlarang #auww untuk ikut menetap dalam singgasana sang mahkluk. Mahkluk itu memiliki nama, mungkin sangat dihindari oleh para penghuni, ia adalah Sang Maha “Ibu-Kost”. Ketika tanggal sudah menunjukan hari penghakiman, ia akan datang mengadili penghuni kost yang telah melakukan kontrak dengannya #cukup. Biasanya sih, ia akan menunggu di depan pintu kamar, pintu depan, pintu gerbang, pintu toilet, dan pintu-pintu lainnya.

Bagaimanapun juga Ibu Kost adalah manusia, sudah sepantasnya dan sewajarnya sebagai penghuni kost yang baik, harus memberi apa yang sudah menjadi milik Ibu Kost. Saya pun dulu sering kabur jika ditagih ibu kost saudara-saudara sekalian, tetapi ingat bahwa uang tersebut tidak hanya digunakan untuk kepentingan tersendiri, tetapi juga untuk membayar tagihan telepon, listrik, air, PBB, dll, karena pada hakitkatnya itu semua berasal dari kita, oleh kita, untuk kita. Kira-kira begitulah kewajiban utama sebagai penghuni kost.

            Sebagian orang mungkin saja berkata “Hidup kost itu butuh tanggung jawab besar, bisa berdampak buruk!!”, tetapi di sisi lain berkata “Hidup kost itu seperti burung yang telah terbebas dari sangkarnya dan membuat sarang yang baru”. Namun menurut pendapat seorang ahli yang telah berkecimpung dalam dunia realita kost, yaitu saya, kost merupakan tempat untuk bisa hidup mandiri (mandi sendiri) dan juga untuk mencari jati diri. Pandangan saya berkata, dengan menjadi penghuni kost itu berarti juga melatih kedewasaan dan tanggung jawab, hidup kost merubah kepribadiaan dan gaya hidup saya tentunya. Tentu saja, yang dinamakan kost berarti hidup sendiri, menyendiri, bersemedi. Bukan berarti penghuni kost merupakan orang yang tersingkir, terkucilkan, terasing (kecuali pada hakikatnya kamu sudah terasingkan #baper).

Dimana penghuni kost tinggal, ia jauh dari tempat tinggalnya, itu berarti ia membawa mandat yang berat, membawa nama baik diri. Saudara-saudara sekalian, jika saya boleh berkata yang sejujur-jujurnya, saya dulu saat masa SMP merupakan anak yang polos, baik hati, rajin, suka menabung, menaati perintah orang tua dan juga pendiam, tertutup, terlebih lagi bisa dibilang cupu. Oleh karena hal-hal yang telah disebutkan diatas, orang tua saya menyuruh saya untuk melanjutkan jenjang pendidikan SMA di luar kota.

Banyak calon kota yang akan nantinya menjadi tempat peraduan nasib saya selanjuatnya. Tetapi hanya yang terbaik dari yang terbaik yang akan menjadi tempat persinggahanku untuk bersarang. Berdasarkan polling suara dari seluruh keluarga saya, terpilihlah kota Semarang sebagai hunian baru saya. Tentu saja, saya pada kala itu sangat takut karena Semarang adalah kota sangat asing bagi saya, bukan hanya dengan kotanya tetapi dengan makhluk hidup yang tinggal di dalamnya.

Kesan pertama saya terhadap ibu kost saya adalah sosok yang baik dan peduli. Sekarang sih sudah sering dipelototin (apalagi masa pembayaran pajak #baper). Selama 4 tahun saya menjalani kehidupan sebagai pengantin baru penghuni kost, banyak perubahan yang terjadi pada fisik, sifat, gaya bahasa, hingga kemampuan otak saya. Saya pun telah menjadi anak yang lebih berkepedulian sosial, mudah bersosialisasi, berani, ceria, nakal, suka boros, pemalas, suka melawan, suka keluar malam, selalu bermain, dll

(PERHATIAN : Dimohon bagi para pembaca terutama bagi yang akan kost atau sedang menjalani kehidupan kost untuk tidak mengambil contoh sikap buruk penulis, kami mohon maaf yang sebesar-sebesarnya).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun