Mohon tunggu...
artha amalia
artha amalia Mohon Tunggu... Bidan - ibu rumah tangga biasa

terus belajar untuk sabar dan bersyukur

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Untukmu Ibu] Hikmah dari Nasehat Mama

23 Desember 2013   12:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:35 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nomor peserta: 473

Halo, wanita yang saya sayangi. Apa kabar Mama saat ini? Semoga Mama dalam keadaan sehat dan dalam lindungan Allah.

Mama, begitu banyak kisah tentang kita. Tak sedetik pun saya alpa. Sebab perjalanan panjang yang kita lalui bersama, saya yakin akan berujung bahagia. Sekuat tenaga akan saya wujudkan segala impian Mama, doakan saya agar semuanya baik-baik saja.

Setiap anak mendamba bakti. Pun saya, ingin mengabdi. Membahagiakan Mama hinggaujung masa. Mengukir lengkungan indah di wajah Mama, semampu saya.

Inspirasi saya adalah Mama. Mama wanita paruh baya yang tegar dan berhati mulia. Siapapun yangmengenal Mama, tentu suka. Ramah tamah dan suka bercanda.

Dibalik semua itu, Mama menyimpan duka. Tergores luka dalam jiwa. Terlebih saat setahun lalu saya tinggalkan rumah karena perpecahan keluarga. Tetapi, ini saya lakukan demi kebaikan Mama. Saya tak mau Mama menderita oleh pria yang saya sebut saudara.

Saya katakan tahun 2012 ialah tahun yang keras. Pelangi harapan semoga bisa hidup tentram saya rangkai dan bias. Saya harus melawan ketakutan sendirian di kota yang buas. Mengisi dompet yang mulai meranggas dengan kerja keras.

Saya tekuni profesi baru, menambah ilmu. Belajar spa dan pengobatan tradisional sebagai pengisi waktu. Tak peduli orang lain mencela. Toh pekerjaan saya halal dan tak mengganggu mereka.

Awalnya Mama tak setuju. Selalu meminta saya segera kembali dari rantau. Namun saya tak mau. Saya bertekad sukses serta melawan rasa malu. Melihat kegigihan saya, Mama berbalik arah. Mama dukung saya dan beri banyak petuah.

"Hidup jauh dari orang tua harus banyak berdoa. Jaga diri, jaga hati," itu pesan Mama.

Mama selalu sedih kala saya memilih pergi. Padahal Mama bertekad terus melindungi saya karena belum bersuami. Tetapi takdir berkata lain, saya harus bisa seorang diri di Jogja. Dengan doa Mama, saya yakin bisa dan tidak mengecewakan Mama.

Pelatihan spa profesional saya ikuti. Pencerahan saya dapat di sini. Tak ada yang salah dengan pekerjaan ini. Malah suatu kebanggaan sebab mampu mengembangkan kemampuan diri. Impian saya untuk bisa berdikari telah terpenuhi.

Saya seorang bidan dan wajib mandiri. Siapa tahu nanti ditempatkan di pelosok negeri. Suatu saat bila pasien membutuhkan, harus bisa dikerjakan seorang diri. Bidan mestinya menguasai berbagai bidang dan tinggi nyali. Sebab nanti hidup saya adalah untuk berbagi, jadi tak perlu saya berkecil hati atas apa yang kini terjadi.

Salah satu impian saya ialah menjadi bidan multi talenta, tidak dipandang sebelah mata. Membantu sesama wanita mendapatkan haknya. Menemani wanita dalam masa sulitnya. Mengurangi rasa sakit yang dideritanya.

Menjadi bidan juga impian Mama di masa muda. Karena tak tercapai, sayalah penerusnya. Mama selalu berkata bahwa wanita memang makhluk lemah, tetapi jangan diremehkan begitu saja. Wanita diberi anugrah sedemikian rupa, mengandung dan melahirkan generasi manusia. Impian sederhana membimbing saya agar tak putus asa menggapainya dengan rasa percaya bahwa akan menjadi nyata. Profesi saya mulia dan sangat berguna sepanjang masa.

Mama, masih ingatkah Mama tentang betapa saya menolak keinginan Mama agar saya kuliah di kebidanan? Saat SMA, saya begitu tertarik pada dunia kepenulisan. Dulu Mama juga mengizinkan sebab apa yang saya kerjakan membuahkan hasil. Saya mendapat pekerjaan sebagai wartawan sekolah dan gajinya bisa untuk membeli lebih dari sekedar buku dan pensil.



Walau Mama adalah seorang perawat, tapi saya sama sekali tidak melirik profesi di bidang kesehatan. Namun setelah sekian lama terbelit masalah itu, mengalah pun saya putuskan. Dengan ujian yang ditemani Mama, nama saya terpampang di papan pengumuman. Saya lulus ujian dan jadi mahasiswi Kebidanan.

Ternyata pelajaran Kebidanan tak semudah dibayangkan. Berbagai kata bahasa medis mulai kanan-kiri yang diganti dextra-sinistra, juga bermacam nama penyakit dan anggota tubuh wajib dihafal sempat membuat saya tertekan. Otak ini benar-benar dipenuhi beragam ingatan, hobi menulis tak bisa lagi saya jalankan. Konsentrasi tinggi, sebab tugas kuliah menumpuk tinggi setiap hari.

Setiap hari Mama menyemangati. Hingga 3 tahun terlewati, saya berhasil lulus dengan IPK cum-laude. Namun lapangan pekerjaan di bidang kesehatan tidak seperti yang diinginkan. Walau Mama pegawai RS kota, namun saya tidak bisa secara otomatis menjadi pegawai. Beberapa kegagalan CPNS telah saya lalui. Sempat prustasi sekali lagi, karena harapan bekerja di RS lain belum juga terealisasi.

Hingga ada seorang dokter yang menawari bekerja di RB (Rumah Bersalin)-nya yang berada di suatu pelosok desa. Saya pun menerimanya. Walau lagi-lagi tidak sesuai harapan, tapi Mama selalu menguatkan.Tidak jarang Mama menemani saat saya harus tugas sendiri.

Namun ternyata ada hikmah besar di balik itu semua. It's true, God is the best director. Karena tinggal serumah lagi, hubungan kita jadi semakin dekat, laksana sahabat. Kepada Mama, saya berbagi suka-duka, pun sebaliknya. Mama adalah sumber semangat dan motivasi hidup saya. Saya ingin setegar Mama, juga ingin setabah Mama di tengah rumitnya keluarga kita.


Entah setan apa yang menjalari benak Din, adik saya yang juga putra kedua Mama. Hingga ia tega meminta sesuatu di luar kemampuan Mama. Motor Ninja ia inginkan seketika ada, sampai dengan kasar mengusir kita dari rumah bila motor itu tak segera tersedia di depan mata.

Bila hanya mengusir, masih bisa saya terima. Tapi ia menyakiti Mama, hampir melukai Mama dengan senjata tajam yang hendak dihunuskan. Saya tidak mau hanya menjadi penonton, saya lawan Din meski saya tahu tentu tidak sepadan. Badan saya lebih kecil darinya, saya kalah dan kita segera lari menyelamatkan diri.

Beberapa waktu kita menginap di RB, tempat kerja saya. Kala itu bulan puasa, saya hanya bisa menyiapkan makan sahur seadanya. Hanya berupa mi instan yang saya masak dengan kompor listrik, matang tak merata tetapi tetap Mama makan. Mama, sungguh besar hatimu, setelah kejadian itu masih mau memaafkan. Tidak seperti saya yang merasa teraniaya dan ingin jauh dari rumah. Meninggalkan Din, sang peluka hati dan merantau untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri.

Di rantau itulah, kemudian saya menjadi bidan yang mencoba banyak kegiatan. Menulis cerita dan mengirimnya ke berbagai media, hingga mendapat beberapa penghargaan. Bukan piala, hanya piagam, tetapi menyenangkan. Hingga berbagai karya membuat Mama terheran-heran.

Di tahun 2012, saya raih lagi sang impian. Menulis rindu pada Mama dan membuat saya jadi juara, bahkan pernah termuat di koran. Saya unggah foto Mama di jejaring sosial dan Mama senang sekali saat saya tunjukkan. Berhasil pula saya menyisihkan uang agar bisa ajak Mama jalan-jalan. Keliling Yogyakarta dan Bandungdengan bergandengan tangan.

Bahagia Mama, bahagia saya. Masih teringat bagaimana saat Mama saya ajak ke kantor keuangan sebuah media cetak untuk mengambil honor, ekspresi Mama membuat saya termangu. Setiap saya melangkah dari satu loket ke loket lainnya, dipenuhi dengan suara ponselnya yang memotret putrimu. Bak mendapat Nobel, Mama mengabadikannya dalam kamera. Padahal hanya beberapa lembar rupiah yang saya dapat, namun membuat Mama bangga bercampur haru. Saya pun begitu.

Mama, saya tahu begitu banyak air mata Mama yang menetes karena berpisah dengan putri pertama Mama ini. Saya tahu bahwa berat badan Mama turun beberapa kilo karena kurang nafsu makan, teringat akan kebutuhan pangan saya di lain provinsi. Saya tahu betapa Mama bersedia mengirit biaya hidup agar bisa digunakan untuk biaya transportasi mengunjungi saya. Mama, ketika itu saya berjanji bahwa perpisahan kita hanya sementara. Saya pun tidak ingin terlalu lama berpisah dengan belahan jiwa saya, Mama.

Pertengahan tahun 2013, saya kembali ke rumah. Awalnya ragu, tapi Mama berjanji akan membuat semuanya baik-baik saja. Saya senang bisa menghabiskan hari bersama Mama lagi. Setidaknya saya bisa memantau kondisi Mama yang terkena myoma uteri.

Mama, saya sedih mendengar Mama terkena penyakit kandungan. Penyakit itu muncul ketika saya masih kuliah Kebidanan. Saya jadi sadar ... tujuan Mama menguliahkan saya di situ adalah agar saya paham tentang kesehatan. Setidaknya sebelum mengurusi orang lain, saya bisa mengurus kesehatan keluarga dan orang tersayang. Mama, maafkan saya yang pernah marah atas segala arahan yang Mama berikan.

Tidak sedikit pun Mama mengeluh. Juga tidak pernah Mama terlihat kuyu. Diri ini jadi malu. Merasa berdosa karena meninggalkan Mama seorang diri di rumah. Tentunya Mama kewalahan dengan berbagai pekerjaan berbenah.

Mama, sekarang saya ada bersama Mama. Saya tidak ingin lagi membuat Mama sengsara. Akan saya bantu semua pekerjaan Mama agar Mama tidak lelah. Akan saya jaga Mama agar Mama selalu sehat dan bahagia.

Ketika saya di rantau, Mama sering berkunjung. Bisa 2 kali dalam sebulan. Padahal butuh 10 jam perjalanan, tapi Mama tak pernah merasakan hal itu sebagai beban. Belum lagi bawaan berisi makanan, selalu dibawa agar saya tidak kekurangan pangan.

Mama, betapa besar jasa Mama. Saya belum bisa membalas apa-apa. Hanya bisa memijit Mama, mengurangi rasa nyeri di telapak kaki. Hanya bisa tersenyum, agar Mama tahu saya bahagia dan hati Mama lega. Hanya bisa berdoa, agar Mama selalu sehat dan murah rezekinya.

Harapan saya untuk tahun-tahun selanjutnya adalah semoga terus bisa membuat senyum di pemilik wajah surga. Terus mengabadikan setiap rindu dan temu dengan Mama lewat aksara. Saya juga ingin agar tidak lagi menjadi anak manja, ingin tumbuh dewasa dengan segala hikmah. Benar kata Mama, hidup itu bukan untuk dirasa susahnya karena hidup harus selalu bahagia, bagaimana pun caranya.

Mama, terima kasih untuk segalanya. Tanpa keteguhan hati Mama untuk terus membimbing saya, mungkin saya sekarang tidak akan bisa seperti ini, seperti yang kau pinta. Menjadi orang berguna yang bisa membantu para wanita.

Mama, hanya satu impian saya. Cukup sederhana tetapi bermakna. Saya ingin selalu membuat Mama bangga serta bahagia selamanya.Semoga terlaksana.

Terima kasih telah bersedia membaca untai kata berbalut cinta. Salam penuh sayang untuk Mama. Saya sayang Mama, sangat sayang.

***

NB: Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Communitydengan judul :Inilah Hasil Karya Peserta Event Hari Ibu.Ini link-nya:http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/12/22/untukmu-ibu-inilah-karya-peserta-fiksi-hari-ibu-bersama-studio-kata-618551.html

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Communitydihttp://www.facebook.com/groups/175201439229892/!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun