Semoga merpati putih bermata biru ini sampai kepadamu untuk mengantarkan suratku. Merpati putih ini laiknya Hanuman yang mengantar pesan dari Sri Rama agar Shinta bersedia pulang diantar Hanuman. Meski begitu, sejujurnya aku lebih mengagumi Rahwana yang berani mengorbankan Alengka yang dia banggakan demi Shinta, dibanding Rama yang setelah bertahun-tahun hanya menyuruh abdinya. Seandainya diriku memiliki Wilmana, kendaraan terbang sakti, akan ku jemput dirimu ke pulau di mana aku mengasingkan diri.
Pulau ini tidaklah sehebat Alengka. Sebelum menginjakkan kaki di sini, ku kira hanya ada tanah lapang yang gersang. Nyatanya aku menemukan sepotong surga meski mawar berduri tidak lebih tajam daripada jalan berbatunya. Semoga kau akan betah membaca suratku, yang lahir dari garis takdir yang misterius dan mengejutkan, hingga akhirnya aku berada di tanah Timor.
Arunika tersayang, pernahkah engkau merasakan ketakutan yang aku rasakan sebelum terlempar ke tanah Timor? Segalanya terasa asing bagiku, orang-orangnya, jalanan kota, kain tenun warna-warni, hingga cairan merah yang terlukis di mana-mana. Yang terakhir ku sebutkan itu baru ku tau bahwa itu adalah bekas ludah orang yang mengunyah sirih pinang. Meski begitu, hal-hal tadi akan bersahabat denganku sebab dalam waktu beberapa minggu ini akan kutemui dalam hari-hariku.
Dari tempat kita berasal, banyak hal yang terasa mudah didapat, bahkan tanpa perlu beranjak dari tempat tidur. Ternyata ada banyak sekali yang aku rasa tidak kutemukan di sini, namun aku juga menemukan hal lain yang juga menarik. Mereka menyambut dengan ramah, berusaha memberikan sesuatu seperti yang diperlukan. Aku sangat terkesan, hingga aku menyadari betapa kuatnya mereka bertahan selama ini.
Arunika tersayang, tebak kapan listrik mulai berjejaring di sini? Jika kau menyangka listrik sudah ada sejak puluhan tahun lalu, kau salah. Listrik baru hadir di abad 21! Tidak terbayangkan betapa gilanya diriku jika tiba-tiba terbangun di tempat ini. Saat itu, listrik tidak langsung di menjalar ke semua rumah, dan juga hanya diperoleh melalui panel surya. Barulah dalam lima tahun belakangan, jaringan listrik sudah bisa dinikmati hampir di tiap gubuk bernaung.
Tetapi jalanan masih gelap, penerangan jalan umum terputus di bagian yang sudah mendapat aspal saja. Mengerikan jika ada kegentingan di malam buta dan harus ke tempat yang diperlukan. Seperti kukatakan di atas, bahwa duri mawar tidaklah lebih tajam dari jalanan berbatu di sini. Karenanya, aku pernah terjatuh dari mobil yang membawaku dan hampir mati terlindas karena ia tidak kuat menanjak hingga akhirnya terdorong mundur. Sial sekali bukan? Untung saja ajalku belum melamar, jika tidak kau hanya mendengar kabar kematianku.
Arunika tersayang, kau akan terkejut bahwa udara di tempat ini adalah yang terbersih. Berbanding terbalik dari tempat kita berasal, udara sangat kotor bahkan menjelma racun tak terhindarkan. Tanpa perlu alat apapun, aku bisa menikmati gemerlapnya bintang di kala malam, setidaknya rasi bintang scorpio selalu terlihat jelas. Sedikitnya polusi cahaya dan udara adalah musabab langit begitu cerah, jika hujan tidak turun.
Langit yang menaungi tanah Kolbano begitu bermurah hati, ia sukarela mencurahkan tangisnya yang berderai membasahi bumi. Tatkala surya menampakkan diri, hampir selalu dengan tirai hujan yang menemani. Demikian, air bukanlah emas yang langka, karena engkau akan selalu mudah menemuinya meski di sela-sela lahan tandus. Air yang juga disertai dengan partikel-partikel kapur yang mengendap dalam semalam, bahkan kau bisa menulis rumus mekanika fluida dengan partikel kapur itu.
Arunika tersayang, sungguh kau akan takjub dengan Samudera Hindia yang membentang di Selatan. Permadani berwarna biru kehijauan itu menghipnotis bagi mata yang memandangnya. Gemuruh ombak yang berlarian di antara permata pantai Kolbano, melodi yang amat menenangkan. Sayangnya, permata itu terus dijarah untuk dikomersilkan keindahannya. Entah seperti apa rupa pantai ini nantinya, menguret rahim selasar samudera demi untung yang tak seberapa.Â
Keserasian lanskap dengan perbukitan yang gagah memunggunginya. Raksasa hijau yang nampak tertidur di samping samudera. Sekali waktu, rupanya menjadi sayu berkemul teduh kabut sebelum gerimis. Menjadi orkestra alam untuk sejenak menyeruput coklat hangat bersama alunan melodi Banda Neira. Meremukkan segala gusar yang mengebat batin. Tetapi kerakusan manusia bisa mencipta nestapa, entah bagaimana hamparan zamrud ini mempertahankan kemolekannya.
Arunika tersayang, sejujurnya aku tersipu oleh keramahan manusia-manusia yang menghuni tanah ini. Mereka tak segan menyapa pada setiap yang lewat, suasana yang tak jauh beda dari tempatmu berasal. Setiap bertamu, pemilik rumah akan dengan senang hati menyuguhkan kopi kemasan yang dikirim dari Surabaya. Rasanya tidak begitu mengerikan, lambungku yang cengeng ini dapat berkompromi. Itu berlaku di setiap rumah, bayangkan jika dalam sehari kau berkunjung ke lebih dari lima rumah, ku jamin matamu akan terjaga hingga esok lusa.
Suguhan lain yang biasa mereka hidangkan adalah pisang goreng, kupasan tipis yang tidak begitu lembut, mengundang kita untuk terus mengunyah kudapan gurih ini. Oh satu lagi, kolak ubi di rumah bapak kepala adat adalah keistimewaan yang patut dirayakan. Bahan yang alami dan segar serta pengolahan yang masih konservatif adalah harmoni masakan yang melezatkan. Mereka terbiasa mengolah masakan dari apapun yang tersedia di alam, masakan yang amat berbeda dari tempat kita berasal.
Arunika tersayang, barangkali masakan di tempat ini tidak bertabur rempah yang kuat seperti minang, atau manis seperti di tempat asalmu. Tetapi cita rasa masakan di sini memiliki kekhasan dan sangat menantang pecinta kuliner. Kau tau, ikan tuna di sini hanya diasap dengan bumbu seadanya namun ini adalah tuna terbaik yang pernah aku cicipi dan mungkin saja tidak ku jumpai di belahan bumi lain.
Sayangnya, dengan masakan yang segar dan cita rasa yang memukau, masih banyak ku lihat orang-orang di desa ini tak mampu mencukupi kebutuhan pangan mereka. Jadilah anak-anak bahkan mereka sendiri berperawakan kerdil, sejujurnya tidak ku jumpai seseorang yang setinggi diriku di desa ini. Alangkah mengejutkan bahwa orang-orang yang hampir setinggi diriku berada di desa yang juga terpencil di perbatasan Kolbano. Mereka menamai diri sebagai masyarakat adat Boti.
Arunika tersayang, masyarakat adat Boti masih kukuh dalam kesetian terhadap Uis Neno dan Uis Pah sebagai Bapak dan Mama mereka. Dua entitas yang menguasai langit dan mengendalikan bumi. Dalam kesehariannya ini mereka sangat mampu memenuhi asupan yang dibutuhkan. Tanah-tanah gersang mereka menumbuhkan singkong dan pisang, dan ikan bukan barang langka meski berjarak dengan samudera. Mereka adalah penjaga budaya Timor dari segala desakan modernisasi.
Arunika tersayang, perjalanan di tanah Timor ini membuka jendela kebodohanku bahwa aku hidup terlalu bermanja. Terlampau banyak sudut yang belum aku tapaki, barangkali menunggu kakiku berkehendak untuk melangkah. Jika suatu saat kau sempat menginjak tanah Timor, berkunjunglah ke Kolbano mencari jejak-jejakku yang terserak.Â
Peluk Hangat,
Kekasihmu yang sedang dalam pengelanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H