Arunika tersayang, sejujurnya aku tersipu oleh keramahan manusia-manusia yang menghuni tanah ini. Mereka tak segan menyapa pada setiap yang lewat, suasana yang tak jauh beda dari tempatmu berasal. Setiap bertamu, pemilik rumah akan dengan senang hati menyuguhkan kopi kemasan yang dikirim dari Surabaya. Rasanya tidak begitu mengerikan, lambungku yang cengeng ini dapat berkompromi. Itu berlaku di setiap rumah, bayangkan jika dalam sehari kau berkunjung ke lebih dari lima rumah, ku jamin matamu akan terjaga hingga esok lusa.
Suguhan lain yang biasa mereka hidangkan adalah pisang goreng, kupasan tipis yang tidak begitu lembut, mengundang kita untuk terus mengunyah kudapan gurih ini. Oh satu lagi, kolak ubi di rumah bapak kepala adat adalah keistimewaan yang patut dirayakan. Bahan yang alami dan segar serta pengolahan yang masih konservatif adalah harmoni masakan yang melezatkan. Mereka terbiasa mengolah masakan dari apapun yang tersedia di alam, masakan yang amat berbeda dari tempat kita berasal.
Arunika tersayang, barangkali masakan di tempat ini tidak bertabur rempah yang kuat seperti minang, atau manis seperti di tempat asalmu. Tetapi cita rasa masakan di sini memiliki kekhasan dan sangat menantang pecinta kuliner. Kau tau, ikan tuna di sini hanya diasap dengan bumbu seadanya namun ini adalah tuna terbaik yang pernah aku cicipi dan mungkin saja tidak ku jumpai di belahan bumi lain.
Sayangnya, dengan masakan yang segar dan cita rasa yang memukau, masih banyak ku lihat orang-orang di desa ini tak mampu mencukupi kebutuhan pangan mereka. Jadilah anak-anak bahkan mereka sendiri berperawakan kerdil, sejujurnya tidak ku jumpai seseorang yang setinggi diriku di desa ini. Alangkah mengejutkan bahwa orang-orang yang hampir setinggi diriku berada di desa yang juga terpencil di perbatasan Kolbano. Mereka menamai diri sebagai masyarakat adat Boti.
Arunika tersayang, masyarakat adat Boti masih kukuh dalam kesetian terhadap Uis Neno dan Uis Pah sebagai Bapak dan Mama mereka. Dua entitas yang menguasai langit dan mengendalikan bumi. Dalam kesehariannya ini mereka sangat mampu memenuhi asupan yang dibutuhkan. Tanah-tanah gersang mereka menumbuhkan singkong dan pisang, dan ikan bukan barang langka meski berjarak dengan samudera. Mereka adalah penjaga budaya Timor dari segala desakan modernisasi.
Arunika tersayang, perjalanan di tanah Timor ini membuka jendela kebodohanku bahwa aku hidup terlalu bermanja. Terlampau banyak sudut yang belum aku tapaki, barangkali menunggu kakiku berkehendak untuk melangkah. Jika suatu saat kau sempat menginjak tanah Timor, berkunjunglah ke Kolbano mencari jejak-jejakku yang terserak.Â
Peluk Hangat,
Kekasihmu yang sedang dalam pengelanaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H