Mohon tunggu...
Muhammad Arif Asy-Syathori
Muhammad Arif Asy-Syathori Mohon Tunggu... Petani Sehat -

Bercita-cita sebagai penulis yang bisa menginspirasi dan memotivasi setiap orang yang membaca buku karyaku, Please visit ; kakakhahu.blogspot.co.id to know about me more!! Mari berteman...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Kapan Pulang?

20 Mei 2016   21:45 Diperbarui: 20 Mei 2016   22:27 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Matahari sudah lelah, bulan menggantikannya. Ini sudah terhitung ke-seribu sekian kalinya. Aku sudah disini sejak anak muda yang suka nongkrong di gubuk tua pojok itu masih berseragam SD. Kini anak muda itu bahkan sudah suka main perempuan. Aku masih disini juga.

“Hey, pulang sana! Aku tahu kerasnya mamakmu bekerja dari pagi, siang, hingga malam. Kamu malah main perempuan di sini!” Tegurku kepada anak muda itu. “Mar, perasaanku disini gak enak, pindah aja yuk!” Perempuan yang ditindihnya bilang kepada Mario, pacarnya. Tak kapok, esok harinya mereka berdua pasti datang lagi ke gubuk tua itu  ̶  berzina.

Aku kenal sekali dengan ayahnya, dia tetanggaku. Aku sering berbicara dengannya. Ayah Mario tak jarang bercerita harapannya kepada anaknya. Dia juga merasa bersalah lantaran memanjakan Mario dulu. Apa daya, ayahnya sekarang tidak dapat berbuat apa-apa. Nasi sudah menjadi bubur, lebih parah daripada kayu yang menjadi arang karena arang dapat menjadi berlian. Sesal lah yang paling pantas menggambarkan perasaan ayahnya saat ini.

Ayah Mario sangat sayang kepada keluarganya. Istrinya, Mario, pembantu-pembantunya, semua yang tinggal di rumahnya. Sekarang istrinya melarat dibuat Mario. Mario menjelma menjadi manusia bejat. Mario tak sudi mendoakan ibunya apalagi ayahnya. Lampu disko, bir, dan kemolekan tubuh perempuan menjadi makananan sehari-harinya. Ibunya nelangsa.

***

Matahari sudah bangun. Aku tidak bisa tidur. Terlihat ayah mario berjalan sempoyongan  ̶  memang selalu sempoyongan  ̶  mengikuti istrinya yang sedang berjualan jamu keliling  ̶  dulu direktur perusahaan. Hingga panas matahari tepat di ubun-ubun, ayah Mario tidak pernah berhenti mengikuti istrinya. Begitulah kebiasaannya. Menghabiskan waktunya sambil menunggu kemunculan dua sosok terkenal yang diceritakan Pak Syam  ̶  kyai di kampung.

Istri ayahnya Mario mempunyai kebiasaan mengunjungi pemukiman kami. Ayah mario pun mengikutinya dari belakang. Dia menangisi istrinya yang duduk bersimpuh. Air mata istrinya menetes, air mata suaminya lebih deras. Ku pandangi mereka berdua hingga istrinya kembali pulang. Suaminya menghampiriku. Ia akrab denganku.

 “Huh, sampai kapan bapak akan seperti ini?” Tanyaku sambil melihat kedua matanya yang masih basah. “Ya sampai aku pulang.” Suaranya sedikit serak.”Sepertinya, dinginnya surga dan panasnya neraka belum terasa hingga kini pak.” Kali ini nadaku sedikit menurun sambil mengubah pandanganku ke depan. “Benar tidak cerita pak Syam tentang dua sosok itu pak?” “Hingga kini tidak ada yang bisa menyangkal dan percaya.” Jawabnya, matanya mengambang ke udara.

Pemukiman kami sangat singup. Jauh dari rumah-rumah warga. Jangkrik pun tidak berani mengerik di sini. Orang-orang sesekali datang ke sini. Ada yang datang sendiri, berdua, ada yang masih mungil dan lucu, ada yang sudah tua renta. Wajah mereka tak pernah menunjukkan keceriaan kala bertamu. Tampak ingatan mereka menyiksa mereka, hingga wajah mereka mewakili perasaan yang dibawa.

Aku lupa, hari ini adalah hari Jum’at. Seperti biasa, kedukaan hatiku yang mengalami kesunyian dan terlantar ini sedikit bisa lega. Dewi datang. Calon istriku datang. Tapi siapa yang dibawanya kali ini? “Tom, aku datang.” Dewi memulai percakapan dengan sedikit gemetar. Mataku tidak bisa lepas dari wajah lelaki di sampingnya. “Tom, aku datang Tom.” Sapanya yang kedua kali. Aku tidak menjawab. “Kenalin Tom, ini suamiku. Kami baru saja menikah kemarin. Maafin aku ya Tom, aku harus melepas bayangmu Tom. Aku tidak bisa menjalani hidup sendiri terlalu lama. Terlalu lama terjebak bayangmu semakin menyiksaku Tom.” Rintihannya mulai terdengar. Aku tidak bisa membuka mulutku. Bibirku terasa berat untuk bicara. Hatiku hancur berantakan. “Aku bawa bunga ini buat kamu Tom. Aku berharap kamu datang ke acara pernikahanku kemarin, tapi kata suamiku tidak mungkin kamu akan datang. Jadi maksud kedatanganku kemari, aku ingin memberimu kabar tentang pernikahanku.” Suaranya terisak-isak. Suaminya memegangi tangannya dan memeluknya.

Angin yang semula tenang, hawa yang dingin, gelap, dan sepi tiba-tiba berubah. Keadaan ini adalah amarahku. Angin bertiup kencang. Angin tidak lagi seperti satin yang lembut. Hawa menjadi panas, dan tiba-tiba saja seperti ada api di belakangku. Dewi takut. Suaminya memegang erat, menarik tangannya, dan mengajaknya pergi. “Tom, kau marah? Bicara lah Tom! Aku ingin dengar suaramu!” Dewi berteriak. “Apa kamu pikir yang sakit hati hanya kamu? Mengenalmu adalah hal yang aku sesali Tom, seandainya kamu tidak hadir di kehidupanku, aku tidak akan tersiksa begini. Hatiku masih mencintaimu Tom!” Hatiku tersayat. Aku merasakan sakit dan derita. Melihatnya pergi dengan orang lain. Ingin menangis tapi air mata tak mau menetes. Ingin memeluk tapi tak ada yang dipeluk. Sungguh sakit rasanya.

***

Kejadian malam itu hingga sekarang tak bisa kulupakan. Sejak malam itu pula Dewi tidak pernah mengunjungiku lagi. Tak pernah bosan matahari melihat diriku. Aku berjalan kesana-kemari dengan sempoyongan. Sekarang cara jalanku hampir sama dengan cara jalan ayah Mario.

Terdengar suara motor berhenti di depan pemukiman. Ternyata Mario dengan perempuan lain. Perempuan yang dibawanya bukanlah pacarnya dulu. Kali ini bahkan dia berani di saat matahari sedang meneropong  ̶  sungguh bejat!

Tak ku pedulikan lagi dia. Biarlah dia mesum. Toh nanti dua sosok malaikat akan bertanya tentang perjalanan hidupnya. Neraka atau surga? Mario sendiri yang akan menjawabnya, bukan aku.

Ku perhatikan tingkah non manusiawi Mario dan perempuan itu. Ayahnya tidak tahu perbuatan mereka. Dia sedang tidak di pemukiman. Ketika hari mau petang barulah ayahnya kembali  ̶  mengikuti istrinya berjualan jamu keliling. Kalau saja dia tahu, pasti sedih. Tidak hanya Mario, anak-anak muda sekarang suka mengotori pemukiman ini. Mereka suka berbuat mesum seperti yang Mario lakukan. Sudah sangat biasa bagiku. Aku tak bisa berbuat apa-apa.

Setelah melakukan mesum, Mario segera pulang. Perempuan itu diboncengnya. “Kasihan sekali ayah ibumu. Aku yang bukan ayahmu saja jijik lihat tingkahmu begitu, apalagi ayahmu sendiri.” Aku berkata pada mereka berdua. Tapi mereka tidak mendengarkan. Apalagi menanggapi.

Aku duduk sendiri. Menerawang masa lalu dan masa depan. Yang tidak pasti adalah masa depanku. Hingga kini penggambaran surga dan neraka belum juga tampak. Kapan? Aku juga tidak tahu. Benarkah saat ini neraka? Atau malah surga? Frustasi sekali dibuatnya. Masa laluku pedih. Tidak usah diingat. Mario adalah cermin yang paling tepat untuk diriku. Tak terbayang sama sekali jika aku akan merasakan lapar dan haus seperti yang kualami saat ini lantaran tak makan dan tak minum. Masa laluku mengabadikan kepedihanku. Masa depanku adalah bayangan semu yang jemu.

Burung-burung terbang ke arah barat mengikuti kerdipan mata sang mentari. Udara berubah sedikit sejuk. Ayah Mario pulang. Wajahnya semakin pilu. Ia berjalan tidak menggunakan kakinya lagi, tapi menyeret lututnya. Wajahnya menghadap ke bawah.    Tatapannya kosong. Bahkan ia tidak menyapaku. Aku curiga. Aku bisa menebak, pasti karena ia sedih melihat derita istrinya atau karena Mario. Kali ini aku biarkan ia sendiri. Aku tidak mau mengganggu dirinya.

Hari semakin larut. Seperti biasa, tidak ada yang singgah atau bahkan lewat pemukiman terpencil seperti tempatku ini. Lampu juga hanya satu. Itu pun hidup-mati-hidup-mati. Tidak ada yang peduli. Orang-orang saja tidak ada yang peduli, apalagi aparat. Untuk apa?

Tidak bisa tidur, aku mondar-mandir di depan gubuk tua pojokan. Sesekali melihat burung gagak yang hinggap di atas rumah dekat sini. Pertanda kah? Akankah dua sosok itu akan menghampiriku? Perasaanku tidak bisa senang, tidak bisa berdebar. Rasaku hampa saja. Tiba-tiba terlihat pak Syam membawa obor dari pintu gerbang pemukiman. Banyak orang-orang bergumul di belakangnya. Ada istri ayahnya Mario di belakang pak Syam. Beberapa orang ada yang membawa sebuah balok panjang yang ditutupi kain hijau.

Aku menyaksikan prosesi itu dengan seksama hingga tuntas. Inikah saatnya aku pulang? Aku sudah lama menunggu ini. Pak Syam berkata persis kepada mendiang itu tentang dua sosok dan lainnya. Aku tunggu hingga prosesinya selesai. Ketika orang-orang bubar, aku memberanikan diriku untuk lebih mendekat. Sampailah aku di depan mukim baru itu. “Assalamualaikum.” Sapaku. Pintunya terbuka, “Waalaikumsalam.” Jawab seorang pemuda. Ternyata Mario.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun