Semua penting. Teori dan praktik ada dan eksistensinya dipertaruhkan oleh sebuah hasil. Masyarakat negeri ini masih beranggapan bahwa teori bukanlah sesuatu yang penting. Tapi pembuktian sebuah kesimpulan tersebut perlu ditanyakan.
Pada kondisi tertentu memang penyataan di atas ada benarnya. Karena tujuan sebuah hasil hanya dapat dicapai dengan kerja dan tindakan. Sebuah teori dan konsep tanpa tindakan tidak akan dapat mengubah sesuatu. Kadang kala sebuah tindakan harus segera diputuskan karena tidak ada waktu lagi. Berteori dan melulu membuat konsep justru akan membuat sebuah orientasi tergantung. Apalagi jika sudah banyak orang yang menunggu hasil sebuah tindakan atau kegiatan.
Berpikir, menyusun gagasan, konsep, dan teori, hingga merumuskan strategi dan taktik untuk aksi memang butuh waktu yang tidak sedikit, Karenanya orang sering malas berpikir dan berteori. Hal ini menjadi penyakit di dalam masyarakat kita. Bagi masyarakat, tindakan berpikir tampaknya semakin mahal. Memformat pemikiran dan teori tentang suatu kegiatan dan proses kehidupan yang sebenarnya sangat berkaitan dengan nasib orang banyak, dipandang tidak perlu menggunakan pemikiran yang menyeluruh dan mendalam. Inilah ciri khas dari masyarakat yang kian pragmatis, yang membuat orang hanya disibukkan dengan kerja-kerja dan tindakan yang seakan-terburu-buru, tetapi hasilnya sering tidak bermakna atau bahkan justru menghasilkan hubungan kontradiktif (penuh masalah) antara manusia satu dengan manusia lainnya. (Nurani Soyomukti 2010:12-13).
Menurut Max Horkheimer (2005:177), “Pragmatisme merefleksikan suatu masyarakat yang tak punya waktu untuk mengenang dan merenung.” Imbasnya kita bisa melihat keadaan kekinian. Pendapat Nurani Soyomukti (2010:13) terkait dampak pragmatisme, “Orang malas berpikir dan selalu terbawa pada tindakan-tindakan yang serba cepat (instan). Pada ranah pengambilan kebijakan, hal ini menghasilkan ‘kebijakan cepat saji’ .....” Kebijakan cepat saji juga justru dapat berdampak tidak baik, bukan malah menyelesaikan tapi memperparah keadaan.
Dalam dunia pendidikan, pragmatisme akan berdampak pada tambal-sulam program satu dengan yang lainnya. Bukti nyatanya adalah program K13 (kurikulum 2013) yang tidak mencapai satu tahun sudah dicabut karena keraguan menteri pendidikan yang baru atas program K13 yang disusun oleh menteri pendidikan sebelumnya. Berapa juta atau milyar yang telah terbuang sia-sia karena penyusunan program yang ‘kurang komplit’.
Itu adalah contoh nyata yang jika kebijakan instan ‘dipoles’ justru akan menjadi imaji-imaji yang indah. Bayangan tentang hasil sedemikian rupa menggiurkan bahkan terkadang hiperbolik. Kebijakan yang dimulai dari konsep dan teori yang salah, mengakibatkan praktik yang tidak hanya salah, tapi juga dapat berdampak pada nasib banyak orang.
Pendidikan adalah jalur efektif untuk mengubah mindset masyarakat yang sudah ‘menjamur’ seperti ini. Pendidikan adalah proses untuk memberikan manusia berbagai macam situasi yang bertujuan memberdayakan diri (Nurani Soyomukti, 2010:27). Sistem pendidikan yang tepat dapat menghasilkan manusia yang berkualitas pula. Cara memperbaiki manusianya dengan mengevaluasi pendidikan yang telah ada.
Teori sangat berkaitan erat dengan konsep.”Konsep-konsep itu sendiri merupakan hubungan dari kata-kata yang menjelaskan suatu persoalan atas kenyataan. Kata-kata adalah simbol berupa bunyi dan aksara ketika kita merujuk pada suatu benda atau realitas yang ada di dunia. Sementara konsep merupakan suatu penjelasan yang lebih luas karena menghubungkan keterkaitan antara dua atau lebih dari keberadaan benda atau gejala (peristiwa), Karenanya, teori merujuk pada suatu hubungan antara konsep-konsep yang lebih bisa menjelaskan peristiwa atau suatu proses tertentu dari kehidupan ini (Nurani Soyomukti, 2010:19).
Sebelum beranjak ke praktik, seharusnya kita mencari teori-teori yang berisikan konsep-konsep. Seperti kutipan di atas, konsep-konsep berisikan kata-kata yang mengilustrasikan sebuah gejala atau keadaan. Sehingga kemungkinan praktik sesuai dengan harapan adalah tinggi.
Dalam implementasinya, kita bisa mengumpulkan teori yang berkaitan dengan sebuah orientasi tertentu. Teori-teori tersebut dirapatkan supaya dapat menjadi konsep yang menginterpretasikan sebuah gejala atau keadaan yang akan dihadapi bersama. Dengan begitu praktiknya bukanlah praktik yang didasari atas ketergesa-gesaan karena ambisi sebuah hasil. Hasil praktiknya juga akan menjadi teori baru hasil dari konsep yang telah dirapatkan.
Tidak terasa masyarakat kita telah mengidam ‘penyakit’ pragmatisme sejak lama. Indikatornya adalah angka literasi yang rendah, tingginya pengangguran, banyaknya provider luar negeri yang semakin kaya karena perilaku konsumtif masyarakat negeri ini, dan keadaan politik saat ini. Tidak adakah yang salah? Dari uraian di atas, apa yang seharusnya kita lakukan?