[caption caption="diambli dari : dobela023.blogspot.com"][/caption]
Mamak semakin menggigil kedinginan. Kejadian ini persis seperti membuka kenangan lama yang berakibat traumatik pada aku. 7 Tahun yang lalu sebelum ayah meninggalkan kami, ayah juga menggigil seperti ini. Adik-adikku masih terlelap dalam tidurnya.
Sembari menunggu air matang, aku mondar-mandir ke kamar mamak melihat keadaan mamak yang semakin menggigil, semakin membuatku khawatir, kemudian ke dapur menunggu air masak. Seandainya tidak perlulah aku membakar kayu bakar untuk memasak air seperti ini, cukup menekan tombol berwarna merah lalu mengucur air hangat untuk membuat teh buat mamak. Aku yakin kalau ayah masih ada disini, kami akan banyak uang seperti pak Komar tetangga kami. Mamak bisa dirawat di rumah sakit.. Suara batin yang memberontak ini mampu menggetarkan dinding-dinding hati sehingga air mata pun tak kuasa menetes.
“Mamak! Mamak! Mamak kenapa Mak?!” Aku segera berlari ke kamar mamak. Jelas itu adalah teriakan Ruw dan Ra dua adik kembarku. Ruw menggoncang-goncang tubuh mamak di samping kasur mamak berhadapan pas dengan wajah mamak, Ra naik kasur memeluk mamaknya yang diam membeku dan sudah tidak bernapas lagi. Adik-adikku terbangun oleh malaikat Izrail untuk menyaksikan mamaknya yang disayanginya meninggal. Kesedihanku akhirnya bersuara, aku benar-benar menangis, menangisi pedihnya kenyataan hidup yang harus aku alami, terlebih lagi kedua adikku yang baru berusia 6 tahun.
Malam gerhana di bulan Mei itu sangat sunyi. Tidak ada kelelawar terbang, angin yang menampar-nampar dinding rumah papan, tikus yang lewat, bintang-bintang, bahkan semut. Tampaknya semua makhluk dan semesta juga turut berduka bagi kami atas perginya orang yang paling kami sayangi.
Orang-orang kampung ikut melayat mengantar jasad mamak ke kuburan. Ruw dan Ra menggandeng tanganku dengan kuat, Ruw sebelah kiri, Ra sebelah kanan. Kami berada tepat di liang kubur mamak. Seseorang melakukan talkin, “bu Rukiyah, nanti kalau kalau Malaikat mungkar Nangkir menghampiri bu Rukiyah, ditanya ‘Man Robbuka?’ Jawab ‘Robbii Allah, Tuhan saya Allah.” Dan petunjuk-petunjuk lainnya supaya mamak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan kubur. Rok yang kupakai ditarik-tarik Ruw lalu bibirnya didekatkannya ke telingaku “Apa yang dia lakukan Ni?”.
“Nanti uni jelaskan di rumah.” Jawabku.
“Apakah mamak lupa semuanya?” Sebelum aku beranjak berdiri lagi, tangan mungilnya menahan bahuku. Aku menggeleng untuk menjawab pertanyaannya.
“Uni, mamak tidak mungkin lupa. Mamak guru TPA di kampung.” Katanya lagi. Jari telunjukku kutegakkan didepan bibirku menandakan ‘jangan banyak bicara! Diam!”
“Uni... Uni.” Dia menarik-narik rokku, tapi tidak aku pedulikan.
Ruw dan Ra memandangi apa yang terjadi di depannya sebelum mamaknya di pendam tanah hingga orang-orang meninggalkan kuburan mamaknya. “Ni, kenapa mamak harus diajari untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan malaikat ni?” Sedikit tertegun mendengar pertanyaan adikku, Ruw.
“Benar, apa mamak sebodoh itu? Bukannya mamak yang mengajari kami mengaji setiap sore?” Imbuh adik bungsuku Ra. “Memang seharusnya begitu.” Jawabku. “Tak usah lah kalian menarik-narik rokku seperti tadi, disaat kita harusnya berdoa untuk mamak.” Kalimat keduaku terucap lebih sensi.
“Apa yang akan dilakukan malaikat jika mamak tidak bisa menjawab pertanyaannya?”
“Apa sekarang mamak dalam bahaya? Apa malaikat itu mau menghukum mamak?”
“Kami mau pergi kesana lagi kak, kami mau menyelamatkan mamak!” Teriak Ruw. Mereka mendekati pintu rumah, tak kusangka mereka benar-benar serius.
“Kalau kalian pergi, kakak juga akan mati!” Bentakku. Adik kembarku diam, tak jadilah mereka pergi, lalu mereka mendekat.
“Kalau uni mati, aku dan Ruw ikut. Kami mau bilang sama Allah, kenapa Allah mendadak lupa? Kenapa Allah bertanya pada mamak? Allah sudah lihat mamak mengaji dan shalat, kenapa bertanya lagi?” Kata Ra lirih dengan sedikit bergetar. Mereka menangis, tak kuasa aku menahan sedih yang menimpa adik kembarku yang lucu tapi malang itu.
Aku gendong keduanya, aku menemani mereka tidur. Isak tangis berlarut, hingga tak terdengar lagi. Mereka sudah tidur. Aku memandangi wajah mereka, aku benar-benar kasihan kepada kedua adikku itu. Yaa Allah, benar kata mereka, kenapa Engkau lupa bahwa ayah dan mamak kami selalu berdoa untuk kebaikan mereka, supaya mereka terjaga, tapi kenapa engkau lupa pernah mendengar doa-doa mereka?. Ada sedikit senyum di bibir mereka, mungkin mereka bermimpi bertemu dengan mamak dan ayah di sana. Aku pejamkan mataku, berharap aku berada dalam mimpi yang sama dengan kedua adikku.
TAMAT
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H