"Masalah Pertanian, Garuda Sudah tidak Dapat Membusungkan Dadanya Lagi"
[caption caption="Kegiatan Kemah Bhakti oleh Pomosda sebagai wujud nyata pemberdayaan masyarakat"][/caption]
Kita ketahui bersama bahwa Indonesia sempat menjadi macan asia dan sebagai lumbung pangan Internasional berpuluh-puluh tahun yang lalu. Ironisnya sekarang negara kita adalah pengimpor hasil pertanian gila-gilaan. Nasib petani hingga d awal tahun 2016 tidak kunjung membaik, justru semakin penuh tanda tanya ?.
Indonesia adalah negara agraris, semua setuju lah akan hal itu, bukan? Tapi fakta berbicara lain, pertanian sring dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang saat ini. “Aku tidak mau menjadi petani, karena petani adalah sengsara.” Tidak hanya kutipan itu, masih ada lagi, “Nak, jangan menjadi petani seperti bapak ya, kamu harus bisa melebihi bapak, jadilah dosen, profesor, atau dokter saja, kamu akan hidup enak.” Kutipan terakhir menjadi doktrin bagi generasi belakangan untuk tidak menyentuh dunia pertanian sama sekali.
Padahal pertanian adalah bidang yang sangat potensial untuk dikembangkan. Sebagai negara yang subur (katanya), lahan yang luas, negara dua musim, tersinari matahari yang cukup, dan masih kaya akan oksigen (katanya juga) seharusnya memanfaatkan apa yang Tuhan beri kepada kita sebagai umat manusia yang di bumi.
Banyak petani-petani yang mengeluh. Monopoli pemerintah, harga, pajak menjadi batu sandungan yang besar bagi para petani. Seringkali pemerintah mem buka kran impor komoditas tertentu disaat petani hampir panen. Ketidak sabaran pemerintah ini akhirnya membuat petani-petani komoditas yang tergolong banyak ini mengalami kerugian, seperti komoditas padi, jagung, dan tebu.
Pihak terkait belum melakukan usaha untuk mengangkat petani-petani ulung. Banyak petani-petani yang dapat menciptakan benih unggul, tapi mereka tidak berani mengungkap karena takut akan dijarah atau dibui. Pemberdayaan petani hanyalah pencitraan belaka. Kata pemberdayaan petani justru sering muncul ketika akan diselenggarakan Pilkada, Pilpres, dan Pil-Pil yang lain (pilbogem, piljotos, pilgoblog, pilkenthuk, dll).
Dukungan berupa infrastruktur pertanian sangat minim. Seperti alat tepat guna untuk memudahkan petani juga masih belum terdukung secara nyata. Saya sering bersinggungan dengan petani-petani di kawasan regional saya, maupun daerah nusantara lainnya, mereka mengeluhkan tentang tenaga kerja. Mengapa tenaga kerja? Para petani mengalami dilematis yang luar biasa. “Saya punya lahan, tapi tidak mungkinsaya olah sendiri, karena pekerjaan utama saya adalah sebagai guru. Saya harus menyewa buruh tani, tapi cost buruh tani sekarang murah-murah mahal.”
[caption caption="Benih padi muda yang dikembangkan oleh tim BKT Pomosda"]
Murah-murah mahal maksudnya adalah kesepakatan diawal berkaitan dengan gaji akan berbeda ketika di lapangan. Buruh tani cenderung memeras para petani. Awal kesepakatan memang cenderung murah, tapi ketika real-nya justru banyak menjadi beban produksi bagi petani. Indeks profesionalitas tenaga kerja masih sangat minim di Indonesia. Para petani atau pemilik lahan sebenarnya bisa melakukannya sendiri tanpa harus dengan buruh tani, dan sebenarnya lebih bagus ditangani sendiri daripada oleh buruh tani, tapi bagaimana dengan mata pencaharian utama pemilik lahan?
Selain ketenagakerjaan, petani atau pemilik lahan sudah tertipu oleh iming-iming pemerintah beberapa tahun silam dengan adanya subsidi pupuk kmia. Dengan iming-iming hasil pertanian yang baik dan pasar yang baik akhirnya petani terjerumus kedalamnya. Sepuluh tahun mendatang tanah lahannya akan rusak, tidak gembur, dan banyak terserang hama ataupun gulma.
Perilaku petani telah tersusupi. Perilaku petani yang mengejar laba dari hasil pertanian akan justru menjatuhkannya sendiri seiring penggunaan pupuk kimia. Pemerintah pun juga belum segera respon akan hal ini. Para petani tidak tahu bagaimana mengubah perilaku bertaninya, maka butuh pendamping, sayangnya yang berkewajiban mendampingi tidak cepat sadar justru leha-leha dan melakukan pencitraan dengan petani sebagai alatnya.
Beberapa daerah sebenarnya sudah memiliki perilaku bertani yang baik dan organik, tapi kendala mereka adalah dalam hal marketting. Mereka bingung mencari pasar dengan pangsa pasar yang kian menekik leher. Seyogyanya pihak terkait segera merespon dan respek serta peduli untuk mengatasi masalah-masalah mereka. Ekstremnya, janganlah pemerintah buru-buru melakukan impor.
“Mari kenyang bersama-sama dan lapar bersama-sama, janganlah kenyang sebelum yang lapar menjadi kenyang.”
Wahai presiden Jokowi, dengarlah keluhan petani-petanimu yang memberi anda makan. Wahai menteri pertanian, bacalah satu artikel ini mewakili sejuta petani Indonesia atas semua cerita fakta para petani. Demikian tulisan ini untuk anda yang peduli dengan generasi masa depan dan perut banyak orang. Demikian wassalam! kakakhahu.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H