Mohon tunggu...
Humaniora

Kisah Sang Pawang Raksasa Jalanan

5 Desember 2018   23:47 Diperbarui: 5 Desember 2018   23:51 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Besar dan ditakuti orang seperti Raksasa dalam legenda. Sering pula menjadi penjemput ajal manusia. Bukan, bukan malaikat maut. Melainkan sebuah raksasa jalanan, yaitu truk trailer.

Kala itu masih jam 9 pagi. Saya menelusuri sepanjang Jalan Bandengan Utara, Jakarta Barat, yang menyuguhkan sebuah kehidupan yang keras. Kehidupan para kuli panggul dan supir truk trailer.

Lalu, saya berhenti di depan sebuah gudang yang cukup besar bernomor 333. Disana ada 2 truk trailer dengan kontainer dan 1 truk. Saat itu memang sedang ada aktifitas muat barang untuk pengiriman. Ada yang ditaruh ke dalam truk oleh para kuli, ada yang dimasukkan ke dalam kontainer dengan forklift. Disaat forklift bekerja keras mengangkat barang ke dalam kontainer, para kuli juga tak kalah kerasnya bekerja mengangkut gundukan pipa-pipa besi secara estafet ke dalam truk. Badan mereka mengilap terkena matahari, legam, dan berotot. Tidak, mereka tidak besar berotot seperti binaragawan. Mereka kerempeng tapi berotot sekal.

Lalu perhatian saya tertarik pada seorang lelaki paruh baya yang berdiri dan teriak-teriak ditelepon pertanda marah. Terdengar makian yang mendengarnya pun akan langsung menoleh karena seperti orang sedang berantem dengan istri yang kepergok selingkuh. Saya taksir umurnya sekitar 65 tahun. Rambutnya sudah cukup dominan memutih. Mukanya menampakkan banyak kerutan pertanda umur sudah semakin senja. Saya mencoba menyapanya dengan ragu usai ia menutup telepon genggamnya, lalu dengan segan dan perlahan saya mendekatinya untuk berkenalan, bapak itu bernama Pak Siswo. Seorang kepala gudang.

Saya ngobrol sebentar dengan Pak Siswo terkait dengan tujuan saya berkunjung. "Kebetulan mas, lagi ada 2 supir. Noh ada disana mereka. Yang pake baju merah dan biru," ujar Pak Siswo sambil menunjuk ke warung kopi depan gudang. Disana ada 5 orang lelaki yang sedang duduk menyeruput kopi hitam. Minuman favorit mereka para penggiat kehidupan keras.

Segera saya menuju ke warung kopi dan memesan satu gelas kopi hitam. Saya menyapa lelaki berbaju merah yang sedang asyik menghisap rokok kreteknya. Namanya Sukardi yang sudah menginjak umur 35 tahun. Matanya terlihat merah, kantung matanya sedikit menghitam. Menunjukkan kepada orang-orang bahwa ia kurang tidur. Ternyata ia baru sampai di Jakarta tadi subuh. Ia berasal dari Indramayu. Kardi adalah seorang supir truk trailer yang sudah menekuni pekerjaannya selama 5 tahun.

Keluarga

Bapak dari dua anak yang masih kecil-kecil ini sempat ragu untuk menjadi supir trailer karena masalah keluarga. Ia mengatakan rasanya enggan untuk meninggalkan anak yang masih kecil dan butuh perhatian dari seorang bapak untuk berkembang. Tapi karena masalah finansial yang mendesak, maka anak-anaknya dituntut untuk pintar dan mengerti. Istri Mas Kardi sengaja tidak diberi pekerjaan. Katanya, biar fokus ngasih perhatian ke anak.

"Cukup saya aja yang kerja keras. Ibunya ya harus fokus perhatian ke anak-anak aja ama urus rumah," ucap Kardi sehabis menyeruput kopi hitamnya.

Yang berat hati untuk menjadi supir itu ternyata hanya Kardi. "Keluarga sih setuju aja sebenernya. Gak ngerasa keberatan," tambahnya. Meskipun menjadi supir truk trailer mempertaruhkan nyawa, keluarga Kardi seolah tak peduli. Mereka percaya bahwa takdir manusia sudah dipegang Tuhan.

Penghasilan Halal

Para supir truk trailer ini tidak memiliki gaji pokok. Mereka hanya diberikan komisi dari kontainer yang mereka angkut. Mas Kardi sendiri diberikan minimal 200 ribu rupiah per kontainer yang dia bawa. Terkadang kalau ada rejeki, ada lebihan dari uang bensin yang diberikan. "Syukur alhamdulillah kadang duit dari beli solar ada lebihan sekitar 20 ribu sampe 50 ribu, Mas," ujarnya

Dan perhari selama 24 jam, Mas Kardi maksimal hanya bisa membawa 1 kontainer. Karena rute yang ia tempuh ini dapat terbilang cukup jauh. "Saya biasanya rutenya itu dari Cirebon, Sumedang, Indramayu dan Jakarta," tambahnya.

Tetapi, tidak setiap hari ada pengiriman. Ekspedisinya juga pernah sepi. Pernah Kardi dalam seminggu hanya menarik 3 kali karena saking sepinya. Hal ini selain dari sepi orderan, juga karena supir truk trailer itu tidak hanya Kardi seorang. Di ekspedisinya, ada sekitar 5 supir truk trailer.

Meski terkadang suka sepi orderan, Kardi tidak pernah mau mengangkut barang gelap. Selain karena dosa karena membawa barang selundupan, Kardi juga takut terjerat hukum. "Wah, saya mah gak berani mas angkut barang BM. Ruginya berlipat-lipat daripada keuntungan yang didapet. Udah rugi pahala, rugi waktu dan nasib juga kalo sampe ketangkep," jelasnya.

"Kalo dulu, masih banyak yang kaya gitu. Regulasinya masih lemah. Dan polisi juga banyak yang bisa disogok. Kalo mainan barang BM kaya gitu, biasanya dari ekspedisinya sih. Dulu ekspedisi masih banyak banget main nakal. Kebanyakan bohong dan dosanya di ekspedisi jaman dulu," imbuhnya menambahkan penjelasan sebelumnya.

Kardi tidak merasa terbebani dengan pekerjaannya ini. Menurutnya pekerjaan yang ia jalani saat ini seimbang dengan apa yang ia korbankan. "Toh, saya nyari rezeki yang halal. Kalo mau enak, ya dijalani sepenuh hati. Inget keluarga aja supaya tetep semangat. Hehehe," ucap Kardi sembari cengengesan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun