Makhluk tanpa wajah ini biasanya muncul di tempat-tempat sunyi dan gelap, terutama malam hari, di mana mereka merasa aman dari manusia. Namun, tengah malam mereka justru akan berkeliaran untuk menakut-nakuti manusia.
Menurut beberapa kesaksian, hantu ini sering menyamar menjadi pria atau wanita yang sedang menangis atau menutupi muka dengan kedua tangan. Ketika ada manusia yang mendekat, akan dikagetkan dengan wajahnya yang rata. Terkadang, awalnya mereka memiliki wajah. Lalu, selang beberapa menit kemudian, ketika mereka menyingkap tangan dari wajah, tiba-tiba terbentuklah wajah rata.
Sekarang aku sedang berhadapan dengan kengerian itu. Jangan-jangan penjual sate yang sekarang hanya berjarak beberapa langkah dariku itu adalah hantu tanpa wajah. Bulu roma merinding hebat membayangkan jika tiba-tiba dia menoleh ke arahku dan terlihat wajahnya yang hanya kulit datar tanpa organ apapun.
Aku lirik jam tangan. Ternyata sudah lewat tengah malam. Udara terasa semakin dingin karena angin yang berhembus semilir telah bercampur bulir-bulir halus uap air. Asap pembakaran sate masih mengepul-ngepul tebal dan menyebar ke berbagai penjuru mengikuti arah angin.
Akhirnya, dari pada malu pada istri, aku putuskan memberanikan hati untuk terus mendekat. Sesaat sebelum mengayunkan langkah, kulihat kepulan asap pembakaran sate terbawa angin ke arahku, kemudian menerpa wajah. Aku urung melangkah.
Aku hirup asap itu. Aneh, yang tercium bukan bau pembakaran daging sate yang memancing selera, melainkan aroma wangi kembang. Aku coba hirup lebih banyak, tetap sama. Aroma wangi kembang menusuk indra penciuman semakin kuat. Mistis.
Aku tersurut beberapa langkah ke belakang. Penjual sate masih tidak bereaksi apa-apa. Masih terus mengipasi sate. Asap semakin tebal mengepul ke arahku. Namun, tiba-tiba aroma asap itu berubah menjadi sangat busuk. Seperti bau bangkai, tapi jauh lebih busuk. Memualkan perut. Spontan aku menutup hidung.
Kali ini, tanpa pikir panjang, aku langsung berbalik arah dan berlari secepat mungkin ke mobil. Buru-buru kunaiki mobil. Istri yang dari tadi sibuk menekuri hp, terkejut. Karena aku tiba-tiba sudah kembali duduk di sebelahnya dengan nafas tersengal-sengal.
"Eh, kenapa, Yah? Apa kata penjual sate itu?"
"Nanti aja bicaranya, Bun. Ayo cepat jalan. Cepat, Bun! Segera tinggalkan tempat ini!"
Istri tidak bertanya-tanya lagi. Dia langsung tancap gas. Ketika mobil melewati gerobak, sekilas aku masih sempat melirik ke penjual sate. Diapun menoleh ke arah mobil kami. Darahku berdesir. Namun, wajahnya tetap tidak terlihat. Karena bias cahaya petromak ke wajahnya terhalangi oleh topi capingnya yang lebar.