Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Auditor - PNS

PNS yang hobi olahraga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mafia Bola

21 Oktober 2022   12:47 Diperbarui: 21 Oktober 2022   12:51 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Satu mobil Innova baru besok pagi akan kami antar ke rumah Bapak jika Bapak bersedia memenuhi permintaan kami. Gimana, Pak?" 

Pak Darso diam. Bimbang. Tawaran sebuah mobil Innova baru jelas luar biasa untuk hidupnya yang sederhana. Jangankan punya Innova, motor baru pun tak mampu ia beli saat ini. 

Apa yang diminta penelpon tak dikenal ini sebenarnya mudah, tapi berat untuk dilakukan. Ia diminta untuk membujuk putranya untuk tidak bermain ngotot malam nanti. 

Ya, nanti malam laga final. Putranya akan jadi salah satu pemain andalan untuk meraih kemenangan. Sepanjang turnamen sang putra memang bermain sangat luar biasa. Menjadi pilar dan menginspirasi kemengan-kemenangan impresif timnya sejak pertandingan pertama. Publik pun mengelu-elukan, putranya digadang-gadang sebagai calon bintang masa depan. 

"Apa mungkin putraku mau diminta untuk tidak ngotot supaya timnya kalah?" batinnya. 

Pak Darso benar-benar bimbang. Tapi, Innova baru sangat menggiurkan. Kapan lagi ada kesempatan punya mobil baru. Istri dan anak-anaknya pasti girang luar biasa. 

"Serius saya akan dikasih Innova baru?" Pak Darso mulai terpengaruh, ia coba memastikan. 

"Serius, Pak. Jika perlu sekarang juga kami utus orang untuk mengantar uang cash 100 juta ke rumah Bapak, sebagai tanda keseriusan kami." Penelpon itu coba meyakinkan. 

"Apa hanya anak saya saja yang kalian minta?" 

"Tidak Pak, kami juga menghubungi orang tua dua pemain lain. Setidaknya satu pilar tiap lini kami minta untuk tidak bermain ngotot." 

"Mereka juga dijanjikan mobil?" 

"Iya, Pak. Tapi, kalau mau diganti yang lain juga boleh. Bisa diganti dengan apa saja. Apa Bapak mau uang saja? Kami akan penuhi." 

"Mmm .... boleh saya tau nama pemain lain yang juga akan diminta mengalah? Saya akan hubungi dulu orang tua mereka. Saya bersedia membujuk anak saya kalau mereka juga mau." 

"Oh, mereka sudah duluan bersedia kok, Pak. Silakan Bapak tanya. Saya kirim nomor hp mereka." 

Pak Darso pun menghubungi mereka. 

Benar ternyata. Mereka telah lebih dahulu merayu anak mereka untuk menerima tawaran itu. 

Alasan mereka, kapan lagi bisa dapat uang banyak dari sepak bola. Karir anak-anak mereka ke depan belum tentu cemerlang. Banyak pemain yang bagus ketika junior, tapi kemudian melempem di usia senior. 

Bisa juga mereka cedera dan karir tiba-tiba berakhir sebelum dapat apa-apa dari sepak bola. Jadi, tak ada salahnya kalau sekarang bisa dapat uang banyak. Toh selama ini juga tak sedikit pengorbanan dan biaya yang sudah dikeluarkan agar anak-anak mereka nisa berlatih sepak bola. 

Selain itu, menurut mereka, persekongkolan ini tidak akan ketahuan. Karena yang menjanjikan uang itu organisasi mafia bola internasional yang memiliki kaki tangan di negara-negara gila bola. Mereka bekerja rapi dan terorganisir. Kerja mereka mengatur skor tidak pernah terendus, apalagi ketahuan. Jadi, anak-anak mereka tidak akan dicurigai. Apalagi dalam setiap kekalahan biasanya pasti pelatih yang selalu dipersalahkan publik. Karir anak-anak mereka akan tetap aman. 

Dengan yakin, Pak Darso segera menelpon anaknya. 

"Nak, nanti malam gak usah bermain ngotot, ya?" 

"Loh, kenapa, Pak? Kami ingin juara. Tinggal selangkah lagi." 

"Ada yang menjanjikan ngasih Bapak uang 500 juta, Nak. Syaratnya cuma itu, nanti malam Kau gak usah ngotot mainnya." 

"Ah, aku gak mau, Pak." 

"Lakukan saja, Nak. Bayangkan, dengan uang sebanyak itu rumah kita bisa direnovasi. Adik-adikmu bisa beli motor. Kau sendiri juga bisa beli motor sport idamanmu. Ini juga tidak akan ketahuan. Mereka profesional, senyap, tidak pernah terungkap. Lagi pula, dua temanmu yang lain juga bersedia, kok. Orang tua mereka sudah menerima DP." 

"Baik lah, Pak. Kalau gitu Bapak nego lagi sama mereka. Minta tambah." 

"Tambah? Berapa?" 

"Dua kali lipat. Jika mereka bersedia, aku akan lakukan." 

***** 

Pak Darso terpaku di depan tivi. Pertandingan baru saja usai. Tim yang dibela anaknya hancur lebur. Dia remas-remas kresek berisi uang ratusan juta di hadapannya. "Maafkan Bapak, Nak," batinnya. 

#fiksi

#cerpen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun