Mohon tunggu...
Arfi Zon
Arfi Zon Mohon Tunggu... Auditor - PNS

PNS yang hobi olahraga dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Banjir dan Longsor yang Selalu Berulang di Sumatera Barat

9 Februari 2016   22:05 Diperbarui: 10 Februari 2016   11:54 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal Februari 2016 ini kita dikejutkan oleh berita duka, Sumatera Barat dilanda bencana banjir dan tanah longsor. Ya, saya menyebut Sumatera Barat, karena bencana terjadi di banyak titik yang tersebar merata hampir di seluruh penjuru wilayah administrasi provinsi ini. Bencana banjir terjadi menyebar di beberapa Kabupaten/Kota, antara lain Kota Solok, Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Agam, Kabupaten Pasaman, dan Kabupaten Limapuluh Kota, dengan kondisi terparah terjadi di Kabupaten Solok Selatan. Banjir juga menyebabkan longsor pada beberapa titik yang mengakibatkan  terputusnya akses jalan darat antara Provinsi Sumatera Barat dengan Provinsi Riau, Jambi, dan Sumatera Utara.

Terkejut? Ya, meskipun sering terjadi tahun-tahun sebelumnya, setiap terjadi bencana tetap saja membuat kita terkejut. Terkejut yang bercampur dengan rasa sedih dan prihatin. Sedih, karena lagi-lagi saudara-saudara kita yang menjadi korban mengalami kerugian harta benda, bahkan sampai kehilangan sanak keluarga yang menjadi korban jiwa. Prihatin, karena bencana ini sebenarnya bukan kondisi yang tidak terprediksi, bahkan sebenarnya sudah sangat kita sadari akan terus terjadi.

Sadar? Ya, secara sederhana kita semua sadar, bahwa Sumbar adalah provinsi dengan kondisi topografis yang berbukit-bukit, memiliki curah hujan rata-rata tinggi, memiliki karakteristik daerah alirah sungai (DAS) yang pendek (jarak dari hulu – muara relatif pendek dibanding DAS-DAS di Kalimantan misalnya), yang menyebabkan aliran sungai berbelok-belok dan curam. Dengan kondisi yang demikian, Sumbar memang sangat rentan mengalami banjir bandang dan tanah longsor. Semua kondisi rentan yang sudah given pemberian Tuhan tersebut masih diperburuk oleh prilaku kita, manusia yang beraktivitas di dalamnya, yang tidak mengikuti kaedah-kaedah perlindungan (konservasi) tanah dan air. Misalnya, penataan ruang yang tidak tepat, dengan membuka areal yang seharusnya sebagai kawasan resapan air untuk permukiman/perkantoran/pertokoan/pertanian/perkebunan, membuang sampah sembarangan, membangun di sempadan (kiri-kanan) sunggai, illegal loging,  dan aktivitas tambang illegal sebagaimana yang akhir-akhir ini sangat marak terjadi. Dengan akumulasi kondisi given dan “prilaku negatif” kita tersebut, tentu bencana banjir dan longsor akan terus terjadi.

Dari sisi negara, pemerintah sebenarnya juga sudah menyadari kondisi kerentanan tersebut dan telah mengambil  tindakan. Melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.328/Menhut-II/2009 pemerintah telah menetapkan DAS Prioritas Dalam Rangka Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010 – 2014. Untuk wilayah Sumatera Barat ditetapkan 9 DAS Prioritas, yaitu DAS Kampar, Rokan, Indragiri, Antokan, Tarusan, Gasan Gadang, Harau, Pasaman dan Batang Hari. Ditetapkannya ke 9 DAS yang seluruh/sebagiannya berada di wilayah administrasi Provinsi Sumbar tersebut sebagai DAS Prioritas, menunjukkan bahwa kondisinya memang mengkhawatirkan, sehingga perlu diprioritaskan penanganannya. Jika satu DAS ditetapkan sebagai DAS Prioritas, berarti kondis DAS tersebut telah kritis berdasarkan kriteria tertentu, antara lain, banyak lahan kritis/tidak ada tutupan vegetasi, sering terjadi banjir, sedimentasi tinggi, dan tekanan terhadap lahan yang juga tinggi (lebih lengkap lihat SK Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.346/Menhut-V/2005 tanggal 5 Oktober 2005).  

Kondisi DAS-DAS di Sumbar yang rentan bencana sudah sama-sama kita ketahui. Pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) juga sudah menetapkan kriteria. Forum-forum sebagai wadah komunikasi dan konsultasi bidang pengelolaan DAS bagi para pihak juga sudah banyak dibentuk, mulai dari tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Berbagai program/proyek multi sektor juga sudah dijalankan untuk merehabilitasi DAS. Baik yang sifatnya fisik seperti kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, reklamasi lahan bekas tambang, normalisasi aliran sungai, dan lain-lain, maupun yang sifatnya pemberdayaan dan pembangunan sikap mental masyarakat agar pro konservasi.  Namun, faktanya bencana masih terus terjadi dan dari tahun ke tahun kondisinya semakin memburuk. Lantas, apalagi yang salah? Apa lagi yang harus kita lakukan? Yang salah adalah, bahwa kita belum berbuat sepenuh hati dan belum sepenuhnya taat azas dalam memperlakukan sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup.

Oleh karena itu, sepertinya memang masih akan sulit bagi kita memitigasi bencana-bencana ini di masa-masa yang akan datang. Sebab, pemerintah masih terjebak dalam dilema antara melakukan perlindungan lingkungan hidup atau mengejar pendapatan asli daerah dengan mengeksploitasi  potensi sumber daya alam (SDA), namun akhirnya cenderung memilih untuk mengeksploitasinya. Sementara, dunia usaha (sektor kehutanan/perkebunan/pertambangan), sudah barang tentu selalu mencari celah untuk bisa mengeksploitasi SDA demi keuntungan besar dan seringkali abai terhadap aspek pelestarian. Sedangkan masyarakat, juga masih berkutat dengan pemikiran pragmatis bagaimana memperoleh sumber-sumber ekononomi untuk bertahan hidup, sehingga dapat dipahami jika mencari jalan pintas dengan ikut-ikutan mengeksploitasi SDA secara serampangan. Bukankah akumulasi kondisi tersebut yang menyebabkan terjadinya bencana ini?

Lantas, apakah kita harus pesimis, apatis, dan pasrah dengan kondisi ini? Memperbaiki kondisi lingkungan alam yang telah rusak, jelas tidak gampang dan butuh waktu yang lama. Pohon-pohon yang ditanam pada kegiatan rehabilitasi hutan atau reklamasi lahan bekas tambang jelas butuh waktu bertahun-tahun untuk tumbuh dan bisa berfungsi secara ekologis, itupun jika tingkat keberhasilannya tinggi. Merubah sikap mental masyarakat juga bukan perkara mudah, mungkin butuh waktu satu generasi. Tapi setidaknya, marilah tunjukkan komitmen kita untuk menuju arah perbaikan itu. Arah yang benar, yaitu arah yang pro konservasi. Pro konservasi bukan berarti SDA tidak boleh dimanfaatkan. Namun pemanfaatan tersebut haruslah benar-benar memperhitungkan daya dukung dan daya tampung sumber daya alam dan lingkungan itu sendiri bagi kehidupan kita, agar kelestariannya tetap terjaga untuk generasi yang akan datang.

Mulai sekarang, pemerintah daerah harus berketetapan hati untuk tidak lagi mengejar pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya dengan langkah-langkah yang membebani alam secara berlebihan. Upayakanlah seoptimal mungkin menggali potensi berbagai sektor pada masing-masing daerah. Kita bisa melihat contoh baik  dari apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Sawahlunto yang telah fokus menjadikan pariwisata sebagai sektor unggulan ekonomi daerahnya, dan sejauh ini menunjukkan hasil positif. Atau Kabupaten Pesisir Selatan, yang setelah juga mengalami bencana banjir dan longsor besar beberapa tahun lalu, saat ini juga terlihat berupaya serius memajukan sektor pariwisatanya, dan juga mulai memperlihatkan hasil yang menggembirakan.

Daerah-daerah lain tentunya juga punya sektor-sektor unggulan yang bisa diprioritaskan untuk dikelola dengan sepenuh hati agar bisa menjadi sumber-sumber ekonomi baru yang dapat menggerakkan ekonomi daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Meskipun barangkali tidak bisa secara instan menghasilkan pundi-pundi pendapatan bagi daerah seperti halnya jika mengekspoitasi alam. Tapi setidaknya pemerintah sudah berupaya melindungi keselamatan rakyatnya dan menghindari potensi kerugian materil dengan memperkecil kemungkinan mengalami bencana yang lebih dahsyat di kemudian hari. Bukankah itu sejatinya tugas pemerintah?

Saya yakin, bahwa Tuhan memberikan bentang alam Sumbar dengan karakteristiknya yang sedemikian rupa memang bukan untuk dieksploitasi.   Itu sunatullaah. Dan jika kita mengingkari Sunatullaah, maka bencana menjadi sebuah keniscayaan. Oleh karena itu, mari bangun Sumbar tanpa mengeksploitasi alam. Cukup sudah duka nestapa anak negeri. Jangan sampai banjir dan longsor selalu berulang di ranah nan elok ini.

Terakhir, mari kita renungkan kutipan anonim berikut ini,

“HUTAN HIJAU -- MATA AIR MENGALIR

HUTAN GUNDUL -- AIR MATA MENGALIR”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun