Sungguh bersyukur, sekitar sepuluh tahun yang lalu, saat masih berstatus bujang, saya bersama tim kerja dan seluruh warga sekolah bisa berproses membawa sekolah kami sampai level sekolah Adiwiyata nasional. Awalnya sekolah kami belum dikenal, dengan lingkungan sekolah yang tidak begitu luas, dan dengan segala keterbatasan yang ada, namun memberikan pengalaman hidup yang luar biasa. Sekolah swasta Katolik dengan dana yang terbatas, namun bisa mencapai level nasional, sangat kami syukuri.
Berawal dari mengikuti kegiatan Surabaya Eco School, dimana banyak terdapat kegiatan yang mengajak warga sekolah untuk mencintai lingkungan hidup di level sekolah. Ternyata, berbagai kegiatan yang kami ikuti sudah sinkron dengan persyaratan yang harus dipenuhi untuk menuju sekolah Adiwiyata level kota, provinsi, dan berlanjut ke level nasional.
Banyak hal yang bisa saya bawa sebagai bekal pengalaman hidup di masyarakat berkat mengikuti dan mengalami sendiri proses untuk menuju sekolah Adiwiyata sampai tingkat nasional. Unsur utama untuk menuju sekolah Adiwiyata terletak pada setiap individu dan warga sekolah untuk mau berubah dan mencitai lingkungan hidup di sekolah. Jika individu dan warga sekolah sudah kompak dan satu tujuan, maka unsur-unsur lainnya pasti mudah untuk dilaksanakan.
Untuk menjadikan sekolah menjadi sekolah yang berwawasan atau berbudaya lingkungan hidup, tidak sulit dan tidak mudah. Hanya dibutuhkan semangat dan kerja tim yang solid dan kompak, sesuai dengan keahlian masing-masing. Banyak hal yang sudah kami laksanakan untuk menciptakan sekolah yang berbudaya lingkungan hidup, antara lain: pemilahan sampah, penghematan listrik, penghematan air, penghijauan sekolah, pelatihan entrepreneurship berkaitan dengan lingkungan hidup, dll.
Sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang peduli lingkungan yang sehat, bersih serta lingkungan yang indah. Dengan adanya program adiwiyata diharapkan seluruh masyarakat di sekitar sekolah agar dapat menyadari bahwa lingkungan yang hijau adalah lingkungan yang sehat bagi kesehatan tubuh kita. Adiwiyata berasal dari 2 kata Sansekerta: Adi dan wiyata. Adi berati besar, agung, baik, ideal atau sempurna. Sedangkan Wiyata mempunyai arti tempat dimana seseorang mendapatkan ilmu pengetahuan, norma dan etika. Adiwiyata berarti tempat yang besar, agung, baik dan indah, dimana tempat itu digunakan oleh seseorang untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, norma, dan etika.
Adiwiyata adalah upaya membangun program atau wadah yang baik dan ideal untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan berbagai norma serta etika yang dapat menjadi dasar manusia menuju terciptanya kesejahteraan hidup untuk cita-cita pembangunan berkelanjutan. Adiwiyata merupakan nama program pendidikan lingkungan hidup. Secara umum tujuan Adiwiyata adalah membentuk sekolah peduli dan berbudaya lingkungan, yang mampu berpartisipasi dan melaksanakan upaya pelestarian lingkungan dan pembangunan berkelanjutan bagi kepentingan generasi sekarang maupun yang akan datang. Ciri khas Adiwiyata adalah dengan adanya program 5 R yaitu: Reduce (Mengurangi), Reuse (Menggunakan kembali), Recycle (Mendaur Ulang), Replace (Menggunakan kembali) dan Replant (Menanam Kembali).
Saat ini saya sudah pindah tugas di sekolah yang lain, namun banyak hal yang bisa saya bawa berdasarkan pengalaman mengikuti program Adiwiyata di sekolah. Saya bawa bekal pengalaman tersebut dalam hidup bermasyarakat secara umum, dan hidup berkeluarga secara khusus. Mari kita fokus pada Recycle, merupakan kegiatan mengolah kembali atau mendaur ulang. Pada prinsipnya, kegiatan ini dilakukan untuk memanfaatkan barang bekas dengan cara mengolah materi untuk digunakan lebih lanjut. Contohnya adalah memanfaatkan dan mengolah sampah organik untuk dijadikan pupuk kompos.
Kehidupan di rumah atau keluarga, sudah pasti berkaitan dengan menu dan makanan untuk sajian bagi keluarga. Mulai dari makanan yang biasa atau sederhana sampai dengan menu yang istimewa. Namun bagaimana jika makanan yang kita konsumsi di rumah harus tersisa atau tidak habis? Dalam hal ini memang kita harus bijak untuk menyikapinya. Adalah sikap yang kurang baik dan kurang bijak, jika harus membuang makanan, sementara di luar sana banyak saudara kita yang masih kekurangan. Sebagai contoh, masih terjadi pada masyarakat tergolong dalam ekonomi kelas bawah di Filipina, yang mengkonsumsi makanan hasil dari daur ulang makanan cepat saji, atau disebut dengan "Pag Pag", bisa dilihat dalam video youtube berikut.Miris sekali melihatnya, sementara kita membuang-buang makanan, namun ternyata makanan sisa masih di daur ulang untuk dikonsumsi kembali oleh mereka yang kekurangan. Disinilah diperlukan tindakan atau sikap yang bijak terhadap makanan, bagi kita yang diberikan berkat yang cukup. Ternyata masih banyak saudara-saudara kita yang masih belum bisa menikmati makanan seperti yang bisa dan biasa kita nikmati.
Tentu banyak hal yang bisa kita lakukan pada level keluarga, untuk setidaknya bersikap solider terhadap saudara-saudara kita yang kekurangan. Antara lain: menyiapkan makanan secukupnya, mau berbagi dengan tetangga, dan jika terpaksa sisa sebisa mungkin diolah kembali. Seperti biasa saya lakukan terhadap nasi sisa adalah tidak saya buang begitu saja. Nasi sisa tersebut, sebelum membusuk saya jemur sampai kering, dan jika sudah kering (bisa disebut dengan istilah "karak"), maka bisa dijadikan camilan dengan cara digoreng, atau bisa juga dijual setelah kering.
Hal lain yang bisa kita lakukan pada lingkup keluarga, jika terpaksa ada sisa makanan yang terpaksa harus dibuang adalah dengan menyiapkan keranjang Takakura di masing-masing rumah. Saya tidak akan membahas apa itu keranjang Takakura, namun tentu kita semua sudah familiar dengan istilah ini. Fungsi dari kerangjang Takakura adalah untuk mendaur ulang sampah organik atau sampah sisa makanan di level keluarga. Sehingga nantinya, hasil dari daur ulang sampah organik hasil dari sisa makanan, potongan sayur, nasi, dll dapat digunakan kembali untuk pupuk organik. Bisa digunakan untuk memupuk tanaman-tanaman yang ada di rumah kita.
Sehingga menurut hemat saya, perlu bagi setiap keluarga untuk menjadikan lingkungan rumahnya menjadi berbudaya lingkungan hidup. Dimulai dari hal-hal kecil (membuang sampah pada tempatnya, memilah sampah, mendaur ulang sampah, hemat air dan hemat energi). Sehingga rumah dan keluarga bisa menjadi sekolah pertama bagi anak untuk berlatih hidup dan melatih sikap peduli lingkungan yang sehat, bersih, indah, serta belajar untuk menghargai makanan.
Mari jadikan rumah dan keluarga kita sebagai teladan. Menjadikan rumah yang Adiwiyata, rumah yang besar, agung, baik dan indah. Sehingga rumah dan keluarga kita masing-masing menjadi sarana bagi anak-anak, tetangga dan masyarakat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, norma, dan etika. Adiwiyata bukanlah lomba, namun lebih mengarah kepada usaha untuk menerapkan perilaku dan budaya ramah lingkungan (ekologi).
Semoga.....Amin.
"Salam bumi pasti lestari"
Sidoarjo, 6 Desember 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H