Mohon tunggu...
Mr. aBc
Mr. aBc Mohon Tunggu... Guru - Salam Gloria

🔛🖋️📝🖋️Goresan artikel sederhana. Mencoba berjiwa dan bersemangat sebagai guru muda. Di Era New Normal. Proses mencari dan menjadi inspirasi✍️ Sahabat Literasi: SMPK Santo Mikael - Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ibu dan Bapak "Mengusir" Kami agar Bisa Hidup Mandiri

29 November 2020   00:31 Diperbarui: 28 April 2021   19:42 1531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bekal dan harta warisan yang diberikan oleh orang tua kepada kami adalah harta warisan yang tidak akan pernah habis, yaitu ilmu dan kesempatan untuk menuntut ilmu.

Ini Budi, ini ibu Budi, ini bapak Budi

Sahabat Kompasianer tentu masih ingat dengan kalimat: "Ini Budi, ini ibu Budi, ini bapak Budi." Kalimat tersebut terdapat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia tingkat Sekolah Dasar (SD) mulai tahun 1980 an. Bagi yang duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar (SD), antara tahun 1980-1990 an, kalimat tersebut pasti tidak asing lagi. Budi sekeluarga digunakan para guru SD untuk mengajari para muridnya membaca.

Ijinkan saya untuk memperkenalkan diri, nama akun Kompasiana saya adalah Mr.aBc. Pernah mendapat satu komentar indah pada salah satu artikel saya dari Kompasianer senior, (pemegang rekor MURI sebagai Numerolog pertama di Indonesia): bapak Rudi Gunawan. Beliau memberi komentar "Mr.aBc, nama yang unik dan menunjukkan pribadi yang rendah hati". Terima kasih pak, atas kunjungan, penguatan, dan motivasi bagi saya yang masih junior. Pepatah mengatakan "ada udang dibalik batu", tentu ada makna dari nama Mr.aBc. Itu adalah singkatan dari nama saya: Ag. Ari Budi Cahyanto.

Saya setuju dengan pendapat bahwa Mr.aBc adalah nama yang unik. Berikut beberapa alasan mengapa nama saya menjadi unik: pertama, saat masih kecil sampai dengan SD nama panggilan saya adalah "Budi". Kedua, pada saat SMP nama panggilan saya hanya dua kata "Ag". Ketiga, saat SMA teman-teman hanya memanggil saya dengan satu huruf saja "g" (dari 17 huruf nama lengkap saya). Terakhir, saat kuliah sampai hari ini, saya biasa dipanggil dengan nama Ari. Anggap saja Mr.aBc adalah nama beken, agar mudah diingat.

Ada rasa bangga pernah dipanggil dengan nama Budi, bahkan jika lewat di samping kelas 1 SD, saya sempatkan berhenti sejenak untuk mencuri dengar apakah nama saya masih sering disebut. Saya bangga terdapat kata Budi dalam nama lengkap saya, bangga karena anggota keluarga masih sering disebut ketika anak-anak kelas 1 SD sedang belajar membaca. Mungkin dahulu nama Budi dipilih karena mudah untuk diucap, tidak ada huruf "R" yang sulit untuk diucap oleh anak kecil. Sebab bisa jadi ketika harus belajar membaca dan mengucap huruf "R" akan menjadi "L".

Saya Budi, dimana ibu dan bapak Budi akan terus memanggil nama itu berulang kali, sampai si Budi kecil menjawab "dalem bu, dalem pak" (jawaban dalam bahasa Jawa halus/krama inggil), yang berarti "saya bu, saya pak". Si Budi kecil yang diajarkan sopan santun dan tata krama ketika dipanggil oleh orang tua, si Budi kecil yang diajarkan untuk menjawab dengan kata "yo/opo/hoe" ketika dipanggil oleh orang yang lebih tua.

Latihan hidup mandiri dan bertanggung jawab

Ibu dan bapak, keduanya adalah guru yang mengajar di SD. Si Budi kecil adalah anak pertama dari empat bersaudara (cowok, cewek, cowok, cewek). Sebagai anak sulung, tentu saya memiliki tugas untuk menjadi contoh bagi adik-adik. Sejak kecil, kami sudah dilatih oleh orang tua untuk hidup mandiri melalui pembagian tugas dan tanggung jawab, meskipun tergolong dalam hal yang kecil dan mudah. 

Tugas dan tanggung jawab tersebut rutin harus kami lakukan pada pagi hari, sebelum kami berangkat ke sekolah. Saya bertugas untuk menyapu lantai di dalam rumah, adik kedua bertugas untuk menyapu halaman rumah, adik ketiga bertugas untuk mengeluarkan 3 sepeda dan membersihkan sepatu bapak. Sedangkan adik keempat bertugas menemani ibu memasak di dapur.

Pagi hari, jam 05.00 kami semua sudah dibangunkan, dan harus bangun untuk memulai aktifitas. Saya masih ingat, jika sulit dibangunkan oleh ibu maka sudah pasti air bercampur dengan sabun colek Wings biru akan dioleskan di wajah saya. Sebab, biasanya ibu waktu pagi lebih dahulu mencuci baju-baju kami. Kini, berkat pengalaman mendapat tugas dan tanggung jawab semasa kecil dahulu, sangat berguna dan bermanfaat untuk masa kini. Ketika kami harus hidup mandiri, melakukan tugas-tugas juga secara mandiri.

Penggembala kambing

Sore hari, tanggung jawab yang ibu dan bapak berikan kepada si Budi, adik kedua dan adik ketiga adalah menggembalakan kambing ke sawah. Bukan Cuma satu atau dua ekor, tapi hampir sepuluh ekor kambing. Bahkan kambing-kambing peliharaan tersebut kami beri nama. Menjelang Magrib, kami harus segera membawa pulang kambing-kambing peliharaan kami.

Sungguh, pengalaman menjadi seorang penggembala menjadikan kami pribadi yang berani, sabar, rendah hati, berani malu. Sementara teman-teman lain bermain, kami harus menjadi penggembala di sawah (berbekal nasi dan radio National). Dahulu kami menjadi gembala kambing, kini kami menjadi penggembala para murid-murid di sekolah. 

Makan malam bersama (indahnya berbagi)

Selepas pulang sekolah, si Budi remaja biasanya ditawari ibu "kalau mau bobok siang boleh, tapi cukup 30 menit saja, setelah itu segera bantu-bantu bapak". Waduh, kalau bobok siang cuma sebentar malah tambah pusing, jawabku dalam hati.

Selain sebagai seorang guru, bapak juga memiliki kesibukan sebagai tukang kayu. Menemani beliau bekerja sungguh membuat bulu kuduk merinding. Melihat beliau bekerja saja, saya sudah lelah. Rutinitas yang bapak jalani: subuh sudah bangun dan mengerjakan pesanan (meja, kursi, jendela, pintu, dll), belum juga sarapan jam 07.00 sudah berangkat mengajar naik sepeda onthel, Siang, sepulang mengajar lalu makan, menjadi tukang kayu lagi. Sekitar jam 15.00, mencari rumput untuk kambing. Setelah itu, bekerja menjadi tukang kayu lagi sampai sekitar pukul 22.00/23.00 WIB. Beliau memang pekerja keras, kadang saat membantu bapak bekerja, saya bertanya dalam hati "kapan bapak lelah dan mengantuk, lalu istirahat"?

Kembali ke si Budi remaja, yang sepulang sekolah menyempatkan diri bersama teman-teman sebaya untuk mencari kayu bakar. Maklum waktu itu masih belum trend elpiji. Mencari kayu bakar, untuk digunakan ibu memasak makanan untuk kami sekeluarga. Kami sekeluarga selalu menyempatkan diri untuk makan malam bersama. 

Disinilah moment paling mengharukan dan nasehat ibu selalu teringat. Betapapun kami sudah lapar, ibu selalu meminta kami semua untuk bersabar dan menunggu bapak untuk makan malam bersama. Secara bergantian kami sekeluarga bertugas untuk memimpin doa sebelum makan. Dalam hal makanan, benar adanya bahwa ibu dan bapak rela lapar untuk melihat anak-anaknya kenyang lebih dahulu. Seringkali jika mendapat kiriman makanan dari tetangga, karena hanya satu paket, maka kami bertanya "bu...ini berkat dibagi berapa"? Jawab ibu "dibagi empat saja, ibu dan bapak tidak usah".

Celengan

Menabung sejak dini juga tidak lupa untuk diajarkan oleh ibu dan bapak kepada saya dan adik-adik. Meskipun hanya menabung uang recehan kembalian belanja. Maka tidak heran jika kami berempat akan berebut untuk minta disuruh membeli sesuatu di warung/toko, sembari mengharapkan ada sisa uang/kembalian untuk kami tabung. Terkadang, bapak dan ibu secara adil, disaksikan oleh kami berempat memasukkan uang recehan ke dalam tabungan kami yang sederhana. Terbuat dari bambu yang dipaku di tembok secara vertical. Paling atas celengan bambu anak pertama, dst. Jika ingin membeli sesuatu, kami diajarkan untuk bersabar, sampai uang dalam celengan bambu kami sudah penuh.

Kini, teladan dan ajaran orang tua untuk menabung juga kembali saya ajarkan kepada anak kami, sejak usia 4 tahun dan ia sangat senang sekali. Sembari menabung, sambil kami berikan penjelasan tentang guna menabung, dan untuk apa nanti hasil dari tabungan anak kami.

Foto keluarga (Sumber: Dokpri)
Foto keluarga (Sumber: Dokpri)
Dongeng ibu

Orang tua kami adalah guru SD, tentu banyak hal yang bisa diajarkan kepada kami sebagai dasar hidup. Beliau berdua sangat ketat sekali mengatur jadwal kegiatan dan jadwal belajar kami. Terkadang, saya merasa iri karena tidak diperbolehkan untuk melihat tontonan di desa kami (layar tancap, orkes musik, dll) karena harus belajar. Malam hari, untuk melihat tayangan televisi hitam putih yang kami miliki juga sudah terjadwal, kecuali malam Minggu.

Malam sebelum tidur, ibu selalu menyempatkan diri untuk menceritakan sebuah dongeng cerita rakyat, atau cerita rohani. Kami ber empat sangat senang, duduk melingkar untuk mendengarkan. Mungkin saat ini, aktifitas ini bisa disebut dengan literasi. Sebagai bekal kami untuk senang terhadap budaya membaca.

Gurunya guru

Beranjak dewasa, saya dan adik kedua saya sudah SMA, sedangkan adik ketiga dan ke empat sudah SMP. Kami sering membantu ibu dan bapak untuk mengkoreksi hasil ulangan pilihan ganda para murid. Ibu yang membacakan kunci jawaban, sedangkan kami yang melihat dan mengkoreksi LJK siswa. Senang sekali, karena kami bisa membantu, terlebih jika setelah selesai membantu kami kemudian ditrakstir bakso.

Mungkin pengalaman-pengalaman membantu mengkoreksi hasil ulangan tersebut yang kemudian sebagai salah satu pendorong kami untuk mengikuti jejak ibu dan bapak. Selanjutnya setelah dewasa, dari empat anak ada tiga yang akhirnya menjadi guru, meneruskan tugas ibu dan bapak.

Ibu dan bapak mengusir kami

Satu per satu akhirnya empat bersaudara berhasil lulus SMA, kemudian kami dibebaskan untuk memilih mau melanjutkan kuliah dimana saja, asalkan orang tua masih mampu membiayai kuliah kami. Bukan harta atau warisan dalam bentuk benda, uang, atau tanah yang diberikan sebagai bekal hidup kami. Namun bekal dan harta warisan yang diberikan oleh orang tua kepada kami adalah harta warisan yang tidak akan pernah habis, yaitu ilmu dan kesempatan untuk menuntut ilmu. Itulah harta yang paling indah yang diwariskan kepada kami saya dan ketiga adik-adik saya.

Bagaimanapun caranya, ibu dan bapak berusaha untuk mendukung kami agar tetap semangat untuk kuliah, sedangkan untuk urusan biaya jangan kalian pikirkan, itu pesan beliau berdua. Namun dengan satu syarat, setelah selesai kuliah S1 ibu dan bapak meminta kami untuk tidak pulang kampung, harus mencoba hidup mandiri dahulu. 

Terima kasih, ibu dan bapak, atas semuanya. Tuhan memberkati.

Salam hormat, Mr. aBc

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun