"Merantaulah, agar engkau tahu rasanya rindu kampung halaman, dan rindu keluarga", demikian kata bijak mengatakan.
Saya lahir di Lampung, merantau ke Jawa Timur sejak tahun 2000. Malang adalah kota pertama saya merantau untuk menempuh pendidikan S1. Selama lima tahun, saya tinggal indekos di kota dingin tersebut.
Selepas lulus kuliah, saya langsung bekerja di kota Pahlawan -- Surabaya, hampir 10 tahun saya tinggal dan indekos di kota tersebut. Saat ini, sudah hampir 5 tahun saya tinggal di kota udang -- bandeng, Sidoarjo. Sehingga pada tahun 2020 ini, genap 20 tahun saya hidup merantau di Jawa Timur, dan resmi berKaTePe Sidoarjo.
Selama 20 tahun merantau di Jawa Timur, tentunya logat dan cara bicara saya juga terbawa pada kearifan lokal bahasa Jawa Timuran. Namun, tidaklah terlalu asing bagi saya, yang meskipun saya lahir di Lampung, orang tua berasal dari Jawa Tengah.
Tulisan ini saya buat karena terinspirasi setelah makan pecel pincuk (makan menggunakan tempat daun pisang). Setelah kenyang dan kepedasan, lalu muncullah semangat untuk membuat tulisan dengan tema ini.
Jancuk -- Jancok
Istilah yang baru saya dengar ketika merantau ke Jawa Timur, sedangkan di daerah asal saya dikenal dengan istilah "dancok atau diancok". Dancok atau diancok merupakan istilah atau kata mutiara yang keluar saat sedang marah, atau tidak suka pada suatu hal.
Sedangkan arti kata jancuk di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: kata yang berasal dari kata dalam bahasa Jawa, khususnya daerah Jawa Timur. Kata ini biasanya digunakan sebagai umpatan tetapi bisa berarti lebih halus dengan intonasi yang berbeda tergantung dengan siapa lawan bicaranya.
Jujur, sampai saat ini dari bibir manis saya hampir tidak pernah keluar kata-kata mutiara ini. Namun kalau mendengar, dan mendapat saya sering. Saya sendiri tidak terlalu sreg untuk menjadikannya sebagai perbendaharaan kata. Mungkin karena lingkungan kerja di dunia pendidikan, ikut mempengaruhi cara bersikap dan berbicara saya.
Masih teringat, ketika pertama saya bekerja tahun 2006, saya marah kepada siswa yang di dalam atau di luar kelas mengatakan kata "cuk" berkali-kali.
Dalam pikiran saya, kok bicara kasar dan kotor dengan teman-teman. Saya sempat bingung, saat membaca berita di koran, ketika para perantau dari Jawa Timur mengadakan pertemuan, mengawalinya dengan memekikkan kata-kata "jancok" tersebut untuk memberi semangat dan mengobati rasa rindu kepada kampung halaman. Lho....berarti larangan saya selama ini ternyata salah (pikir saya dalam hati).
Menggunakan kata "jancok" sebagai identitas komunitas, sehingga kata tersebut memiliki perubahan makna ke arah positif, menurut hemat saya cukup sulit dikalangan anak-anak dan remaja. Sebentar-sebentar mengatakan "jancok, cok, cuk", jika mendengarnya rasanya ingin saya mengatakan: jancokmu dewe, namun saya tahan (hahaha....).
Dalam dunia pendidikan saya berpendapat bahwa kata "jancok, cok, cuk" kurang pas diucapkan, apapun motivasinya. Namun jika mereka sudah terbiasa mengucapkannya dalam pergaulan hidup sehari-hari, maka kadangkala keceplosan juga diucapkan di sekolah, inilah tantangannya.
Butuh kerjasama antara orang tua dan sekolah dalam hal pendidikan anak, karena pendidikan di sekolah tidak melulu untuk mengejar nilai-nilai yang bagus. Namun juga mengejar keutamaan-keutamaan yang lain, sebagai bekal hidup mereka di masyarakat.
Dalam dunia remaja, kadangkala istilah "CUK" diartikan dengan: Cakap -- Ulet -- Kreatif. Sebenarnya mengarah kepada istilah yang cukup kreatif dan inovatif, dalam sebuah komunitas. Asalkan disertai dengan motivasi yang benar.
PINCUK
Pincuk, adalah wadah atau tempat makan yang terbuat dari: daun pisang, daun jati, atau perpaduan antara daun pisang dengan kertas. Pokoknya tempat makan, selain piring. Makan memakai pincuk memang rasanya berbeda, ada kenikmatan tersendiri yang khas. Biasanya menyajikan menu makanan memakai pincuk yang terbuat dari daun, menjadi daya tarik tersendiri bagi pelanggan. Mungkin karena sensasinya yang berbeda, ketika menikmati makanan (pecel pincuk, rawon pincuk, dll)
Biasanya, setelah menikmati makanan memakai pincuk, orang pasti akan meremas dan membuang pincuk tersebut ke tempat sampah. Namun jangan lupa, sendoknya jangan ikut dibuang, bisa rugi nanti penjualnya.
Tidak pernah terjadi, wadah pincuk tersebut dicuci dan digunakan kembali untuk menyajikan makanan bagi pembeli yang lain. Sebenarnya model makanan pincuk ini bisa dikatakan boros, tidak ramah lingkungan karena: tidak hemat daun dan kertas.
JANCUK DAN PINCUK
Saya pribadi lebih senang tidak mendengar dan mengucapkan kata "jancuk, cuk, cok", apapun motivasinya (maaf, ini pendapat saya lho....). Namun saya lebih senang memaknai dan mengambil benang merah antara dua kata tersebut:
- Harus pandai menempatkan diri, dan berbicara sopan dengan lawan bicara. Karena kita tidak tahu bagaimana situasi hati orang lain: apakah sedang senang, marah, atau sedih.
- Makan memakai pincuk, setelah makan: pincuknya dibuang. Jika ada masalah, perselisihan, pertengkaran, selesaikan saat itu juga. Jangan menyimpan dendam, marah-marah dan mengucapkan kata "jancok" dengan motivasi marah. Besok ketemu lagi, ingat lagi kejadian kemarin, marah lagi, dan seterusnya. Selesaikan masalah sampai tuntas, jangan menyimpan dendam, buang rasa marah dan dendam. Ibarat makan dengan picuk, maka selesai makan, buang pincuknya, jangan dipakai lagi. Bungkus rasa dendam, marah, sakit hati dalam pincuk, remas-remas dan buanglah ke tempat sampah. Bersikaplah dewasa untuk memaafkan, memulai dan menikmati hari baru dengan jancuk,......eh, dengan pincuk yang baru. Jangan sampai orang bilang "jancok, aku heran kok kamu makan dengan pincuk bekas".
- Jangan meluapkan rasa marah di sosial media, disertai dengan kalimat-kalimat yang tidak pantas. Perlu diingat bahwa status di sosial media, ketika sudah diposting maka akan menjadi konsumsi umum. Sehingga orang lain bisa menilai, bahkan memberi komentar atas status yang kita buat.
Salam CUK (Cakap, Ulet, Kreatif)
10 Juli 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI