Mohon tunggu...
Mr. aBc
Mr. aBc Mohon Tunggu... Guru - Salam Gloria

🔛🖋️📝🖋️Goresan artikel sederhana. Mencoba berjiwa dan bersemangat sebagai guru muda. Di Era New Normal. Proses mencari dan menjadi inspirasi✍️ Sahabat Literasi: SMPK Santo Mikael - Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Memetik Nilai Kehidupan yang Dapat Diambil dari Bersepeda

27 Juni 2020   10:48 Diperbarui: 28 Juni 2020   04:32 2083
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bersepeda (Ilustrasi: shutterstock via lifestyle.kompas.com)

Life is like riding a bicycle. In order to keep your balance you must keep moving (Albert Einstein)

Hidup ini seperti mengendarai sepeda, untuk menjaga keseimbangan, kita harus tetap bergerak. 

Dalam menjalani hidup, pasti kita akan dihadapkan dengan suatu masalah, kesulitan, dan tantangan. Seringkali kita merasa bimbang, bingung, dan ragu-ragu terhadap suatu hal yang sedang kita hadapi atau kerjakan, sampai akhirnya keraguan tersebut menghentikan kita dalam melakukan pekerjaan atau aktivitas. 

Kegagalan sesungguhnya akan kita peroleh ketika kita berhenti mencoba dan berhenti untuk meraih mimpi. Ibarat naik sepeda sambil menyalurkan hobi, mengikuti tren, dan berolahraga, kita juga harus tetap berjalan maju dan meneruskan apa yang sudah kita mulai. Kita hanya perlu tetap bergerak, dan membuat progress. 

Saat kita tetap berjalan melakukan usaha menuju tujuan atau impian, maka kita akan tetap seimbang (seluruh aspek hidup kita). Dalam melakukan aktivitas bersepeda, penting juga untuk mengambil makna yang tersembunyi di balik aktivitas tersebut, sebagai bekal hidup kita. Maka saat ini, kita diajak gowes bareng Albert Einstein, sambil belajar beberapa nilai kehidupan.

Sepeda Roda Tiga
Sekitar 30 tahun lalu, di dalam mobil angkutan umum, seorang anak kecil duduk di pangkuan bapaknya. Mereka hendak pulang ke rumah, dari bepergian.

Tanpa sengaja, anak tersebut melihat sepeda roda tiga yang dijual di sebuah toko sepeda. Sepeda baru tersebut berputar perlahan, menggantung pada seutas tali. 

Kata anak tersebut kepada bapaknya, "Pak, nanti aku dibelikan sepeda roda tiga, kayak itu ya". Jawab sang bapak "iya, sabar ya, nanti bapak belikan". 

Horeee......teriak bahagia anak kecil tersebut, membayangkan bahwa sebentar lagi ia akan segera dibelikan sebuah sepeda baru. Anak kecil tersebut adalah saya sendiri. 

Memori tersebut tetap saya ingat sampai sekarang, sampai saya sudah menjadi seorang bapak, dan bisa membelikan sebuah sepeda roda tiga yang baru, bagi anaknya.

Entah mengapa, pada saat itu bapak saya tidak membelikan saya sepeda roda tiga. Sampai sekarang saya tidak berani bertanya kepada beliau, mengapa saya tidak jadi dibelikan sepeda. 

Kemungkinan besar alasannya adalah harga sepeda waktu itu cukup mahal, dan bapak belum punya cukup uang untuk membelikan saya sepeda dan menuruti permintaan anaknya.

Bapak, meskipun dulu saya tidak jadi dibelikan sepeda roda tiga, tidak apa-apa. Lihatlah, kini anakmu sudah bisa membelikan sepeda itu untuk cucumu. 

Maka berbahagialah, jika seorang anak dibelikan sebuah sepeda tanpa meminta kepada orangtuanya. Berbahagialah, sebagai orangtua bisa membelikan sepeda di saat anaknya meminta.

Mengapa anak kecil identik dengan sepeda roda tiga?

Dalam sebuah permenungan, saya dapat mengatakan bahwa anak kecil belum bisa naik sepeda, mereka masih proses belajar, masih belum bisa seimbang. Sehingga butuh sarana untuk bisa seimbang, yaitu roda tiga di sepedanya. 

Tujuannya jelas, supaya anak kecil tersebut bisa merasakan bahagianya naik sepeda. Bisa dibayangkan jika anak kecil langsung dibiarkan naik sepeda roda dua, risikonya jelas anak tersebut akan terjatuh.

Bagi anak kecil, selain roda tiga sebagai penyeimbang, orangtua juga berperan sebagai penyeimbang dan penyemangat dalam aktivitas bersepeda. Orangtua yang mendorong, mengarahkan, sang anak bersama sepedanya, untuk terus maju dan bergerak.

Belajar Sepeda Roda Dua
Setelah puas bermain sepeda roda tiga, akan tiba saatnya bagi seorang anak untuk mencoba dan belajar tantangan baru bersepeda. 

Tidak mungkin selamanya seorang anak akan terus bermain dengan sepeda roda tiga. Anak harus berani mencoba, dan belajar untuk naik sepeda roda dua. Tentunya tantangan dan risikonya juga lebih besar (terjatuh, menabrak pagar, dll). Namun harus berani untuk terus maju dan belajar. Karena tidak ada istilahnya naik sepeda kok jalannya mundur. 

Apakah orangtua akan langsung melepaskan begitu saja, ketika anaknya baru pertama kali belajar naik sepeda roda dua? Tentu tidak, anak tersebut masih butuh pendampingan, butuh penjaga, butuh penyeimbang ketika akan jatuh. Bahkan, orangtua akan rela berlari-lari mengikuti dan mendampingi anaknya belajar naik sepeda. Tujuannya jelas, agar si anak merasa aman, dan ada yang menyeimbangkan ketika akan jatuh. 

Dalam kesempatan ini juga, sebagai sarana orangtua untuk mengenal dan melatih agar anak memiliki kecerdasan emosionalnya agar tumbuh dan berkembang lebih baik.

Keseimbangan Hidup
Ketika kita sudah pandai naik sepeda, ingatlah bahwa dalam proses belajar kita juga pasti mengalami jatuh, sakit, lelah, dan kepanasan. Namun semua itu kita abaikan, demi satu tujuan "bisa naik sepeda", bisa seimbang dan tidak jatuh lagi.

Demikian juga dalam hidup ini, kita juga butuh proses untuk jatuh, sakit, lelah, karena dengan hal-hal tersebut akan membuat kita menjadi kuat, dan seimbang. Karena manusia yang kuat tidak dilahirkan dari kemudahan, namun karena ditempa oleh masalah dan kesulitan.

Manusia dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari masalah dan tantangan. Bagaimana sekarang sikap kita, apakah akan berhenti, ragu-ragu, diam di tempat, dan tidak mau maju?

Belajar dari Albert Einstein, kita diajak untuk terus bergerak, terus maju, agar hidup kita bisa seimbang, dan tercapai tujuan/mimpi kita. 

Albert Einstein (labsatu.com)
Albert Einstein (labsatu.com)

Saat kita naik sepeda, maka untuk sampai ke tujuan, sepeda tersebut harus kita kayuh, dibarengi dengan semangat dan keseimbangan. 

Keseimbangan tersebut bisa dilakukan karena terbiasa dan banyak latihan, tentu kita masih ingat bagaimana bahagianya saat berhasil naik sepeda roda dua pertama kali. Pasti merasa bangga, senang, dan melupakan semua penderitaan yang pernah dirasakan.

Demikian juga dengan hidup manusia harus seimbang, harus terus bergerak untuk mencapai tujuan hidup. Harus terus bergerak, maju ke depan sampai garis finish (akhir hidup manusia). 

Jangan bimbang, jangan berhenti, ketika mengalami suatu masalah atau tantangan. Manusia agar hidupnya seimbang harus memiliki beberapa kecerdasan. 

Pada zaman dulu IQ (Intelligence Quotient) dianggap sebagai standar utama/indikator untuk mengukur kecerdasan manusia. Padahal, ternyata kecerdasan manusia itu bermacam-macam, dan harus dimiliki agar hidup kita menjadi seimbang. Selain IQ (Intelligence quotient), beberapa kecerdasan yang harus diseimbangkan dalam hidup adalah:

1. Kecerdasan spiritual (Spiritual Qoutient). SQ merupakan kecerdasan jiwa yang erat kaitannya dengan kemampuan untuk bertindak jujur, adil, menghargai, kasih sayang, toleransi, empati, rendah hati, sikap ramah. 

SQ juga berarti kemampuan seseorang untuk mengerti dan memberi makna pada apa yang di hadapi dalam hidup. Kecerdasan spiritual berhubungan dengan kemampuan memahami hidup dan membangun hidup dengan berbagai kegiatan yang positif. 

2. Kecerdasan emosional (Emotional Qoutient). EQ merupakan kecerdasan emosi, yang erat kaitannya dengan kemampuan mengontrol perasaan diri sendiri, mengenali perasaan orang lain, adaptasi, kerja sama, disiplin, tanggung jawab, dan komitmen.

EQ (emotional quotient) adalah kecerdasan secara emosional. Kecerdasan ini berhubungan dengan kemampuan kita menyadari dan mengelola emosi kita sendiri. EQ juga berhubungan dengan kemampuan untuk merespons emosi seseorang dan menggunakan emosi sebagai motivasi diri. 

3. Kecerdasan transendental (Trancendental Quotient). TQ dapat dikatakan sebagai kecerdasan rohaniah, yang erat kaitannya dengan kemampuan seseorang memaknai hidup dan kehidupannya dalam perspektif agama. 

4. Kecerdasan kreativitas (Creativity Quotient). CQ adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kreativitas. Di sini, kreativitas yang dimaksud berhubungan dengan potensi untuk menciptakan penemuan baru di bidang ilmu atau teknologi. 

5. Kecerdasan menghadapi kesulitan (Adversitas Quotient). AQ adalah kemampuan yang berhubungan dengan cara seseorang menghadapi kesulitan. 

Dalam hidup kita pasti sering menghadapi tantangan. Orang-orang dengan AQ tinggi pasti tidak mudah patah semangat dan mampu bertahan dalam tantangan yang mereka hadapi. Paul G Stolz menjelaskan tiga macam AQ yang dimiliki manusia: 

Pertama, orang dengan AQ rendah disebut dengan istilah Quiters, mereka yang masuk golongan ini akan cenderung memilih untuk menghindar daripada mencoba untuk menghadapi tantangan. 

Kedua, Orang dengan AQ sedang disebut dengan istilah Campers. Mereka yang tergolong dalam dalam kelompok Campers akan cenderung merasa cukup puas dengan apa yang dicapai dan tidak berniat untuk maju (apa adanya). 

Ketiga, yang paling tinggi adalah Climbers, mereka yang termasuk dalam golongan ini memiliki kemampuan untuk mengubah tantangan menjadi alat untuk maju. Mereka tidak mudah putus asa dan menyerah kepada keadaan. Selalu mencoba berpetualang untuk mencari pengalaman-pengalaman baru, sebagai bekal hidup.

6. Kecerdasan Intelektual (Intelligence Quotient). IQ merupakan kecerdasan dalam hal aktivitas berpikir, yang erat kaitannya dengan kemampuan mengingat, memahami, menganalisa, mengevaluasi, dan memecahkan masalah. 

7. Kecerdasan fisik (Physical Quotient), PQ merupakan kecerdasan manusia dalam hal tubuh dan fisiknya. Bagaimana manusia menjaga kesehatan tubuh dengan cara: berolah raga, makan, dan seterusnya.

Demikian, menjadi benar adanya bahwa hidup itu ibarat naik sepeda, untuk dapat seimbang kita harus terus maju dan bergerak. Tidak melulu berporos kepada kecerdasan intelektual, sebab menurut Goleman kesuksesan hidup/karir seseorang banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional (EQ). Yang mana EQ mempunyai konstribusi sebesar 85%, sementara IQ hanya 15%. 

Selain itu, kita juga harus seimbang dalam menguasai kecerdasan-kecerdasan hidup yang lain, sehingga kita semakin tumbuh menjadi manusia seutuhnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun