Ada comment yang rada dingin, simak.. :
Apresiasi 4 jempol buat semua yg sudah tampil jempol & komen postingan ini..., karena berarti masih:
- punya rasa memiliki (tapi bukan barang pribadi ya..).
- punya keberanian (berani menyampaikan, diskusi, & masuk kedalam kondisi yg tidak nyaman...).
- mau memberikan pendidikan kepada para newcomers bahwa para senior adalah manusia biasa, yang pasti punya emosi, khilaf & salah.
Opini saya dari perdebatan seru sampai kusir dan ad hominem tersebut menyatakan bahwa tentang apakah artikel itu ditulis dengan data valid atau tidak valid hal ini bukan menjadi persoalan penting. Yang menjadi point penting ketika kita ternyata telah mengetahui selama ini bahwa Burung Hantu adalah sebuah burung dengan wajah seram dan menakutkan, aktivitasnya banyak dilakukan di malam hari, banyak mitos dan kepercayaan mistis tentang burung hantu ini yang dikaitkan masyarakat.
Dari kalimat ini saja sebenarnya sudah bisa kita ambil simpulan yang bijak dengan tanpa menghilangkan subtansinya bahwa burung hantu itu terkesan suatu simbol yang tidak tepat untuk dipakai. Dan kenapa baru sekarang perdebatan simbol ini muncul kepermukaan..? ini lebih dikarenakan multiplier effect dari suatu kemajuan tehnologi informasi (TI). Coba ketika masa-masa awal pembentukan organisasi ini TI telah mencapai kemajuan signifikan seperti saat ini, mungkin juga simbol ini sudah dibahas dan didebatkan sehingga akan diganti dengan suatu simbol yang melambangkan perdamaian hijau bak lingkungan hidup dan alam nan hijau. Ketika pada masa sekarang simbol ini menjadi suatu simbol yang tidak mereflesikan itu semua, maka tidak ada salahnya juga untuk dapat diganti, misalnya dengan simbol Burung Gurkha. Tetapi saya sedikit bingung juga dengan istilah Gurkha yang setahu saya itu adalah sebutan untuk Tentara India pada masa perang melawan kolonial Belanda dahulu (betul gak..?). Hal ini tentunya menjadi suatu yang naif jika menggunakan istilah Gurkha.
Perombakan simbol organisasi adalah bukan suatu yang sakral seperti merombak kitab suci. Ketika zaman sudah berubah dengan iringan kemajujan TI saat ini tidak ada salahnya untuk dirobah simbol Burung Hantu tersebut. Perobahan ini bisa juga dibuatkan sejenis sayembara dengan menggandeng fihak sponsorship sehingga disamping mendapatkan desain simbol atau logo yang keren dan bermakna perdamaian nan hijau juga berakibat multiplier effect bagi pengurus organisasi ini periode sekarang, minimal bisa menyisihkan pendanaan dari sponsorship untuk operasional kegiatan organisasi ke depan.
Akhirnya, diskusi, perdebatan dan argumen ad hominem dari suatu simbol organisasi pencinta alam fakultas ini, jangan pula lantas disalah artikan sebagai suatu bentuk superioritas dari kesenioran yang arogan dengan memaksakan kehendak. Subtansi dari diskusi dan debat itu menunjukkan bahwa simbol yang selama ini digunakan ternyata belum tepat jika tidak mau dikatakan salah. Subtansi yang menunjukkan bahwa Burung Hantu bukanlah suatu simbol yang membawa perdamaian bagi suatu organisasi pencinta alam, dimana si pencinta alam tentu akan mencintai alam lingkungan ini dengan menyukai sesuatu yang indah, rapi dan bersih serta tenang dan damai, bukannya cinta dan menyukai sesuatu yang seram dan menakutkan lagi penuh mistis nan mitos, atau bukannya mencintai dan menyukai sesuatu alam yang porak poranda berantakan dengan berserakan sampah dimana-mana, atau bukannya mencintai dan menyukai lereng pegunungan yang gundul karena illegal loging, atau bukannya mencintai dan menyukai kabut asap yang menyesakkan dada dan pernafasan karena terbakar atau dibakarnya hutan oleh oknum YTB (yang tidak bertanggungjawab) dan yang lebih khusus lagi bukannya mencintai dan menyukai seorang wanita yang berkuasa penuh kepada suaminya sehingga menciptakan grup ISTI (Ikatan Suami2 Takut Istri), he..he.. yang ini tidak ada hubungannya ya..!?
Salam Lestari (GW.90-220).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H