Mohon tunggu...
Asron Da Finsie
Asron Da Finsie Mohon Tunggu... Local Civil Government -

Mengisi waktu luang dengan menulis sepulang kerja aplikasi penglihatan mata, hati dan telinga terhadap lingkungan sekitar untuk perubahan kehidupan yang lebih baik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Revolusi Mental, Haruskah "Berkeringat Merah"

27 Juli 2015   02:56 Diperbarui: 27 Juli 2015   08:32 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ilustrasi seekor fotografer kucing sedang asyik membidikan kameranya. dengan full konsentrasi dia membidik sebuah sasaran yakni revolusi mental harus dimulai dari mana..? (bukan promo, kamera ini toh sudah dikenal luas oleh publik)

Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, mulai berangsur meninggalkan komitmennya soal Revolusi Mental. Saat ini, kondisi Bangsa mengalami distorsi penyelewengan kaidah-kaidah demokrasi yang Pancasilais. Sebuah permasalahan bangsa yang serius. Apakah Pancasila masih relevan menjadi dasar kehidupan berbangsa. Apakah penghormatan masyarakat pada Ketuhanan sudah relevan.?.  Keberadaan Pancasila di tengah-tengah Bangsa, sudah mulai meredup. Pancasila sudah mulai tidak mendapat tempat di hati bangsa. Undang-undang tidak ditaati, mulai disiasati. Hampir di semua aspek kehidupan tidak memiliki disiplin kuat sehingga tidak mampu melahirkan anak bangsa yang hebat. Sekarang sudah mulai dengan siapa aku, siapa kamu. Berapa hargamu dan berapa hargaku. Semuanya dilakukan atas dasar kesepakatan transaksional. Negeri-negeri maju memandang bangsa kita dengan sebelah mata. Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, inilah memang kondisinya. Karena keteladanan tidak diberikan pemimpin-pemimpin bangsa. Mereka tidak pernah mau mengakui kesalahannya. Demikian kata Ketua Umum Partai NasDem, Surya Paloh (Merdeka.com 26/7/2015).

Ini kritik sungguhan atau cuma sandiwara.? Semua sudah paham bagaimana politik. sebentar2 dirangkul, sebentar2 dikritik, sebentar2 dipuji, sebentar2 dijatuhin. Andai saja memang sungguhan, kapan revolusi mental sudah dilaksanakan? Kita merasakan semua itu masih sebatas koar-koar untuk pencitraan belaka. Merdeka.com

Sejumlah tradisi atau budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih reformis. Kalau bisa disepakati bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah dari mana kita harus memulainya. Jawabannya dari masing-masing kita sendiri, dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan negara. Kompas.com 10/5/2015.

Sebelum kita berlanjut tentang dari mana dan kapan kita memulai revolusi mental, simak dahulu pendapat dari Effendi Ghazali Phd.MPS ID. Coordinator Program Master Komunikasi UI, dia menyebut paling tidak ada lima jenis kebohongan media massa : (1) Membesar-besarkan atau mengecil-ngecilkan data, misal dalam peristiwa penangkapan Ali Muhammad yang dituduh penyandang dana peristiwa Bom Marriot-Carlton, yang kemudian beritanya hilang begitu saja karena ternyata diduga kuat Ali Muhammad adalah warga Negara Aerika Serikat dan anggota Angkatan Darat Amerika, (2) Memberitakan yang tidak pernah ada, misal dengan menyebutkan senjata pemusnah massal di Irak, (3) Tidak memberitakan kejadian yang sesungguhnya bermanfaat bila dijadikan bahan berita, (4) Membohongi agenda publik dengan sengaja, yaitu dengan cara membombardir dengan berita yang itu-itu saja sehingga berita buruk tersebut diakui menjadi agenda publik, seperti contohnya berita tentang teroris, (5) Membohongi publik dengan modus seakan-akan mereka tidak sedang berbohong, dengan berkali-kali menekankan dan meyakinkan melalui pendapat para pakar atau membuat forum debat yang seru, namun diujung acara opini sudah disiapkan dengan kesimpulan yang mengokohkan kehendak sang propagandis. Sepenggal catatan seorang sahabat dari akun facebook. disunting.

Sekarang coba kita kembali ke revolusi mental. Revolusi artinya perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Sedangkan maksud dari Mental dialihkan menjadi Budi, menurut KBBI adalat suatu alat batin, paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk. (wikipedia disunting).

Jika digabung keduanya (Revolusi Mental) diartikan menjadi perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat  dengan melandaskan batin sebagai alat paduan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk yang menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.

Kita kembali ke pendapat Bung Effendi Ghazali, dari kelima point yang dimaksud oleh beliau, apakah memang mengena kepada kehidupan berbangsa dan bernegara kita pada saat ini.?. apakah statement bung Surya Paloh masuk ke point pertama, membesar-besarkan atau mengecil-ngecilkan data atau masuk ke point 2 yakni memberitakan yang tidak pernah ada atau point 3, tidak memberitakan kejadian yang sesungguhnya bermanfaat bila dijadikan bahan berita, ataupun point 4 yakni membohongi agenda publik dengan sengaja.

Menurut saya, dengan tidak menyalahkan media massa ataupun membela media massa, kondisi berbangsa dan bernegara kita pada saat ini memang demikian adanya. Kondisi mental dari semua sisi kehidupan bak terkena virus yang menjalar kemana-mana. Suap menyuap, sogok menyogok, uang pelicin, uang rokok, uang transport, setoran, jabatan basah, salam tempel, cara damai, amplop yang kesemuanya adalah eufimisme dari perilaku korup yang biasa dilakukan sehari-hari dan menjadi akrab ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Untuk merubah itu semua diperlukanlah Revolusi Mental dan ini tidak segampang membalikkan telapak tangan akan tetapi juga tidak sesulit mendaki gunung. Warning dari bung Surya Paloh terlepas dari dia berpolitik atau tidak setidak-tidaknya perlu dijadikan focus perhatian. Dalam suasana kebangsaan bersistem demokrasi saat ini, mewujudkan konsep revolusi mental itu memang agak kesulitan dimana semakin hari semakin banyak orang-orang pintar di Negeri Demokrasi ini (pun mungkin termasuk saya). Tetapi didalam ruang pemikiran sempit saya, terselip pemikiran yang mungkin jahil yakni apakah Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tidak mampu mengkondisikan keadaan berbangsa dan bernegara masuk kedalam konsep revolusi mental tersebut. Dengan dua wewenang penuh yang dijamin UUD itu kita menanti gerakan Presiden full konsentrasi membidik revolusi mental ini. Tapi ah.. Presiden sedikit takut nanti disebut Totaliter dalam memimpin dan menyerempet hal tabu yakni ORBA. Belum lagi teman bersandingnya DPR mungkin tidak sesanding pemikirannya tentang revolusi mental ini. Bagaimana..? apakah harus revolusi sesungguhnya, revolusi dengan "berkeringat merah", nanti dibilang provokatif pula.

Yang jelas revolusi mental harus dimulai dari diri kita masing-masing terutama dimulai dari diri para pemimpin publik penyelenggara negara dan nanti akan turun merembet ke diri-diri masing-masing individu dalam keluarga dan masyarakat. Kapan dimulainya, mungkin dimulai dari mereshuffle kabinet kerja atau mengganti pimpinan-pimpinan Lembaga Tinggi Negara lainnya yang notabenenya beliau-beliau adalah pemimpin pada masing-masing bidang yang mengatur tata kelola pemerintahan negeri domokrasi ini. Atau jika mau dibalik dimulai dari keluarga atau masyarakat dahulu baru nanti naik keatas ke para pemimpin negeri ini. Tapi kelihatannya ini ngaco. kalau memang keluarga atau masyarakat atau rakyat sudah pada makmur semua kehidupannya mungkin-mungkin saja. tapi tetap ngaco, kok rakyat yang jadi contoh duluan. Sekian.

Sebuah catatan pemikiran sempit.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun