Setiap kali Pilkada mendekat, dinamika politik Indonesia selalu menawarkan banyak hal yang menarik. Sering kali, diskusi tentang Pilkada berfokus pada hasil akhir atau kemenangan para calon kepala daerah. Begitu pula dalam debat pilkada yang diselenggarakan, Namun, ada aspek yang jarang disentuh secara mendalam, yakni peran partai politik dalam menentukan kandidat kepala daerah. Sejauh mana keputusan politik ini benar-benar bertujuan untuk membangun bangsa, dan bukan hanya sebagai cara untuk mempertahankan kekuasaan?
Cengkraman Pragmatisme Politik
Dalam teori politik, pragmatisme adalah pendekatan yang menekankan pada hasil praktis dibandingkan dengan prinsip atau ideologi. Realitas politik di Indonesia menunjukkan bahwa pragmatisme sering kali menjadi faktor penentu dalam pencalonan kepala daerah. Partai-partai politik lebih cenderung mendukung kandidat yang diperkirakan memiliki daya tarik elektoral terbesar, bahkan jika kapabilitas mereka sebagai pemimpin daerah dipertanyakan.
Pragmatisme politik ini bisa dilihat dalam konsep Realpolitik, yang berfokus pada penguasaan kekuasaan dan kepentingan jangka pendek. Partai politik kerap kali mengabaikan pertimbangan kualitas kepemimpinan dan lebih menekankan pada kalkulasi politis yang menguntungkan mereka. Fenomena ini juga didukung oleh teori elitis, yang menyebutkan bahwa kekuasaan politik umumnya dikuasai oleh segelintir elit. Partai politik bertindak sebagai bagian dari elit ini, yang berperan menentukan arah kekuasaan, bukan semata demi kepentingan rakyat, tetapi demi mempertahankan status quo dan memperluas pengaruh politik.
Membangun Bangsa atau Kekuasaan Semata?
Pertanyaan yang muncul dari fenomena ini adalah: apakah partai politik di Indonesia benar-benar memainkan peran dalam membangun bangsa, atau hanya memperkuat kekuasaan mereka? Teori kepentingan kelompok (group interest theory) menjelaskan bahwa aktor politik cenderung mengutamakan kepentingan kelompok atau partainya terlebih dahulu sebelum mempertimbangkan kepentingan umum. Dalam konteks Pilkada, partai politik sering kali lebih fokus pada bagaimana menempatkan orang-orang yang mereka anggap bisa menjaga dan memperluas kekuatan partai, bukan pada kualitas kepemimpinan yang akan membawa kemajuan bagi daerah.
Situasi ini menciptakan jarak yang semakin lebar antara elit politik dan masyarakat luas, di mana kepala daerah yang terpilih lebih sering menjadi representasi kepentingan politik tertentu daripada representasi kepentingan rakyat yang lebih luas. Ini juga menjelaskan mengapa banyak kepala daerah yang kurang berhasil dalam menjalankan pemerintahan setelah terpilih, karena lebih dipilih berdasarkan kalkulasi politik daripada kualifikasi kepemimpinan.
Moderasi dan Pragmatisme: Jalan Keluar?
Dalam teori politik, ada konsep moderasi, yang menyatakan bahwa stabilitas politik bisa tercapai ketika kepentingan berbagai kelompok dapat diakomodasi dengan seimbang. Moderasi politik diharapkan bisa menjadi solusi bagi pragmatisme yang terlalu berfokus pada kekuasaan. Namun, dalam praktiknya, moderasi sering kali dikalahkan oleh pragmatisme politik. Ketika partai politik berorientasi pada kemenangan jangka pendek, mereka kerap kali mengabaikan nilai-nilai moderasi yang bisa membawa stabilitas dan pembangunan jangka panjang.
Kita bisa bertanya: bisakah partai politik menerapkan moderasi dalam pencalonan kepala daerah, sambil tetap mempertahankan elemen pragmatis yang diperlukan untuk meraih kemenangan? Atau apakah pragmatisme politik akan terus mendominasi dan mendorong partai untuk terus memilih kandidat yang bisa menang, meskipun itu berarti mengorbankan kualitas kepemimpinan?
Kepemimpinan yang Peduli: Jawaban dari Dilema Politik
Di tengah pragmatisme yang dominan, ada satu nilai yang bisa memberikan arah baru dalam politik lokal, yaitu Caring Leadership. Konsep kepemimpinan yang peduli menekankan bahwa seorang pemimpin yang baik tidak hanya memenangkan kursi kekuasaan, tetapi juga mampu memimpin dengan komitmen untuk memberdayakan masyarakat dan memperbaiki kondisi sosial-ekonomi daerah yang dipimpin.
Jika partai politik mengadopsi prinsip kepemimpinan yang peduli, mereka akan lebih cenderung memilih kandidat yang memiliki visi jangka panjang untuk pembangunan daerah dan kepentingan masyarakat. Hal ini akan membantu menciptakan perubahan positif yang berkelanjutan, bukan hanya kemenangan politik yang sementara.
Sebagaimana dikatakan oleh filsuf Immanuel Kant dalam teorinya tentang etika deontologis, manusia harus diperlakukan sebagai tujuan, bukan sebagai alat. Pemimpin daerah dan partai politik seharusnya melihat masyarakat sebagai tujuan utama dalam setiap keputusan yang diambil, bukan hanya alat untuk mencapai kekuasaan.
Membangun Masa Depan Politik yang Berkualitas
Pada akhirnya, meskipun pragmatisme politik sering kali menjadi kenyataan dalam sistem Pilkada, ini tidak berarti bahwa kita tidak bisa mengupayakan perubahan. Kepemimpinan yang berkualitas dan fokus pada pelayanan masyarakat harus menjadi prioritas dalam proses pencalonan kepala daerah. Partai politik memiliki tanggung jawab moral dan sosial untuk memilih kandidat yang mampu menjalankan perannya dengan baik, tidak hanya sekadar memenangkan kursi kekuasaan.
Untuk membangun bangsa yang lebih baik, politik harus lebih dari sekadar permainan kekuasaan. Itu harus tentang menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat. Pilkada, yang sejatinya merupakan proses demokrasi, seharusnya tidak menjadi sekadar arena pragmatisme politik, tetapi juga tempat di mana kualitas kepemimpinan dan visi jangka panjang menjadi kriteria utama dalam memilih calon kepala daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H